Menuju konten utama
29 Juni 1958

Final Piala Dunia 1958: Brazil Berjaya, Pele Naik Takhta

“Pada saat itu, akan lebih baik duduk di tribun dan menikmati semua kehebatan skill mereka (Brazil) daripada menjadi bulan-bulanan mereka,” ujar bek Swedia.

Final Piala Dunia 1958: Brazil Berjaya, Pele Naik Takhta
Ilustrasi Mozaik Brazil menjadi juara Piala Dunia. tirto.id/Sabit

tirto.id - Piala Dunia 1950 memilukan. Piala Dunia 1954 memalukan. Seperti itulah rakyat Brazil memandang kegagalan timnas mereka. Rentetan pengalaman tidak menyenangkan yang membuat persiapan Brazil ke Piala Dunia 1958 di Swedia sempat penuh beban dan keraguan.

Pada 1950, semua bermula dari sikap jemawa. Laga partai terakhir itu harusnya hanya jadi pertandingan formalitas, pengukuhan juara dunia bagi Selecao--julukan timnas Brazil. Mereka tidak perlu menang karena hasil imbang sudah cukup untuk memastikan gelar juara dunia. Namun takdir berkata lain, Selecao justru tumbang 1-2 di tangan Uruguay. Tidak ada pesta seusai laga seperti rencana, yang ada hanyalah nestapa. Seluruh negeri meratapi tragedi Maracanazo yang mengguncangkan jiwa itu.

Tahun 1966, Nelson Rodrigues, penulis cerita drama paling beken di negeri gila bola itu menulis: "Di mana-mana ada tragedi nasional yang mustahil untuk dipulihkan, seperti Hiroshima. Tragedi kami, Hiroshima kami, adalah kekalahan dari Uruguay pada 1950."

Empat tahun kemudian di Swiss, aib yang didapat. Brazil masuk dalam lembaran hitam sejarah Piala Dunia. Di bawah guyuran hujan, laga perempat final melawan Hungaria berjalan panas, keras, dan brutal. Wasit Inggris Arthur Ellis mengusir dua penggawa Brazil, Nilton Santos dan Humberto. Ellis adalah salah satu hakim garis pada saat tragedi 'Maracanazo' terjadi.

Keributan berlanjut usai pertandingan, perkelahian massal pecah di ruang ganti Hungaria dan bahkan hingga luar stadion. Brazil kalah 2-4 pada laga yang terkenal sebagai ‘Battle of Berne’, tersingkir dan ternista.

Namun, bagi Federasi Sepakbola Brazil (CBF), terutama Joao Havelange yang baru terpilih sebagai presiden CBF, kegagalan demi kegagalan itu membuat rasa penasaran mereka semakin menjadi. Brazil merupakan negara gila sepak bola dengan ambisi besar untuk menjadi nomor wahid. Mereka tak sabar mengangkat tinggi-tinggi piala Jules Rimet, trofi paling bergengsi di jagat sepak bola, sekaligus mengakhiri nasib buruk.

Maka, pada partisipasi keenam di ajang empat tahunan itu, Brazil datang ke Swedia dengan persiapan istimewa. Menurut Jonathan Wilson--wartawan cum penulis Inggris--Brazil datang dengan dukungan dana dari pemerintahan Presiden Juscelino Kubitschek. Skuad Piala Dunia 1958 itu merupakan yang terbaik persiapannya sepanjang sejarah partisipasi Brazil di Piala Dunia. CBF melakukan persiapan dengan perhatian hingga ke detail kecil (micromanagement).

Sebelum Selecao tiba di Swedia, ada delegasi khusus yang mengunjungi 25 lokasi berbeda di Swedia sebelum akhirnya memilih Hindas sebagai markas tim, daerah yang tidak jauh dari Gothenburg. Mereka juga mengganti 25 staf wanita di hotel tersebut dengan staf pria untuk meminimalkan potensi distraksi. Brazil bahkan berkampanye--meski gagal--untuk menutup perkemahan kaum nudis setempat selama turnamen empat tahunan itu digelar. Demikian ungkap Wilson dalam buku Inverting the Pyramid: The History of Soccer Tactics (2008), buku kronik tentang evolusi taktik sepak bola dunia.

Masih menurut Wilson,Havelange juga melengkapi staf kepelatihan dengan jajaran backroom staff yang mumpuni. Seorang dokter (Dr Hilton Gosling), seorang dokter gigi, seorang pelatih, seorang fisioterapi (Mario Americo), seorang psikolog, dan seorang mata-mata yakni mantan pelatih Fluminense Ernesto Santos. Tugas mata-mata adalah mengumpulkan informasi tentang tim lawan.

Semua staf itu diakui Vicente Feola (pelatih Brazil) sangat membantu tugasnya sejak proses seleksi pemain, kecuali sang psikolog, Dr. Joao. Keputusan Feola untuk mengabaikan rekomendasi Carvalhaes adalah salah satu keputusan yang terbukti krusial. Sang psikolog memvonis Manuel Francisco dos Santos atau Garrincha dan Edson Arantes do Nascimento atau Pelé, berdasarkan tes psikometri, secara mental tidak layak masuk Selecao.

Goyang Samba di Tanah Swedia

Salah satu dampak traumatis kegagalan di Piala Dunia 1950 adalah keraguan para pandit sepak bola Brazil pada gaya bermain menyerang nan atraktif Selecao. Menurut mereka, mencetak 22 gol dalam enam laga, tetapi kebobolan dua gol menentukan saat kalah dari Uruguay adalah sia-sia. Mereka menengarai, selama Selecao masih mempertahankan gaya bermain indah menghibur, akan sulit untuk menjuarai Piala Dunia.

Brazil memang jago menyerang dari segala posisi, keunggulan sekaligus kelemahannya. Sedangkan secara individu, para pemain berimprovisasi terlalu bebas. Maka, para pandit sepakat bahwa lini pertahanan harus diperkuat, harus memiliki disiplin taktik seperti tim-tim Eropa.

Entah terpaksa atau tidak, Feola menunjukkan kesepahamannya dengan para pandit. Terlihat ketika dia memutuskan tidak memainkan Garrincha dan Pelé pada laga pembuka grup 4 saat Brazil menang 3-0 atas Austria. Jika Pelé masih dalam proses pemulihan cedera lutut, maka Garrincha tidak dipasang sebagai hukuman atas aksi pamer skill berlebihan saat mencetak gol ke gawang Fiorentina. Sebagai pengganti Garrincha, Feola memainkan Joel yang lebih disiplin.

Keduanya kembali tidak diturunkan pada saat Brazil ditahan imbang tanpa gol oleh Inggris, lagi-lagi karena Pelé masih belum bugar. Hasil ini membuat Brazil harus mengalahkan Uni Soviet (sekarang Rusia) di laga terakhir grup 4 untuk memastikan masuk ke babak perempat final.

Menurut sang mata-mata, Ernesto Santos, Soviet merupakan tim yang mengandalkan keunggulan fisik dan berstamina prima. Feola memutuskan tim asuhannya harus mengintimidasi lawan dengan permainan atraktif dan kehebatan skill ala Brazil sejak kick off. Untuk itu, Feola menumpukan harapannya kepada kehebatan Garrincha dan Pelé yang sudah pulih.

"Ingat, umpan pertama harus ke Garrincha," kata Feola kepada Didi, sesaat sebelum memasuki lapangan Stadion Nya Ullevi di Gothenburg.

Awal laga digambarkan oleh legenda sepak bola Prancis Gabriel Hanot sebagai 'tiga menit terhebat dalam sejarah sepak bola'. Pada menit pertama, Garrincha memporak-porandakan pertahanan Soviet, memperdaya Boris Kuznetsov dan Yuri Voinov, sebelum bola sepakannya membentur mistar gawang. Semenit kemudian, giliran tembakan Pele yang membentur mistar gawang. Dan di menit ketiga, Didi melepaskan umpan terobosan yang melewati tiga pemain lawan, dituntaskan Vava untuk menaklukkan Lev Yashin.

Vava kembali mencetak gol dan memastikan kemenangan Brazil pada menit 77. Meski hanya menang 2-0, Feola sangat puas dengan penampilan timnya dan merasa telah menemukan formasi kunci 4-2-4 yang fleksibel berubah menjadi 4-3-3. Pada formasi ini Pelé beroperasi di belakang striker utama Vava, dan Mario Zagallo berperan menjadi penyeimbang permainan ultraofensif Garrincha dengan sesekali turun ke lini tengah. Penampilan Selecao saat melawan Uni Soviet memulihkan kepercayaan diri bahwa permainan Brazil yang ofensif atraktif tetap akan sanggup membawa mereka juara.

Selanjutnya, Brazil mengalahkan Wales di perempat final dan Prancis di semifinal. Pelé yang semakin bugar dan percaya diri mencetak gol tunggal ke gawang Wales, lantas mencetak trigol saat menekuk Prancis 5-2. Brazil melaju ke partai puncak dan memenangkan hati para penggemar berkat penampilan menarik penuh aksi individu yang menawan dan menyerang.

Fajar menjelang laga final, langit kelabu dan badai melanda Stockholm. Brazil yang terbiasa dengan mitos, melihat hal ini sebagai pertanda buruk. Ditambah mereka mendapat jatah memakai seragam warna biru karena seragam utama Swedia juga kuning. Pada momen itulah kepala delegasi Brazil Dr Paulo Machado de Carvalho menghibur dengan menyebut biru adalah warna keberuntungan, warna dari santo Pelindung Brazil, Nossa Senhora de Aparecida. Biru juga disebutnya sebagai warnanya tim juara, seperti yang dipakai Uruguay saat juara dunia di Maracana.

Infografik Mozaik Brazil menjadi juara Piala Dunia

Infografik Mozaik Brazil menjadi juara Piala Dunia. tirto.id/Sabit

Sore pukul 15:00 waktu setempat, Stadion Rasunda dipenuhi 49.737 penonton dan diguyur hujan. Wasit Guigue Maurice asal Prancis memimpin jalannya laga yang dilabeli "Mercenaries versus Magicians" atau Prajurit Bayaran melawan Para Pesulap.

Swedia memulai laga dengan sangat baik, unggul cepat pada menit ke-4 berkat gol Nils Liedholm. Pertama kalinya di turnamen itu, Brazil tertinggal. Namun, kepercayaan diri Brazil yang terbangun selama turnamen telanjur tinggi. Mereka merespons dengan tenang, menampilkan performa gemilang seperti pada laga-laga sebelumnya. Aksi brilian Garrincha membombardir sisi kiri berbuah dua gol Vava, melalui proses gol yang hampir identik pada menit ke-9 dan ke-32. Brazil unggul 2-1 di babak pertama.

Babak kedua, Brazil semakin dominan dan membuat tim asuhan pelatih asal Inggris George Raynor itu jadi bulan-bulanan. Bek kanan Swedia Orvar Bergmark, yang tampil di final itu menyatakan: “Pada saat itu, akan lebih baik duduk di tribun dan menikmati semua kehebatan skill mereka (Brazil) daripada menjadi bulan-bulanan mereka.”

Sepuluh menit usai turun minum, Pelé mencetak salah satu gol terindah sepanjang masa. Brazil semakin menjauh berkat gol Zagallo. Saat laga tersisa 11 menit, Simonsson menipiskan ketinggalan menjadi 4-2. Gelar juara di pelupuk mata, Selecao menjaga penguasaan bola, sedangkan para pendukung Brazil bernyanyi gembira seraya berteriak ‘Samba, samba’.

Gol Pele di menit ke-90 memastikan Brazil menjadi juara Piala Dunia untuk kali pertama. Pada 29 Juni 1958, tepat hari ini 63 tahun lalu, Samba berjaya di tanah Swedia. Kapten Brazil, Hilderaldo Luiz Bellini, menerima trofi Jules Rimet dari Raja Swedia Gustav Adolf.

Sang Raja Naik Takhta

Para pemain Brazil mendominasi tim terbaik Piala Dunia pilihan para jurnalis sepak bola. Mereka adalah Garrincha, Didi, Djalma Santos, Nilton Santos, dan tentu saja Pelé.

Pele memang bukan pemain terbaik turnamen itu, bukan juga pencetak gol terbanyak. Pemain terbaik adalah Didi, sedangkan top skor adalah Just Fontaine dengan 13 gol. Namun, berkat berbagai atribut yang disandangnya, terlebih menjadi bintang di ajang Piala Dunia di usianya yang masih remaja, membuat Pele menjadi fenomena.

Pele masih berusia 17 tahun 249 hari ketika Feola menurunkannya pada laga final di Rasunda. Hingga saat ini, Pele masih menjadi pemain sekaligus pencetak gol termuda sepanjang sejarah di final Piala Dunia. Pele, bersama Garrincha, juga yang mengubah keseluruhan permainan Brazil. Keduanya membuat Feola kembali percaya bahwa permainan indah bisa membawa Brazil juara.

Kesuksesan Selecao menjadi juara dunia di Swedia selalu identik dengan sosok Garrincha dan Pele. Namun, ada aspek yang membuat Pele berbeda atau jika enggan mengatakan lebih unggul dari Garrincha, yakni gol. Pele mencetak enam gol dan beberapa di antaranya adalah gol indah. Pele mencetak salah satu gol terindah sepanjang masa. Hebatnya, gol itu terjadi di final Piala Dunia.

Pada menit 55, Pele berteriak kepada Nilton Santos yang sedang menguasai bola, memintanya untuk mengirim umpan silang. Di kotak penalti Swedia, Pele menerima umpan sepakan kaki kiri Nilton dengan dada, lantas membiarkan bola memantul di atas tanah, saat Bengt Gustavsson mendekat, Pele melambungkan bola setinggi tiga meter melewati kepala sang bek dan berlari menghindar dari terjangan tekelnya. Bola belum menyentuh tanah saat Pele menyepaknya dengan kaki kanan dengan teknik yang sempurna untuk menaklukkan kiper Kalle Svenson.

Piala Dunia 1958 merupakan piala dunia pertama yang disiarkan langsung via televisi, sehingga kehebatan Pele lekas tersebar luas ke seluruh dunia. Setelah laga final itu, Pele menjadi tajuk utama di berbagai surat kabar dan majalah di seluruh dunia. Majalah Paris Match memuat cerita sampul yang mengatakan bahwa ada raja baru sepak bola, Pele Sang Raja.

Baca juga artikel terkait TIMNAS BRAZIL atau tulisan lainnya dari Aji Wibowo

tirto.id - Olahraga
Penulis: Aji Wibowo
Editor: Irfan Teguh