tirto.id - Di atas lapangan, ia seperti seorang libertarian agung yang menabrak segala aturan. Di luar lapangan, ia semurni-murninya hedonis dalam level maksimum. Nama lengkapnya Manuel Francisco dos Santos. Dunia mengenalnya lewat sepucuk nama: Garrincha.
Sebagai seorang pesepakbola, Garrincha sejatinya memiliki kekurangan fisik yang fatal: kaki kanannya lebih panjang 6 cm dari kaki kiri, bentuk kaki kiri melengkung ke luar, dan bentuk kaki kanan melengkung ke dalam. Namun, dengan kekurangan itulah ia justru mampu memikat orang-orang dan mencatatkan diri sebagai penggiring bola terbaik sepanjang sejarah.
Kemampuan Garrincha dalam mengolah si kulit bulat memang begitu luar biasa. Namun, siapa sangka jika pada mulanya ia justru ogah menjadi pesepakbola? Walhasil, ia baru memulai karier profesionalnya ketika berusia 19 tahun bersama Botafogo, setelah sebelumnya hanya memperkuat kesebelasan sebuah pabrik tekstil tempat ia bekerja.
Nilton Santos, salah seorang bek senior Brazil yang kala itu juga penggawa Botafogo, punya kisah menarik tentang awal mula diterimanya Garrincha di klub tersebut.
"Ketika dia datang ke Botafogo untuk uji coba, dia sukses menggocek saya dengan cara meloloskan bola di sela kedua kaki saya. Banyak orang mengira saya akan kesal saat itu, tapi mereka salah. Saya (justru) memberi tahu para direktur yang hadir bahwa mereka harus segera menerimanya. Beruntung, mereka mendengar saya.”
Menurut Alex Bellos, penulis buku The Brazilian Way of Life, itu pertama kalinya ada pemain yang berhasil mengolongi Nilton.
Melesat Bersama Botafogo
Lahir di Pau Grande, nama sebuah distrik di Magé yang berlokasi di Rio de Janeiro pada 28 Oktober 1933, Garrincha semula adalah bocah dari keluarga miskin yang ketika remaja sudah terpaksa menjadi buruh pabrik. Repotnya, ia buruh bandel dan pemalas sehingga terpaksa dipecat. Namun, tak lama ia kembali dipekerjakan lantaran si juragan pabrik kepincut bakat sepakbola Garrincha dan meminta dirinya memperkuat kesebelasan pabrik tersebut.
Berselang tahun dari “kariernya” bersama kesebelasan pabrik tersebut, Garrincha kemudian untuk pertama kali menjadi pesepakbola profesional dengan memperkuat Botafogo pada 1953. Dia sudah menikah kala itu dan juga memiliki seorang anak. Pihak klub tidak menghiraukannya. Mereka justru senang karena dapat langsung memainkan Garrincha di tim utama.
Hasilnya mujarab: Garrincha mencetak trigol di laga perdananya kontra Bonsucesso pada 19 Juli 1953. Botafogo menang telak 5-0.
Berposisi di sayap kanan luar, sejatinya gaya bermain Garrincha selalu sama. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas membuat mudah dicegah. Biasanya ia selalu berlari menggiring bola dengan kecepatan tinggi, lalu berhenti tiba-tiba. Berlari lagi, berhenti lagi. Lawan yang menjaganya pun jadi pontang-panting.
Salah satu pemain yang bernasib nahas saat menjaga Garrincha adalah bek kiri River Plate: Federico Vairo. Momen itu terjadi pada 20 Februari 1958, ketika kedua tim bertanding dalam laga persahabatan yang digelar di stadion Estadio Universitario, Meksiko.
Sejak laga dimulai, para suporter lokal yang memadati stadion selalu berteriak “Ole!”--seperti sorakan orang-orang saat menonton matador--tiap Garrincha melewati Vairo dengan cara yang itu-itu saja: berlari, berhenti, berlari, berhenti. Hingga tiba saatnya momen legendaris yang kelak akan membuat Vairo malu selamanya itu.
Dalam situasi berhadap-hadapan, Garrincha yang sedang berhenti kembali mendadak berlari kencang dan Vairo pun memburunya secepat kilat. Namun yang tidak disadarinya: ternyata Garrincha hanya iseng berlari dan sengaja meninggalkan bolanya di belakang.
Seantero stadion bergemuruh oleh para suporter yang menertawakan Vairo atas kejadian tersebut. Sadar kepercayaan diri anak buahnya runtuh, pelatih River kala itu, Jose Maria Minella, lantas mengganti Vairo. Ia pun hanya bisa berkata lirih:
“Tidak ada yang dapat kamu lakukan. Tidak mungkin.”
Menjadi ‘Maradona’ dan ‘Banana Shot’
Moncer di klub tidak lantas membuat Garrincha langsung masuk skuat timnas Brazil. Selain masih muda, ada banyak pemain lain yang berposisi sama dengannya di sayap kanan, terutama Julinho.
Hal lain yang membuat karier nasional Garrincha tertunda adalah fakta bahwa timnas Brazil sudah mulai mengadaptasi sistem bermain ala Eropa yang lebih mengandalkan kolektivitas ketimbang skill individu. Alhasil, dia tidak diikutsertakan di Piala Dunia 1954. Dalam turnamen tersebut, Brazil kalah di perempat final dengan skor 2-4 dari Hungaria yang kala itu berstatus sebagai tim terbaik di dunia.
Pada 1957, Garrincha sukses membawa Botafogo memenangkan Campeonato Carioca. Dia mencetak 20 gol dalam 26 laga. Dengan status pencetak gol terbanyak kedua di liga, nama Garrincha pun dimasukkan ke dalam skuat Brazil di Piala Dunia 1958. Bersama Pele, dia menjadi eksponen penting timnas saat berhasil menggondol trofi Jules Rimet untuk yang pertama kalinya.
Namun, wiracarita kebintangan Garrincha sesungguhnya dimulai dalam Piala Dunia berikutnya yang digelar di Chile: 1962.
Lantaran Pele harus absen cepat akibat cedera dan hanya bermain di laga awal, ditambah para penggawa lain yang telah terhitung uzur, Garrincha menjadi tumpuan utama pelatih Vicente Feola dalam permainan Brazil. Dan ia menjawab itu bukan hanya dengan berhasil membawa Selecao kembali juara, tetapi juga turut menjadi pemain terbaik dalam turnamen.
Kultus Garrincha bagi Brazil kala itu hanya layak dibandingkan dengan Diego Maradona saat membawa Argentina juara di Piala Dunia 1986, sebagaimana yang juga sempat disinggung oleh Alex Bellos di bukunya. Di perempat final, ketika Brazil mengalahkan Inggris dengan skor 3-1, Garrincha bahkan menciptakan sebuah trademark tendangan keras melengkung yang kini disebut “banana shot”.
Bahkan saking takjubnya dengan penampilan Garrincha kala itu, surat kabar Chile, El Mercurio, pun sampai menjadikannya tajuk utama dengan judul yang ditulis: “Garrincha, Berasal dari Planet Mana Dia?”
Sejak Piala Dunia 1962 tersebut, nama Garrincha terus bergema. Inter Milan, AC Milan, dan Juventus bahkan sempat mencoba merekrutnya pada 1963 dengan kesepakatan unik: Garrincha harus menghabiskan satu musim dengan masing-masing klub. Ironisnya, jika karier sepakbolanya melesat, tidak demikian dengan kehidupan pribadi Garrincha.
Hedonis dan Terlupakan
Dalam studi bertajuk "Class, Ethnicity, and Color in the Making of Brazilian Football" (2000), Jose Sergio Leite Lopes, seorang profesor antropologi dari Federal University of Rio de Janeiro, menyebut bahwa telah memasukkan "kesenangan hedonistik ke dalam sepakbola profesional". Analisis tersebut amat tepat dalam menggambarkan seperti apa sosok Garrincha di atas dan luar lapangan.
Garrincha memang seorang hedonis secara harafiah: pencari kebahagiaan. Ketika bermain, ia tidak peduli menang atau kalah, mencetak gol atau membuat umpan. Ia menikmati “mempermainkan” lawan melalui trik-triknya dan membuat orang yang menonton turut gembira. Maka tidak terlalu mengherankan jika Garrincha semula tidak terlalu kebelet menjadi pesepakbola profesional yang hidupnya diseraki jadwal demi jadwal.
Demikian pula kehidupan pribadinya. Garrincha mempersetankan apapun yang dapat mencegahnya bahagia. Seorang kawan masa kecilnya, Malvina, kepada Angus Macswan dari Reuters memberi kesaksian terkait hal tersebut:
"Dia bermain untuk kesenangan dan demi cinta. Garrincha biasa minum-minum di malam sebelum pertandingan lalu pergi dan keesokannya bermain di Stadion Maracana. Setelah laga, dia kembali ke sini untuk minum-minum lagi."
Garrincha memang alkoholik, sebagaimana ayahnya. Kebiasaan menenggak minuman keras bahkan sempat membuatnya mengalami beberapa kecelakaan mobil. Kecelakaan yang paling fatal dialami Garrincha terjadi pada April 1969: mobilnya menabrak sebuah truk hingga menewaskan ibu mertuanya sendiri.
Selain alkohol dan kongkow-kongkow, seks dan perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari gaya hidup Garrincha. Ia meninggalkan Nair Marques, istri pertamanya yang dinikahinya sejak usia 18 tahun dan telah memberinya delapan anak demi menjalin hubungan dengan penyanyi samba Elza Soares. Namun, sebelum dengan Elza, Garrincha juga memiliki dua pacar lain di Rio Janeiro dan seorang perempuan Swedia yang dikencaninya kala Botafogo melakukan tur ke negara tersebut.
Dan itu dilakukan Garrincha persis ketika ia tengah berada di puncak jayanya. Total ia tiga kali menikah dan memiliki 14 anak dari lima perempuan berbeda.
Pada 1977, Elsa pergi meninggalkan Garrincha setelah sang kekasih yang dalam keadaan mabuk berat memukulnya. Sejak itu hidup Garrincha berkalang nista dan terlupakan: bangkrut, tinggal di rumah yang biaya sewanya ditanggung Federasi Sepakbola Brazil (CBF). Ia pun sakit-sakitan akibat terus mengonsumsi minuman keras.
Dalam keadaan macam itulah Garrincha meninggal pada 20 Januari 1983, tepat hari ini 37 tahun lalu, akibat kerusakan liver parah. Usianya 49 tahun kala itu.
Di atas batu nisannya terpacak kata-kata: “Di sinilah bersemayam sosok yang pernah menjadi Kebahagiaan Orang-Orang.” Dan di sebuah tembok yang tak jauh dari pemakaman tersebut juga terdapat sebuah grafiti: “Obrigado, Garrincha, por você ter vivido.”
Dalam Bahasa Indonesia, kalimat itu berarti: “Terima kasih, Garrincha, karena pernah hidup.”
Editor: Windu Jusuf