tirto.id - Menjelang Natal 2019, Netflix merilis film berjudul The Two Popes yang mengisahkan hubungan antara Paus Benediktus XVI dan Kardinal Jorge Mario Bergoglio. Film berdurasi sekitar dua jam ini memantik perhatian publik karena, selain fokus terhadap perdebatan antara dua tokoh besar di Gereja Katolik, juga dibikin berdasarkan kisah nyata.
Penyebab perdebatan tersebut tak sederhana, terutama bagi Gereja Katolik Roma sebagai salah satu institusi tertua di dunia, tak sederhana: seiring perkembangan zaman, apakah Gereja Katolik Roma akan tetap bertahan dengan cara-cara lama atau sebaiknya melakukan perubahan?
Dalam film tersebut, Paus Benediktus XVI digambarkan sebagai tokoh cerdas, pandai memainkan piano, dan peka terhadap alat kesehatan modern, tetapi terkenal konservatif perihal ajaran gereja. Ia seperti menjadi tameng bagi setiap omongan Kardinal Bergoglio, yang memiliki pemikiran berlawan dengan Sang Paus: progresif dan ingin Vatikan lebih aktif dalam memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Kardinal Bergoglio, yang kelak menjadi Paus Franciscus, memilih sikap progresif bukan tanpa sebab. Pada tahun 1973, saat masih berusia 36 tahun, ia sudah menjadi kepala semua Yesuit di Argentina dan Uruguay. Namun, lantaran ia dituduh berpihak terhadap Junta Militer Argentina semasa “Dirty War” (sebuah kampanye pembunuhan di luar hukum termasuk terhadap para pemimpin gereja), ia dilengserkan dan sempat diasingkan ke Cordoba, kota di kawasan tengah Argentina, pada tahun 1990.
Dalam masa pengasingan di Cordoba inilah, yang ia sebut sebagai “masa krisis yang hebat”, pemikiran progresif Bergoglio lantas mulai muncul ke permukaan. Penyebabnya, menurut Alejandro de Largaza dari Time, ialah kebiasaan Bergoglio dalam bergaul dengan kaum miskin di kota Cordoba, sehingga membuatnya dekat dengan mereka dan tahu betul bagaimana penderitaan mereka.
The Two Popes lantas mengisahkan bahwa perbedaan pemikiran tersebut justru menjadi awal kedekatan antara Paus Benediktus XVI dan Kardinal Bergoglio. Seiring berjalannya film, sikap konservatif dan progresif masing-masing karakter tersebut mampu membaur, jadi dialog yang tidak membosankan, menciptakan empati, komedi, sekaligus perenungan yang mendalam.
Buahnya: ketika Paus Benediktus mundur, Kardinal Bergoglio menggantikan posisinya, dan mereka menjadi sahabat dekat.
Fernando Meirelles, sang sutradara, ternyata mampu membuat kedekatan tersebut tampak alamiah. Ia menjejalkan pizza, fanta, dan, yang paling penting, sepakbola untuk memperkuat dialog serta kebersamaan. Perkara terakhir, Meirelles bahkan menaruhnya di adegan pamungkas film: Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio--yang saat itu sudah menjadi Paus Francis--nonton bareng final Piala Dunia 2014 antara Jerman melawan Argentina dengan penuh kegembiraan.
Padahal adegan akhir tersebut sebenarnya masih diragukan kebenarannya. Dalam wawancaranya dengan USA Today, misalnya, Meirelles mengakui bahwa ia melakukan improvisasi. Sementara itu, sebelum berlangsungnya final Piala Dunia 2014, pihak Vatikan mengatakan:
“Paus Francis dan mantan Paus Benediktus kemungkinan besar tidak akan menonton bersama ketika negara asal mereka, Argentina dan Jerman, bertanding di final Piala Dunia.”
Lantas, mengapa sepakbola terlihat menarik untuk menjadi salah satu bagian penting dalam film tersebut?
Para Paus dan Sepakbola
Selain karena pertandingan final Piala Dunia 2014 tersebut melibatkan Jerman dan Argentina, Paus Benediktus XVI dan Paus Francis memang sering kali menanamkan peran sepakbola bagi kemajuan gereja. Menurut mereka, sepakbola banyak memberikan contoh mengenai ajaran-ajaran penting di dalam gereja.
Pada tahun 2008 lalu, misalnya, Paus Benediktus menyebut bahwa “sepakbola bisa memberikan pelajaran moral kepada anak-anak muda.” Sepakbola, imbuhnya, “dapat menjadi sarana pendidikan untuk nilai-nilai kejujuran, solidaritas, dan persaudaraan, terutama bagi para generasi muda.”
Sementara itu Paus Franciscus bahkan mengerti sepakbola lebih jauh lagi: ia merupakan penggemar berat San Lorenzo, salah satu klub sepakbola asal Argentina.
Menurut laporan New York Times, Paus Franciscus lahir tak jauh dari Estadio Pedro Bidegain, markas San Lorenzo. Besar di lingkungan pekerja, ia konon sering diajak nonton orang tuanya untuk menonton pertandingan klub asal Buenos Aires tersebut.
Dari sana Paus Franciscus mulai mencintai San Lorenzo, dan kelak membawa keberuntungan untuk mereka: pada 2014, sekitar setahun setelah ia diangkat menjadi paus, San Lorenzo berhasil menjadi juara liga Argentina dan meraih gelar Piala Libertadores.
Selain itu, San Lorenzo juga mempunyai kaitan erat dengan gereja. New York Times menulis: “San Lorenzo didirikan pada tahun 1908 oleh seorang pendeta bernama Lorenzo Massa [...] Klub itu bermula dari penawaran Massa terhadap sekelompok bocah jalanan untuk bermain sepakbola di halaman gereja, dengan syarat mereka harus menghadiri misa pada hari Minggu.”
Paus Franciscus, yang karena kecintaan mendalamnya terhadap San Lorenzo, lantas bisa mengaitkan sepakbola dengan ajaran-ajaran di dalam gereja. Ia pernah melabeli sepakbola sebagai “sebuah permain yang pada saat bersamaan merupakan kesempatan untuk berdialog, memahami, dan memperkaya hubungan antar manusia.”
Selain itu, dilansir dari Christian Today, Paus Franciscus juga mengatakan: “Ketika bermain untuk sebuah tim, penting untuk pertama-tama mempertimbangkan kebaikan kelompok, bukan diri sendiri. Untuk menjadi pemenang, kita perlu untuk mengalahkan individualisme, keegoisan, rasisme, intoleransi, dan instrumentalis manusia.”
Yang menarik, kedekatan antara sepakbola dan Paus – baik secara langsung maupun tak langsung -- ternyata tidak hanya terjadi pada Paus Benediktus dan Paus Fransiskus semata. Jauh hari sebelum keberadaan mereka di Vatikan, pengalaman Paus Leo XIII, Paus Benediktus XV, dan Paus Yohanes Paulus II juga mampu memperlihatkan bahwa sepakbola dan gereja mempunyai hubungan timbal balik yang menguntungkan.
Pertama, Paus Leo XIII, yang memimpin Gereja Katolik Roma dari 20 Februari 1987 hingga 20 Juli 1903, pernah menginspirasi Jules Rimet untuk memberikan upah layak kepada para pemain sepakbola.
Saat ensiklik Rerum Novarum, yang merupakan wujud dari keresahan Paul Leo XIII terhadap dampak Revolusi Industri tak diterima negara-negara eropa dan gagal mengentaskan kesenjangan sosial, Rimet mampu menerapkannya di dalam sepakbola.
Kelak dari reformasi Sang Paus inilah, Rimet, yang keluarganya pernah menjadi korban keganasan Revolusi Industri, melangkah lebih jauh ke depan. Ia menjabat sebagai presiden pertama FIFA, dan untuk menjalin solidaritas antar bangsa, ia menggagas Piala Dunia.
Kedua, meskipun menyerupai mitos, sepakbola juga pernah menjadi kebahagian kecil bagi Paus Benediktus XV. Selama Perang Dunia Pertama yang berdarah-darah, Paus Benediktus XV pernah meminta adanya gencatan senjata setidaknya selama malam natal. Namun, permintaan itu tak digubris oleh pemimpin-pemimpin negara yang sedang berperang.
Sampai akhirnya, pada Desember 1914, terjadi keajaiban di garis depan. Seperti ditulis Britannica:
”Beberapa perwira Inggris berpangkat rendah mulai memerintahkan anak buah mereka agar tidak melakukan tembakan kecuali mereka ditembaki terlebih dahulu... Saat pagi natal tiba, pasukan Jerman lantas keluar dari parit perlindungan sambil melambaikan tangan, menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai niat jahat. Di tanah tak bertuan, tentara Inggris segera bergabung dengan tentara Jerman untuk bersosialisasi sekaligus bertukar hadiah.”
Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Christmas Truce itu memang tak terjadi menyeluruh di medan perang, tapi berlanjut hingga tahun 1915. Bahkan untuk memaksimalkan kebahagiaan yang bersifat sementara itu, pada natal 1915 prajurit Inggris dan Jerman tidak tidak hanya bertukar kado atau bernyanyi bersama. Mereka juga bermain bola bersama-sama, tanpa peraturan, selama kurang lebih 30 menit lamanya.
“Saya masih ingat bagaimana salju teracak-acak,” kenang Bertie Felstead, serdadu Inggris yang wafat pada Juli 2001, dilansir dari Pandit Football. “Tidak ada yang menjadi penjaga gawang.”
Dan ketiga, ada Paus Yohanes Paulus II, yang tidak hanya menganggap penting sepakbola bagi gereja, tapi juga pernah menjadi pemain sepakbola.
Gereja Merangkul Sepakbola
Paus Yohanes Paulus II kecil, menurut situs Aleteia, sering kali bermain sebagai kiper untuk tim sepakbola di sekolah, gereja, maupun tim lokal Wadowice, Polandia -- tempat ia lahir dan berkembang.
Kala itu, ia sudah sadar bahwa sepakbola bisa menguatkan kebersamaan dan kebahagiaan. Saat tim gereja Paus Yohanes Paulus bertanding melawan sekumpulan anak Yahudi misalnya, Sang Paus bahkan tak keberatan untuk memperkuat tim lawan.
“Biasanya anak-anak Yahudi selalu kekurangan orang, jadi seseorang harus bermain untuk tim mereka dan dia (Paus Yohanes Paulus II) selalu siap untuk menjaga gawang mereka,” kenang seorang teman dekat Paus.
Kebiasaan masa kecil itu lantas mempunyai pengaruh besar terhadap kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II di Gereja Katolik Roma. Saat sebagian besar Paus lain hanya menekankan pentingnya sepakbola, ia melangkah lebih jauh dengan menggandengnya. Hal ini, setidaknya, pernah ia utarakan dalam laporan Vatikan mengenai perspektif gereja tentang olahraga.
“Gereja harus berada urutan terdepan dalam olahraga, untuk merencanakan kerasulan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan para atlet dan khususnya untuk mempromosikan olahraga yang dapat menciptakan kondisi kehidupan yang ‘kaya’ dan penuh pengharapan,” tutur Paus Yohanes Paulus II.
Selain itu, Yohanes Paulus II juga sering mengundang tim atau atlet sepakbola berprestasi ke Vatikan, mengabarkan kesuksesan mereka, dan membimbing mereka agar selalu mampu menginspirasi banyak orang. Maka, tak heran apabila Paus Yohanes Paulus II adalah salah satu sosok yang dihormati di kalangan sepakbola.
The Guardian setidaknya pernah melaporkan bahwa fans Fulham, Liverpool, Dortmund, hingga Barcelona mengakui dengan bangga bahwa Paus Paulus II bagian dari mereka. Sedangkan ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal pada tahun 2005, The Irish Times menulis obituari dengan judul: “Paus selalu memiliki tempat di hati para pesepakbola.”
Apa yang dilakukan oleh Paulus II tersebut sejatinya merupakan pantulan dari sikap gereja alias Vatikan ketika sepakbola pertama kali menjamah Italia.
Dalam esainya yang berjudul Soccer, Religion, and Authority: Note on the Early Evolution..., Stefano Pivato menceritakan bahwa sepakbola semula tak mendapatkan tempat di Italia. Penyebabnya, menurut orang-orang Italia, sepakbola bisa memecah belah bangsa. Namun Giaovanni Semeria, seorang cendekiawan gereja, lantas mengubah paradigma tersebut.
Semeria menyebut bahwa orang-orang Anglo-Saxon yang memperkenalkan sepakbola “tidak mempunyai rasa takut, suka tantangan, gemar berteluangan, tidak pernah melarikan diri, dan pemberani.”
Maka untuk menekankan pentingnya otoritas dan kebersamaan, Semeria pun menyamakan sepakbola dengan pendidikan gereja katolik. Menurutnya, sepakbola bisa menjadi peneguhan metafora gereja, di mana para pemimpin agama dan para pengikutnya, bisa percaya, berdiri, patuh, dan tunduk.
Gereja Katolik pun kemudian menjadi pilar utama sepakbola untuk masuk ke Italia. Dan Semeria menekankan alasannya: “Ketundukan terhadap wewenang adalah peraturan pertama yang bisa dipelajari dari sepakbola.”
Editor: Eddward S Kennedy