tirto.id - Sepakbola bukan semata urusan menang-kalah, gol menit akhir pertandingan, selebrasi juara, trofi kompetisi, maupun chant penonton yang menggema di seluruh penjuru stadion. Sepakbola, sekali lagi, lebih dari itu.
Urusan bal-balan di Glasgow adalah contohnya. Di ibu kota Skotlandia ini, sepakbola berbicara mengenai banyak hal yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan si kulit bundar. Ia bisa menyentil politik, situasi sosial, sampai membawa embel-embel agama. Segala sengkarut tersebut dipraktikkan begitu paripurna oleh dua klub ibu kota: Celtic dan Rangers. Selama berabad-abad, mereka larut dalam rivalitas dengan bahan bakar sentimen di luar perkara bola yang dimaksudkan untuk satu tujuan: nama besar.
Perseteruan itu masih terasa jejaknya sampai sekarang.
Persaingan Katolik vs Protestan
Elemen historis merupakan narasi penting yang diperlukan untuk menjelaskan bagaimana rivalitas kedua klub tersebut dimulai. Glasgow Celtic didirikan pada 1888 oleh Bruder Walfrid, seorang biarawan, untuk mengumpulkan donasi bagi komunitas Katolik kota yang miskin. Sementara Rangers, di lain sisi, dibentuk 16 tahun sebelumnya, 1872, oleh sekelompok pemuda Protestan asal Gareloch. Pertandingan pertama mereka di lapangan dilaksanakan pada 28 Mei 1888. Celtic, yang kala itu berstatus tuan rumah, unggul dengan skor 5-2.
Di masa-masa awal berjalannya Liga Skotlandia, dekade 1890-an, Celtic berjaya. Mereka sukses meraih trofi kompetisi domestik. Kesuksesan itu membuat Celtic populer. Mereka perlahan mendapatkan atensi publik, termasuk para imigran asal Irlandia yang tinggal di Skotlandia. Para imigran ini datang ke Skotlandia sebagai imbas dari periode Kelaparan Besar yang mengakibatkan pengangguran massal serta kemiskinan. Berdasarkan catatan yang ada, sekitar 205.000 warga Irlandia menyeberang ke Skotlandia waktu itu.
Namun, bukannya mendapatkan penghidupan yang baik, imigran Irlandia—yang kebanyakan adalah pemeluk Katolik—justru jadi sasaran risak orang-orang Skotlandia yang mayoritas Protestan. Mereka jadi target diskriminasi. Hidup mereka dipersulit, dibikin sengsara. Di tengah rasa was-was itu, mereka menemukan pelarian dengan bergabung mendukung Celtic, yang muncul ke permukaan membawa semangat kolektif komunitas Katolik, demikian tulis Matt Gaul dalam “A Tale of One City: Glasgow” yang dipublikasikan These Football Times.
Keberhasilan Celtic membuat pihak Rangers tak nyaman. Ada perasaan terancam yang menjalar seiring eksistensi Celtic. Maka, satu-satunya jalan adalah menggalang dukungan, kendati dengan cara yang tak elegan. John Ure Primrose, Presiden Rangers kala itu yang juga politisi anti-Irlandia, anti-Katolik, serta pemeluk nilai-nilai politik Orde Orange—organisasi anti-Katolik yang menyerukan unifikasi Inggris—paham betul bagaimana memainkan sentimen kebencian yang ditujukan pada Celtic dan pendukungnya. Ia melancarkan propaganda demi propaganda untuk menyudutkan Celtic. Tak lama, Rangers tumbuh menjadi simbol komunitas Protestan yang mendiami bagian selatan kota.
Seketika, dari situ, rivalitas Celtic-Glasgow—yang akrab disebut “Old Firm”—berubah jadi ladang pertarungan dua agama: Katolik dan Protestan. Tak cuma agama saja, persaingan kedua klub ini juga melebar hingga dimensi politik; sosialisme melawan konservatisme; juga nilai-nilai yang mereka anut. Para pekerja Protestan kebanyakan menganut nasionalisme Ulster: mereka konservatif dan mendukung Inggris. Sedangkan pendukung Celtic yang mayoritas Katolik adalah pendukung IRA dan menolak bergabung ke Inggris.
Memasuki era modern, rivalitas berlandaskan politik dan agama ini terus berlanjut. Beberapa hal, yang sudah tertanam kuat dan menjadi tradisi masa lalu, coba dipertahankan. Seperti misalnya bagaimana Rangers, selama satu abad lebih, menolak merekrut pemain beragama Katolik. Pada akhirnya, kebijakan ini gugur pada 1989 tatkala Rangers memboyong Maurice Johnson, yang beragama Katolik.
Tradisi lawas itu juga dapat dilihat melalui atribut Rangers. Pada 2003, mereka merilis seragam tandang berwarna oranye. Warna tersebut acapkali diidentikkan dengan Orde Orange. Yang cukup mengagetkan, jersey tandang ini jadi salah satu seragam terlaris dalam sejarah Rangers.
Di lapangan, situasi lebih brutal lagi. Pendukung kedua klub tak ragu melempar chant bernada intoleran dan sektarian. Celtic, misalnya, secara rutin menyanyikan lagu-lagu dan mengibarkan bendera untuk mendukung Republik Irlandia dan Tentara Republik Irlandia (IRA) yang seringkali disebut “kelompok teroris.” Di saat bersamaan, mereka juga mengejek pendukung Rangers sebagai Protestan sayap kanan yang masih saja terpikat dengan monarki Ratu Elizabeth.
Sedangkan Rangers tak mau kalah. Mereka dengan lantang mengumandangkan chant yang menelanjangi identitas Katolik pendukung Celtic. Nyanyian yang terkenal berjudul “F*** the Pope”—merujuk pada pimpinan umat Katolik dunia, Paus.
Tak jarang, saling lempar ejekan ini berujung pula pada aksi kekerasan. Final Piala FA Skotlandia 1980 di Hampden Park merupakan bukti konkretnya. Waktu itu, ribuan orang pendukung dua klub langsung menyerbu lapangan untuk saling sikut sesaat selepas peluit akhir pertandingan ditiup. Pemandangan tersebut seringkali disamakan dengan adegan film Apocalypse Now (1979) garapan Francis Ford Coppola.
Pada 1995, pemuda Glasgow bernama Mark Scott dibunuh hanya karena berjalan melewati pub yang salah pada malam setelah pertandingan Celtic-Rangers berlangsung. Enam tahun berselang, bentrok kedua kubu lagi-lagi terulang usai semifinal Piala FA dilangsungkan. Polisi menangkap 41 orang yang diduga jadi provokator.
Rivalitas panas ini juga berdampak pada jajaran pemain maupun pelatih. Neil Lennon, manajer Celtic pada 2010-2014 yang juga seorang Katolik serta berasal dari Irlandia Utara sering menerima paket berisi peluru. Pengirim diduga kuat berasal dari kelompok pendukung Rangers yang Protestan.
Pemerintah Skotlandia sebetulnya tak tutup mata melihat aksi-aksi barbar bermotif agama yang dilakukan kedua belah pihak. Pada 2011, guna memutus mata rantai sektarianisme dalam sepakbola, pemerintah mewacanakan pembentukan Offensive Behaviour at Football and Threatening Communications Act. RUU sedianya ditujukan menghukum mereka yang dianggap “menghasut publik dengan ujaran kebencian” di semua pertandingan sepakbola.
Namun, wacana RUU ini tak diteruskan. Penyebabnya: pemerintah dianggap kelewat mengintervensi urusan lapangan dengan perangkat regulasi yang ada. Dikhawatirkan, regulasi tersebut justru hanya akan memperkeruh situasi dan membuka ruang penangkapan semena-mena oleh aparat kepolisian.
Yang terjadi antara Celtic-Rangers sebetulnya memperlihatkan bahwa sektarian menjadi masalah serius yang dihadapi masyarakat Skotlandia. Laporan pemerintah, mengutip David Child dalam “’An Eternal Relationship’: Scotland’s Famous Football Rivalry” yang terbit di Al Jazeera, menyebut ada sekitar 673 kejahatan bermotif agama pada 2016-2017.
Dari keseluruhan kasus yang dicatat, 80% di antaranya ditujukan kepada kelompok Katolik. Susan Wiltshire, pakar kriminologi dari Universitas Glasgow, menjelaskan ada dua faktor mengapa kelompok Katolik kerap jadi target diskriminasi. Pertama, mereka tinggal di daerah yang secara ekonomi lebih miskin. Kedua, sentimen yang sudah mendarah daging.
“Perseteruan Katolik-Protestan yang sering muncul di pertandingan [Celtic-Rangers] begitu tertanam kuat secara struktural di masyarakat Skotlandia. Itu adalah sesuatu yang harus ditangani di berbagai tingkatan secara konsisten dan sistematis,” katanya, mengutip The Guardian.
Perlahan Reda?
Tak selamanya rivalitas kedua klub ini terus mendidih. Semakin ke sini, sentimen agama yang kerap dibawa dalam setiap pertandingan diakui banyak pihak mulai mereda. Pasalnya, di balik segala adu bacot dan fisik masing-masing pendukung, Celtic-Rangers pada dasarnya adalah dua kolektif yang saling membutuhkan.
Dalam laporannya berjudul “‘An Eternal Relationship’: Scotland's Famous Football Rivalry” yang terbit di Al Jazeera, David Child menulis turunnya tensi agama dalam Old Firm bisa dilihat dari statistik yang memperlihatkan bahwa hampir 60 persen orang Skotlandia, pada 2016, menggambarkan diri mereka sebagai ateis, naik dari yang mulanya 40 persen di awal milenium. Selain itu, yang menyatakan dirinya adalah seorang Protestan atau Katolik hanya kurang dari 30 persen, atau sekitar lima juta orang, turun 19 persen dari 1999.
Sedangkan The Economist lewat “Scottish Footballs Symbiotic Rivalry” mengungkapkan faktor lain yang mendorong turunnya sentimen agama dalam Old Firm yaitu pernikahan antara orang Protestan dan Katolik. Pernikahan membuat tensi kebencian yang ditujukan pada agama masing-masing, mau tidak mau, turut meredam bara permusuhan antar dua pihak.
“Anda mungkin masih melihat pendukung Celtic dan Rangers saling membenci, tapi hal itu mungkin dikarenakan mereka adalah penggemar Celtic dan Rangers, bukan penganut Katolik atau Protestan,” ucap Joyce, pemegang tiket musiman selama 18 tahun terakhir di Celtic Park, kepada Al Jazeera.
Tensi kian amblas tatkala pada 2012, Rangers ditetapkan harus turun empat tingkat dari piramida tertinggi bola Skotlandia karena masalah finansial dan penghindaran pajak secara ilegal. Absennya Rangers, catat The New York Times, berarti dua hal. Pertama, laga derby tak lagi panas. Kedua, membikin Celtic rugi sebanyak £40 juta akibat hilangnya potensi pendapatan yang bisa ditimbulkan dari laga Old Firm—merchandise sampai tiket—selama 4 tahun berturut.
Pada akhirnya, Old Firm adalah soal rivalitas dua klub dalam satu kota yang dibumbui banyak hal; agama, politik, hingga sejarah. Ketiganya berkelindan membentuk satu benang merah yang terbentang dari sudut gawang satu ke yang lainnya di Celtic Park maupun Ibrox Stadium. Meski tensi tidak sepanas di masa lalu, sejarah rivalitas dua klub ini selalu akan ada di sana, tidak akan pernah berubah. Celtic menjadi klub yang mengibarkan bendera Irlandia di atas Celtic Park, sementara Rangers pernah punya riwayat menolak semua pemain Katolik serta mengumandangkan serapah pada Paus.
Rivalitas Celtic dan Rangers bakal senantiasa terkunci dalam hubungan yang kekal.
Editor: Nuran Wibisono