tirto.id - Perancis adalah salah satu tim nasional paling multikultur yang berlaga di Piala Dunia 2018. Komposisi pemainnya berasal dari latar belakang beragam dan bisa dikatakan mewakili spirit Revolusi Perancis: liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan).
Ayah Antoine Griezmann merupakan imigran dari Jerman, ibunya keturunan Portugis. Orang tua Paul Pogba berasal dari Guinea. Ayah Kylian Mbappe berasal dari Kamerun, ibunya asli Aljazair. Ayah Corentin Tolisso berasal dari Togo. Sementara Samuel Umtiti lahir di Kamerun dan Steve Mandanda di Republik Demokratik Kongo.
Mengalirnya darah imigran ini juga dimiliki sembilan pemain timnas Perancis lainnya. Dari 23 pemain yang sukses membawa Perancis juara Piala Dunia 2018, 15 di antaranya adalah mereka yang tidak berdarah Perancis "murni".
Sejarah sepakbola Perancis memang terkait erat dengan para imigran. Sama seperti negara lain, sepakbola masuk ke negara ini lewat ekspatriat Inggris.
Semuanya bermula pada 1890-an ketika orang Inggris pemilik klub Standard Athletic Club dan White Rovers Scots menggelar turnamen kecil di pinggiran kota Paris.
Selain Inggris, Swiss juga punya peran penting mengenalkan sepakbola di Perancis, terutama di kota Marseille. Pada 1909 dan 1911, klub lokal milik ekspatriat asal Swiss, Stade Helvetic, menjuarai turnamen yang diselenggarakan Persatuan Olahraga Atletik Perancis (USFSA).
Kemenangan Stade Helvetic jadi perdebatan. Watak sauvinistis yang menggebu di masyarakat Perancis memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin kejuaraan domestik dikuasai orang-orang asing?
Paul Dietschy, profesor sejarah di Universitas Franche-Comté, dalam artikel ilmiahnya berjudul "Football et immigration en France"menyebut, pada masa itu, alih-alih bersikap resisten seperti kebanyakan penduduk Perancis, Stade Helvetic malah merangkul para imigran untuk membangun sepakbola.
Delapan tahun setelah kejayaan Stade Helvetic, pada 1919, USFSA yang cenderung konservatif berevolusi jadi Asosiasi Sepakbola Federasi Perancis (FFF) dengan komando Julies Rimet, yang juga pendiri FIFA.
Pada 1920-an, ada kecenderungan klub besar berupaya merekrut pemain asing. Tokoh utama perekrutan ini adalah pengusaha otomotif pemilik Peugeot, Jean-Pierre Peugeot, yang jadi bos klub FC Sochaux.
“Peugeot menjadikan Sochaux jadi brand ternama. Mereka mendatangkan pemain hebat dari Swiss dan Inggris,” kata sejarawan Fabrice Grognet, seperti dikutip situs resmi FIFA.
Hubungan tak akur antara FIFA dan negara-negara Britania Raya pada 1928 menyeret Perancis ke arus konflik. Inggris mengembargo pemain dan pelatih mereka untuk bermain di Perancis. Embargo ini membuat target pencarian bakat klub Perancis beralih ke Eropa Tengah dan Amerika Selatan.
Saat liga profesional (Ligue 1) mulai bergulir pada 1932, hampir 35 persen pesepakbola berstatus sebagai pemain asing. Banyak di antara mereka yang kemudian dinaturalisasi dan bergabung dalam timnas Perancis. Di antaranya pemain asal Austria, Rodolphe Hiden dan Auguste Jordan; penyerang Uruguay, Pedro Duhart; serta trio Jerman Joseph Alcazar, Piere Korb, Fritz Keller.
Selain imigran berkulit putih, Les Blues memiliki wakil dari ras lain. Pemain kulit hitam pertama di skuat Perancis adalah Raoul Diagne dari Mali dan ada pula seorang Arab bernama Larbi Ben Barek dari Maroko.
Prestasi Perancis di Tangan Imigran
Dalam pembabakan sejarah sepakbola Perancis, masa kejayaan mereka terbagi dalam empat periode: akhir 1950-an, pertengahan 1980-an, akhir 1990-an, dan pertengahan 2010-an sampai sekarang.
Pada periode akhir 1950-an, mereka sukses lolos beruntun dua kali ke semifinal, yaitu pada Piala Dunia 1958 dan Piala Eropa 1960. Pada periode 1980-an, Les Blues menjuarai Piala Eropa 1984, serta beruntun lolos ke semifinal Piala Dunia 1982 dan 1986.
Selang 20 tahun kemudian, Perancis menjuarai Piala Dunia 1998 dan kemudian Piala Eropa 2000. Pada era ini, selain menjuarai Piala Dunia 2018, mereka pun sempat lolos ke final Piala Dunia 2006 dan Piala Eropa 2016.
Dan semua prestasi itu musykil didapat jika Perancis tak mengandalkan pemain keturunan.
Saat bermain di Piala Dunia 1930, 1934, dan 1938, Perancis mengandalkan pemain imigran macam Duhart, Alcazar, Korb, dan Keller. Namun kelompok sayap kanan mengintimidasi FFF lewat pendekatan politik. Alhasil, pelatih pun tak diberi keleluasaan dan lebih condong memakai pemain Perancis "murni".
Setelah Perang Dunia II, publik baru menyadari bakat imigran ini tak bisa disia-siakan. Kesadaran itu muncul ketika mereka menjadi juara ketiga pada Piala Dunia 1958. Kekuatan Perancis kala itu bergantung pada pemain keturunan seperti Raymond Kopa, César Ruminski, Léon Glovacki, Guillaume Bieganski, Lazare Gianessi, Abderrahmane Mahjoub, Abdelaziz Ben Tifour, dan Ernest Schultz. Generasi ini sukses mengulang prestasi saat lolos ke semifinal Piala Eropa 1960.
Dua dasawarsa kemudian, muncul generasi emas lain pada dekade 1980-an. Hampir 60 persen anggota skuat adalah pemain keturunan. Bek tangguh Marius Trésor lahir di Guadelope, negara jajahan Perancis. Begitu juga Christian Lopez yang lahir di Aljazair. Sementara Gerard Javion lahir di Martinique dan Jean Tigana lahir dan besar di Sudan.
Status serupa dialami pemain kulit putih seperti Pattrick Battison dan si kaki lincah Michael Platini yang lahir dari orangtua berasal dari Italia, atau Allain Giresse yang ibunya seorang Spanyol.
Setelah mandek selama 10 tahun, pada 1996, Perancis kembali bangkit lewat Zinedine Zidane dan kawan-kawan. Mayoritas tim ini lagi-lagi bertumpu pada kekuatan imigran. Pada fase inilah muncul mitologi "Black-Blanc-Beur" (Hitam-Putih-Arab)—merujuk tiga identitas menjadi satu, mencapai hal-hal yang belum pernah diimpikan sebelumnya. "Black-Blanc-Beur" dianggap komposisi ideal multikulturalme ala Perancis yang diadopsi di timnas.
Bernard Lama berasal dari Guyana. Patrick Vieira dari Senegal. Lilian Thuram dan Thierry Henry, yang lahir di Perancis, adalah keturunan Guadeloupe. Sedangkan David Trezeguet, Fabian Barthez, dan Bixente Lizarazu semuanya berasal dari negara-negara berbahasa Spanyol. Beberapa lainnya berasal dari Ghana dan Armenia. Dan sang bintang, Zinedine Zidane, berdarah Arab.
"Ini adalah tim yang mencakup akar etnis yang menopang Perancis selama seratus tahun terakhir," tulis David Goldblatt dalamThe Ball is Round (2006).
Bahaya Laten Rasisme
Dampak kehadiran imigran, salah satunya, adalah rasisme yang mengental dalam kultur sepakbola Perancis. Rasisme bahkan datang pula ketika tim nasional Perancis bermain tandang. Raymond Kopa, misalnya, pernah menulis pengalaman sebagai korban rasisme saat menghadapi Irlandia pada 1953. Kala itu, ia menemukan pamflet yang disebar di sekitar stadion. Isi spanduk itu amat menyakitkan baginya.
"Perhatian-perhatian, Tim Perancis yang kamu lihat bukanlah tim yang sebenarnya. Komposisi mereka terlihat seperti tim naturalisasi mengandalkan pemain asing dari Polandia, Hungaria dan Italia. Jangan ragu untuk memaki mereka. Mereka bukan pesepakbola Perancis sebenarnya," tulis Kopa seperti tertuang dalam The Making of Les Bleus: Sport in France, 1958-2010 (2012).
Pada 1996, eksistensi kelompok populis sayap kanan Front Nasional yang membenci imigran semakin berkembang. Pemimpin kelompok ini, Jean-Marie Le Pen, sempat berpendapat bahwa timnas yang kala itu mulai didominasi pemain imigran sebagai tim yang diisi "orang asing" yang tidak tahu bagaimana cara menyanyikan lagu kebangsaan.
Hasil mencorong di Piala Dunia 1998 sejenak meredam gerak-gerik propaganda Le Pen. Tetapi periode ketenangan ini hanya berumur pendek. Pada 2002, Front Nasional Le Pen kembali memperoleh suara signifikan pada putaran pertama pemilihan presiden dan punya kesempatan menantang sang petahana, Jacques Chirac.
Pada saat inilah Zidane muncul. Ia meminta masyarakat untuk memilih dan menentang golput demi mencegah kemenangan Le Pen. "Ketika Anda melihat tingkat abstain 30 persen, saya harus memberi tahu bahwa masyarakat harus memilih," kata Zidane.
"Masyarakat harus tahu konsekuensi dari pemungutan suara ketika pesta ini dimenangkan mereka yang tidak selaras dengan nilai-nilai negara kita," ucap Zidane yang enggan menyebut Le Pen secara langsung. Entah kata-kata Zidane ini benar-benar diikuti masyarakat atau tidak, yang jelas, jumlah pemilih meningkat dan Chirac menang telak 80 persen.
Penembakan Charlie Hebdo, serangan Bataclan, dan aksi teror lain yang mendera Perancis pada 2015 menggoyahkan persatuan nasional. Gelombang ketidakpercayaan rasial dimanfaatkan Maria Le Pen, anak dari Jean Le Pen, untuk memenangkan pengaruh. Dua tahun setelah serangan, ia menempati posisi kedua dalam pemilihan presiden dengan raihan suara 33,9 persen—satu hal yang tidak pernah dicapai Front Nasional sebelumnya.
Kondisi ini bertolakbelakang dengan apa yang terjadi di atas lapangan. Aroma Black-Blanc-Beur semakin kuat dalam beberapa tahun terakhir. Duapertiga pemain Les Bleus berlatarbelakang imigran.
"Itu adalah Perancis yang kami cintai," kata Griezmann usai menekuk Kroasia di final Piala Dunia.
"Sangat indah melihatnya. Vive la diversite!" ucapnya lagi.
“Keanekaragaman skuat ini adalah citra sebuah negara yang indah yaitu Perancis,” timpal gelandang Blaise Matuidi, yang orang tuanya berasal dari Angola dan Kongo.
“Kami semua bermain untuk jersey yang sama. Untuk Perancis, kami memberikan semua yang kami miliki. Segera setelah kami memakai jersey ini, kami melakukan segalanya dan saling bekerjasama," tambahnya.
Piala telah diarak di kota Paris. Dan untuk sejenak serangan agitasi kelompok kanan soal imigran hanya sayup-sayup terdengar. Di Perancis, sepakbola setidaknya bisa menjadi alat gencatan senjata antara dua kubu yang bertikai.
Dalam esainya berjudul "Fear of a Black France", Grégory Pierrot menulis: "Kamu pengin ngetroll kaum fasis Perancis? Katakan kepada mereka yang sebenarnya: pria Perancis paling dikenal di dunia saat ini adalah seorang anak kulit hitam bernama Kylian Mbappé.”
Itu adalah hantaman paling telak bagi kelompok kanan Perancis saat ini.
Editor: Ivan Aulia Ahsan