tirto.id - Orang-orang Perancis menggilai anggur. Berkat Didier Deschamps, setidaknya di Piala Dunia 2018, mereka juga menggilai sepakbola seperti menggilai anggur.
Saat tandukan Samuel Umtiti berhasil membobol gawang Thibaut Courtois pada menit ke-51, teriakkan “buuut!” [gol] tidak hanya menggema di Stadion St Petersburg, tempat dilangsungkannya pertandingan semifinal Piala Dunia 2018. Di Bordeaux, Marseille, Paris, hingga sudut-sudut terpencil Perancis, teriakan itu tak kalah membikin gaduh.
Menjelang laga semifinal bubar, sementara para penggemar Perancis di atas tribun stadion mulai melompat-lompat sambil menyanyikan “Qui ne saute pas n'est pas francais” [kurang lebih berarti "siapa yang tidak melompat bukan orang Perancis"], penggemar di rumah sudah bersiap memadati jalanan di kota-kota Perancis untuk merayakan kemenangan.
Perancis akhirnya menang 1-0. “Allez les blues!” [go the blues] kemudian diteriakkan orang-orang Perancis secara kompak, baik yang berada di stadion maupun yang sudah berjalan untuk memadati Champs Elysees, Paris.
“Malam ini kami sangat bangga menjadi orang Perancis!,” teriak Alia dan Sacha, dua anak sekolah asal Paris yang ikut turun ke jalanan hari itu, dilansir dari The Local. Sementara Alia dan Sacha merasa bangga, Sebastien mulai bernostalgia dengan kesuksesan Perancis di Piala Dunia 1998: “Saya baru berusia 18 pada tahun 1998 lalu, itu adalah malam terbaik di sepanjang hidup saya. Kami akan mengulangnya pada hari Minggu nanti.”
Thierry Perier, yang saat itu merayakan pesta kemenangan Perancis atas Belgia bersama anaknya yang sedang berusia delapan tahun, tak mau kalah. Ia mengatakan, “Kami membutuhkan hal-hal seperti ini di Perancis, kami pantas mendapatkannya. Kami memiliki pemain-pemain terbaik dan untuk mengangkat moral orang-orang Perancis, memenangi Piala Dunia akan bisa menjadi hadiah yang tak tergantikan.”
Saat ini Perancis memang belum menjadi juara Piala Dunia 2018. Untuk meraihnya mereka masih harus melangkah satu kali lagi, yaitu bertanding melawan Kroasia atau Inggris di laga final. Kekalahan bisa membuat euforia tersebut seperti omong kosong, bahkan bisa juga berubah menjadi caci maki.
Namun Deschamps berjanji untuk tidak akan merusak kebahagian orang-orang Perancis itu. Setelah kemenangan atas Belgia, ia mengatakan, “Saya berada di sini [menjadi pelatih Perancis] untuk menulis lembaran baru di dalam sejarah.”
Taktik Deschamps Sempat Diragukan
Sebelum Piala Dunia 2018 dimulai, Patrick Urbini, penulis sepakbola Perancis, tidak yakin Perancis bisa berbuat banyak di Piala Dunia 2018. Menurutnya, di bawah asuhan Didier Deschamps, Perancis cenderung bermain bertahan, menekankan serangan balik, dan lebih mengandalkan kemampuan individu para pemainnya saat menyerang daripada bermain secara kolektif. Singkat kata, terutama dalam menyerang, Les Blues masih jauh dari kesan kohesif.
Saat menghadapi lawan-lawan yang lebih bagus secara kualitas, pendekatan Deschamps tersebut mungkin dapat bekerja, tetapi Perancis hanya bergabung bersama Australia, Peru, dan Denmark di putaran grup Piala Dunia 2018. Di atas kertas tim-tim tersebut kalah kualitas dari Perancis. Mereka kemungkinan akan bermain bertahan saat menghadapi Perancis. Itu artinya, jika tetap menekankan serangan balik, Perancis akan kesulitan saat menghadapi mereka.
Dengan pendekatan seperti itu, Perancis benar-benar kesulitan saat menghadapi Australia di pertandingan pertama. Bermain dengan formasi 4-3-3, menghadapi Australia yang bermain bertahan dengan formasi 4-4-1-1, Perancis tak berkembang.
Paul Pogba, N’golo Kante, dan Corentin Tolisso, bermain terlalu dekat dengan garis pertahanan Perancis. Akibatnya, trio penyerang Perancis, Kylian Mbappe, Antonie Griezmann, serta Ousname Dembele jarang mendapatkan suplai bola dari pemain-pemain tengah. Peran mereka di lini depan kemudian tidak efisien, mereka bahkan terskesan bermain sendiri-sendiri.
Pada babak kedua, terutama setelah Australia berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1, Deschamps melakukan perubahan. Olivier Giroud dan Nabil Fekir dimasukkan menggantikan Griezmann dan Dembele. Tujuannya, saat Perancis kesulitan mengirimkan umpan-umpan pendek ke lini depan, mereka bisa bermain secara direct.
Namun karena pendekatan tersebut tak kunjung membuahkan hasil, Deschamps sekali lagi melakukan perubahan: Matuidi dimasukkan untuk menggantikan Tolisso. Ia akan bermain sebagai gelandang sebelah kiri, sementara Pogba digeser di sebelah kanan, menggantikan posisi Tolisso.
Selain melakukan perubahan posisi, Deschamps juga menginstruksikan Pogba lebih sering maju ke depan. Hasilnya ternyata mujarab. Gol bunuh diri Aziz Behich, yang menjadi gol penentu kemenangan Perancis, berawal dari pergerakan Pogba. Sementara BBC memilih Pogba sebagai man of the match, Deschamps tak luput memuji penampilan gelandang Manchester United tersebut.“Pogba tampil bagus hari ini,” ujar Deschamps, “Dia memiliki kebebasan dan juga berkontribusi saat bertahan. Dia mampu tampil lebih baik dengan tiga pemain tengah daripada dua pemain tengah, kita bisa melihat itu dan saya merasa dia sudah memainkan perannya dengan baik.”
Saat menghadapi Peru, berdasarkan penampilan Perancis di babak kedua saat menghadapi Australia, Deschamps kemudian melakukan perubahan taktik. Untuk mendukung Pogba, ia memainkan formasi 4-2-3-1 asimetris. Di flank sebelah kiri, daripada memainkan seorang pemain sayap, ia justru memainkan Matuidi. Saat menyerang maupun bertahan, daripada bermain melebar, Matuidi akan bermain merapat dengan Pogba dan Kante yang bermain sebagai double-pivot.
Dengan begitu, Pogba bisa maju ke depan dengan lebih leluasa, pada saat bersamaan Perancis juga tidak akan kehilangan keseimbangan. Terlebih, saat Perancis dalam transisi bertahan, Pogba juga mempunyai kelebihan dalam melakukan tekel di daerah lawan yang mampu menghambat transisi serangan lawan.
Sekali lagi, meski Perancis masih tampil jauh dari harapan, Pogba menjadi kunci kemenangan Perancis dalam laga tersebut. Gol Kylian Mbappe, satu-satunya gol yang terjadi dalam pertandingan tersebut, berawal dari tekel yang dilakukan Pogba di daerah pertahanan Peru.
Meski berhasil menjadi juara grup setelah menahan imbang Denmark 0-0 dengan sejumlah pemain cadangan, penampilan Perancis ternyata masih jauh dari kata memuaskan. Mereka dinilai terlalu bertahan dan kesulitan melakukan serangan saat menghadapi lawan yang bermain bertahan.
Dalam tulisannya di Financial Times, Simon Kuper secara blak-blakan mengatakan, “Semua pertandingan Perancis di [putaran grup] Piala Dunia 2018 berlangsung membosankan.” Menurutnya, Perancis mandul tidak dan bisa berkembang di dalam setiap pertandingan.
Sementara Stuart James, penulis Guardian yang menyaksikan pertandingan Perancis melawan Denmark, juga mengeluhkan hal yang tak jauh berbeda. Ia menulis, “Perancis hanyalah sekumpulan individu yang tak mampu tampil secara kohesif.”
Dua penulis sepakbola itu memang tak salah. Di putaran grup Perancis hanya mampu mencetak 3 gol dalam 3 pertandingan. Bahkan dua dari tiga gol tersebut "membutuhkan" bantuan VAR [Video Assistant Referee]. Menyoal permain Perancis yang kurang kohesif, itu dapat dinilai dari peran tunggal Pogba di dalam setiap penampilan Perancis: tiga gol yang dicetak Perancis tersebut terjadi berkat usaha Pogba, bukan karena permainan kolektif tim.
Adaptasi Taktik Deschamps
Menjelang babak 16 besar, Deschamps lalu menanggapi kritikan tersebut dengan santai, bahkan cenderung optimistis. “Kompetisi kedua [fase sistem gugur] dimulai sekarang," ujarnya. “Kekuatan Perancis akan muncul dengan sendirinya.”
Menghadapi Argentina di babak 16 besar, kembali bermain dengan formasi 4-2-3-1 asimetris, penampilan Perancis benar-benar jauh berbeda dengan penampilan mereka di putaran grup: Perancis mampu tampil menarik. Saat itu cara bermain Argentina yang menekankan penguasaan bola memang menguntungkan pendekatan Deschamps. Namun dalam melancarkan serangan balik, Perancis tidak hanya mengandalkan Pogba tapi juga mampu bermain sebagai tim.
Duet full-back Perancis, yang sebelumnya tak banyak berkontribusi saat Perancis menyerang, menjadi senjata Perancis saat anak asuh Didier Deschamps tersebut bermain melebar. Dengan begitu, saat Pogba kesulitan untuk mengirimkan umpan ke arah Mbappe, Pavard bisa membantunya. Sementara Hernandez bisa tetap membuat Perancis berbahaya dari sisi kiri meski Matuidi berperan sebagai defensive winger.
Dalam pertandingan tersebut, Lucas Hernadez dan Benjamin Pavard kemudian terlibat dalam proses tiga gol dari empat gol yang dicetak oleh timnya. Sementara Pavard mencetak satu gol, Hernandez mengirimkan dua umpan silang yang berhasil dikonversi menjadi gol.
Selain itu, gol keempat Perancis dapat menunjukkan bahwa mereka mampu menyerang secara kohesif. Melibatkan Kante, Matuidi, Griezmann, Giroud, dan Mbappe, gol itu dibangun dari lini belakang dan hanya membutuhkan tujuh kali sentuhan.
Menyoal peran Matuidi sebagai defensive winger yang sebelumnya dinilai kurang efektif, terbatasnya pergerakan Messi dalam pertandingan tersebut bisa menjawab kritik yang diarahkan kepada Deschamps. Menurut Michael Cox, dalam analisisnya di Independent, Matuidi merupakan pemain kunci dalam kemenangan Perancis tersebut.
“Ia mampu meminimalisir ruang Linoel Messi,” tulis Cox. “Di sisi kanan lini serang Argentina, Matuidi mampu melakukan postioning dengan baik, dan melakukan beberapa kali intersep penting.”
Setelah kembali tampil meyakinkan dengan cara yang sama saat menghadapi Uruguay di babak perempat-final, saat menghadapi Belgia di babak semifinal Deschamps sekali lagi menunjukkan bahwa ia adalah seorang pelatih yang adaptatif.
Dalam pertandingan tersebut, Marouane Fellaini diberi tugas oleh Roberto Martinez untuk melakukan man-to-man marking terhadap Pogba. Selain itu, mantan pelatih Everton itu juga menginstruksikan Eden Hazard untuk bermain lebih melebar di sisi kiri, memaksa Benjamin Pavard sibuk dalam bertahan. Dengan begitu, Mbappe tidak akan mendapatkan dukungan dari kedua pemain itu.
Pada awal laga, pendekatan itu memang menyulitkan Perancis untuk membangun serangan. Namun, Deschamps kemudian melakukan perubahan menarik: Pogba diberi tugas untuk lebih bertahan, membantu Pavard untuk mengatasi Hazard. Dengan begitu, karena Kevin De Bruyne kesulitan untuk menghadapi Kante dan Matuidi, Belgia dipaksa mengandalkan Nacer Chadli, yang bermain sebagai full-back kanan, untuk melakukan serangan.
Saat Chadli sering maju ke depan, Griezmann dan Giroud sering bermain berdekatan di sisi kanan pertahanan Belgia. Perancis ingin mengandalkan serangan dari kedua pemain tersebut: Griezmann dijadikan sebagai pusat transisi serangan dan Giroud sebagai penghubung. Mereka berdua kemudian berhasil mengacaukan keseimbangan permainan Belgia.
Dengan pendekatan seperti itu, meski terus ditekan, Perancis justru tampak lebih berbahaya di sepanjang babak pertama. Sementara Belgia hanya mampu melakukan 3 kali percobaan tembakan ke arah gawang, Perancis berhasil melakukannya 11 kali. Dari 11 percobaan tembakan pemain-pemain Perancis tersebut, 8 di antaranya dilakukan oleh Giroud [3] dan Griezmann [5].
Setelah Perancis unggul di babak kedua, Belgia memang beberapa kali melakukan perubahan. Namun, perubahan taktik tersebut tidak memberikan dampak yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari keputusan Deschamps untuk memasukkan N’Zonzi, menggantikan Giroud, pada menit ke-85. Saat itu, tahu bahwa Belgia sudah tidak mempunyai jalan, ia memilih untuk membunuh pertandingan sebelum laga benar-benar bubar. Berkat taktik Deschamps, Perancis pun melaju ke babak final.
Menurut Jonathan Wilson, dalam bukunya Inverting The Pyramid, taktik adalah seni dalam memanipulasi ruang. Maka, saat Deschamps kembali menerapkan formasi 4-2-3-1 asimetris di pertandingan final Piala Dunia 2018 nanti, formasi itu tidak akan berhenti pada empat bek sejajar, dua double pivot, tiga gelandang serang, dan satu penyerang tengah. Selama ada ruang yang dapat dimanipulasi, dengan mengubah peran para pemainnya, Deschamps akan selalu beradaptasi.
Editor: Zen RS