tirto.id - Bersama Brasil, Jerman, dan Spanyol, Perancis menjadi tim yang diunggulkan untuk menjuarai Piala Dunia 2018. Selain berangkat ke Rusia sebagai runner-up Piala Eropa 2016, Perancis juga berhasil lolos ke ke Piala Dunia 2018 tanpa hambatan berarti di babak kualifikasi.
Dan yang paling penting: Perancis juga tak berhenti menghasilkan pemain-pemain berbakat. Dalam skuat mereka di Piala Dunia 2018, hanya Hugo Lloris, Paul Pogba, Raphael Varane, Olivier Giroud, Blaise Matuidi, dan Antoine Griezmann yang menjadi bagian skuat Perancis di Piala Dunia 2014 lalu.
Dengan kondisi seperti itu, Perancis tampaknya tidak akan kesulitan melewati babak grup. Kualitas dan pengalaman para pemain Peru, Australia, serta Denmark (lawan-lawan Perancis di Grup C) masih di bawah para pemain yang diasuh oleh Didier Deschamps.
Musuh terberat Perancis di Piala Dunia justru diri mereka sendiri. Hal itulah yang bisa menghambat perjalanan mereka di Piala Dunia 2018 dan membuat calon-calon lawannya di putaran grup tersebut tidak mudah untuk dikalahkan. Setidaknya, begitulah pendapat Patrick Ubini, penulis di France Football.
Dalam tulisannya di Guardian, Patrick Ubini mengatakan bahwa “sebagai kesatuan Perancis masih miskin konsistensi, kepribadian, dan kontrol untuk menjadikan mereka tim hebat dan menjadi favorit untuk memenangi Piala Dunia”. Selain itu, cara mereka bermain juga sulit untuk ditentukan. Menurutnya, di bawah asuhan Didier Deschamps, Les Blues cenderung bermain cepat di lini depan, menekankan serangan balik, dan mengandalkan solusi individual daripada solusi yang bersifat kolektif dan sistematis.
Dengan pemain-pemain depan yang memiliki kecepatan serta kemampuan individu mumpuni seperti Griezmann, Mbappe, Ousmane Dembele, serta Tauvin, pendekatan Deschamps menyoal menekankan serangan balik dan solusi individual memang bisa dimengerti. Namun, tanpa sistem yang jelas, pemain-pemain tersebut justru bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, kemampuan individu yang mereka miliki akan menguntungkan, tapi di sisi lainnya mereka bisa merusak keseimbangan tim.
Terlebih, lawan-lawan Perancis di Grup C nanti memiliki pakem yang sudah jelas. Sementara Peru merupakan tim yang mampu menyerang secara kolektif, Denmark dan Ausralia adalah tim yang mempunyai organisasi permainan yang rapi. Denmark hanya kebobolan 8 gol di babak kualifikasi Piala Dunia dan Australia ditangani Bert van Marwijk, pelatih yang dikenal pragmatis dan dengan pragmatisme itu pula ia membawa Belanda menjadi runner-up Piala Dunia 2010.
Saat menghadapi Peru, jika Peru benar-benar bermain menyerang, serangan balik Perancis mungkin masih dapat diandalkan. Namun, bagaimana saat mereka menghadapi Australia dan Denmark yang kemungkinan memilih bermain bertahan secara mendalam? Tanpa cara menyerang yang terencana secara sistematis, Perancis bisa kesulitan membongkar pertahanan tim yang bertahan jauh di kedalaman.
Selain itu, ketidakmampuan Perancis mengontrol pertandingan juga bisa menjadi masalah besar. Pertandingan Perancis melawan Kolombia beberapa waktu lalu bisa menjadi contoh. Dalam pertandingan uji coba tersebut, meski sudah unggul 2-0 di paruh pertama laga, Perancis tetap tampil tergesa-gesa layaknya sebuah tim yang mengejar banyak gol untuk meraih kemenangan. Pada akhirnya, Kolombia yang pintar memanfaatkan kesalahan Perancis tersebut berhasil membalikkan keadaan menjadi 2-3.
Menariknya, selain karena pendekatan yang dilakukan Deschamps, masalah itu juga disebabkan karena Perancis tidak memilki pemain tengah yang mampu mengontrol tempo sekaligus membuat timnya tampil secara kolektif. Dan Deschamps sendiri sebetulnya sadar akan hal itu: ia sering mencoba Ngolo Kante dan Paul Pogba untuk memainkan peran tersebut di timnas Perancis, tapi kedua pemain tersebut secara alami memang bukan untuk menjalankan peran tersebut.
Sebagai gelandang bertahan, Ngolo Kante memang bagus dalam melindungi pertahanan timnya. Ia pandai membaca permainan dan pintar melakukan tekel. Namun, meski memiliki kemampuan mengumpan yang tidak buruk, Kante lebih maksimal jika berperan sebagai gelandang box-to-box. Sewaktu bermain di Leicester City, ia membutuhkan Danny Drinkwater. Pun demikian sewaktu bermain di Chelsea, Kante membutuhkan Nemanja Matic. Saat Matic pergi, penampilan Kante memang tidak menurun, tetapi penampilan Chelsea mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Pogba tak jauh berbeda dengan Kante, ia hanya mampu tampil maksimal saat berperan sebagai gelandang box-to-box. Penampilan buruknya bersama Perancis belakangan ini bisa menjadi bukti bahwa Deschamps gagal memaksimalkan potensi yang dimilikinya: Pogba bukan seorang pemain yang sederhana, dan karakternya tidak cocok untuk bermain sebagai pengatur tempo permainan.
Deschamps mencari solusi lain untuk mengatasi masalah tersebut dengan memanggil Steven N’Zonzi, gelandang Sevilla, dan juga Corentin Tolisso, pemain berusia 23 tahun, yang bermain untuk Bayern Muenchen.
Kedua pemain tersebut dinilai mempunyai kemampuan mengatur tempo permainan sekaligus mampu membuat Perancis tampil kolektif. Keduanya merupakan seorang pemain yang suka bermain sederhana dan gemar mengumpan. Namun, kedua pemain tersebut mempunyai perbedaan yang dapat digunakan Deschamps dalam situasi tertentu. Karena kemampuannya dalam menciptakan peluang, Tolisso bisa digunakan Deschamps saat tim lawan memilih bertahan secara mendalam. Sementara itu, N’zonzi akan sangat berguna saat Perancis membutuhkan seorang pemain yang bisa “membunuh pertandingan”, terutama saat Perancis sudah dalam keadaan unggul.
Di Rusia nanti, kedua pemain tersebut mungkin bukan pilihan pertama Deschamps. Mantan gelandang bertahan Juventus itu sepertinya masih percaya dengan pendekatannya sejauh ini. Namun, ia sudah melakukan langkah yang tepat ketika memanggil dua pemain tersebut. Setidaknya, saat Perancis menghadapi lawan yang memilih bertahan secara mendalam atau kesulitan mengontrol pertandingan setelah unggul terlebih dahulu, Perancis sudah mempunyai solusinya.
Satu-satunya gelar Piala Dunia diraih Perancis pada 1998 lalu di rumah mereka sendiri, dan di Piala Dunia 2018 mereka mempunyai peluang besar untuk meraihnya lagi. Namun, melaju sampai babak semifinal juga bukan prestasi buruk bagi anak asuh Didier Deschamps tersebut.
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan