tirto.id - Bronca, semangat perlawanan khas orang-orang Argentina, berhasil menyelamatkan penampilan buruk timnas Argentina di putaran grup Piala Dunia 2018. Meski tampil nyaris tanpa imajinasi, gagap di hampir semua lini, Argentina berhasil lolos ke babak 16 besar karena semangat itu -- semangat untuk tidak mau menyerah.
Setelah bronca membawa timnas Argentina melaju, asado, barbecue khas Amerika Selatan, membuat mereka santai. Pada Kamis (28/6/30) malam, sambil menyantap asado, juga mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan selanjutnya, pemain-pemain Argentina berusaha mengendurkan pikiran.
Dibantu asado, Jorge Sampaoli pun bisa meracik taktik dengan sedikit lebih tenang. Ia sudah menggunakan tiga formasi berbeda di Piala Dunia 2018 sejauh ini, 4-2-3-1, 3-4-2-1, serta 4-4-2. Dari tiga formasi itu, hanya formasi 4-4-2 yang mampu memberikan Argentina kemenangan. Namun, Sampaoli masih belum yakin untuk menggunakannya lagi. Saat Argentina bermain dengan formasi 4-4-2, Lionel Messi, jimat Argentina, memang mampu mencetak gol, tetapi ia belum maksimal.
Mau tidak mau, Sampaoli harus menemukan cara membuat Messi menjadi buas. Sekali lagi, ia memutuskan mengubah formasi. Mantan pelatih Chili tersebut lalu menerapkan formasi 4-3-3 untuk melawan Perancis. Untuk pertama kalinya di Piala Dunia 2018, Messi akan bermain sebagai false nine -- peran yang membuatnya terang benderang di jagad sepakbola sejauh ini.
Sayangnya, semua itu ternyata tidak berguna. Bronca mentah di hadapan pemain-pemain Perancis yang mempunyai kualitas lebih baik. Karena terlihat panik hampir di sepanjang pertandingan, Asado juga hanya membuat Argentina tenang pada Kamis malam. Pendekatan taktik Sampaoli pun hanya membuat Messi semakin murung. Agentina menjadi santapan empuk Perancis yang mengincar serangan balik. Vonis akhirnya diketok: Argentina pulang, Perancis menang dengan skor 4-3.
Argentina Miskin Penetrasi, Perancis Bermain Pasif
Argentina berusaha mendominasi jalannya pertandingan sejak awal. Melalui tiga pemain tengah mereka, Javier Mascherano, Ever Banega, dan Enzo Perez, Argentina berhasil menguasai lapangan tengah. Meski begitu, dominasi Argentina di lini tengah tersebut ternyata tidak mampu memberikan dampak yang cukup signifikan. Karena Perancis memilih bermain bertahan secara mendalam, ketiga pemain tengah Argentina tersebut kesulitan untuk mengirimkan umpan ke depan.
Selain itu, karena rapatnya jarak antara lini belakang dan lini tengah Perancis, juga karena man-to-man marking yang dilakukan Kante, Messi kesulitan memainkan peran false nine. Saat ia turun ke lini tengah untuk menghubungkan serangan, ia mempunyai opsi terbatas untuk mengumpan ke depan. Pada akhirnya, serangan yang dilakukan Argentina hanya mentok di lini tengah.
Masalah Argentina dalam membongkar pertahanan Perancis diperparah miskinnya penetrasi yang dilakukan pemain-pemain Argentina. Di sepanjang babak pertama, setidaknya untuk mengacaukan organisasi pertahanan Perancis, pemain-pemain tengah dan depan Argentina tidak berani membawa bola lebih lama. Hingga turun minum, melalui Messi, Argentina hanya sekali mencatatkan dribel sukses.
Di sisi lain, Perancis terlalu pasif meladeni permainan Argentina. Anak asuh Didier Deschamps tersebut sering membiarkan pemain-pemain Argentina menguasai bola di lini tengah. Sementara empat bek sejajar Perancis bermain dengan garis pertahanan rendah, tiga pemain tengah Perancis tak pernah berdiri jauh dari garis pertahanan mereka.
Pendekatan Deschamps tersebut memang menguntungkan. Dengan membiarkan pemain-pemain Argentina menguasai bola lebih lama, melalui kecepatan pemain-pemain depannya, Perancis mempunyai peluang lebih besar untuk melakukan serangan balik. Terlebih, Argentina sendiri berani memainkan garis pertahanan tinggi pada pertandingan tersebut.
Perancis setidaknya berhasil melakukan dua kali serangan balik di sepanjang babak pertama. Dua-duanya melalui Kylian Mbappe. Pertama, ia melakukan solo-run dari lini tengah dan memaksa Marcos Rojo menjatuhkannya di dalam kota penalti. Kedua, ia berhasil menanfaatkan umpan direct Paul Pogba, yang melewati garis pertahanan tinggi Argentina, sebelum dilanggar di depan kotak penalti Argentina.
Sayangnya, meski berhasil membuat mereka unggul terlebih dahulu, permainan pasif Perancis tersebut bukannya tanpa risiko. Proses gol Angel Di Maria bisa menjadi contoh. Saat itu, karena Matuidi dan Kante berdiri terlalu dalam, nyaris sejajar dengan empat bek Perancis, Ever Banega bisa secara leluasa memberikan umpan kepada Di Maria yang sudah berdiri di dekat kotak penalti Perancis. Kedua pemain tengah Perancis itu pun telat bereaksi ketika Di Maria sudah membidikkan bola ke sudut kiri gawang Huga Iloris.
Reaksi Positif Perancis Setelah Ketinggalan
Setelah Argentina berhasil membalikkan kedudukan menjadi 2-1 pada menit-menit awal pada kedua, Deschamps mulai melakukan perubahan. Saat bertahan Perancis tidak lagi terlihat pasif, tetapi juga mulai menekan pemain-pemain Argentina. Saat menyerang, duet full-back Perancis, Pavard dan Hernadez, yang sebelumnya jarang meninggalkan daerahnya mulai aktif maju ke depan. Duet full-back Perancis dalam menyerang inilah yang menjadi salah satu kunci kemenangan anak asuh Didier Deschamps tersebut.
Untuk mempermudah kinerja Messi sebagai false nine, Angel Di Maria dan Cristian Pavon, dua penyerang sayap Argentina, jarang turun ke belakang. Saat bertahan, mereka biasanya hanya turun sampai garis tengah lapangan. Selain itu, Enzo Perez dan Ever Banega, gelandang kiri dan gelandang kanan Argentina, juga lebih sering bermain menyempit, berdiri berdekatan dengan Javier Mascherano. Dengan pendekatan seperti itu, saat duet full-back Argentina yang lebih sering bergerak ke daearh half-space untuk mengawal Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann (Griezmann sering bergerak ke kiri meski bermain sebagai pemain nomor 10), sisi kanan dan sisi kiri pertahanan Argentina tentu saja rentan terhadap serangan.
Deschamps memanfaatkan situasi itu. Terutama melalui Lucas Hernandez, Perancis seringkali melakukan serangan dari sisi kanan pertahanan Argentina. Hernandez, yang hanya melakukan 11 sentuhan di sepanjang babak pertama (7 sentuhan di daerah sendiri dan 4 sentuhan di daerah lawan), kemudian melakukan 24 kali sentuhan (13 sentuhan di daerah sendiri dan 11 sentuhan di daerah lawan) di sepanjang babak kedua.
Perancis pun menuai hasilnya. Hernandez setidaknya terlibat dalam proses dua gol Perancis pada babak kedua. Pertama, umpan silang Hernandez berhasil dikonversi Pavard menjadi gol. Kedua, umpan silang Hernandez berhasil menciptakan kemelut di dalam kotak penalti Argentina yang memberi jalan Mbappe mencetak gol ketiga Perancis dalam pertandingan tersebut.
Menariknya, peran aktif duet full-back Perancis dalam menyerang tersebut berhasil mengacaukan organisasi pertahanan Argentina. Jika semula pemain-pemain Argentina hanya berkonsentrasi bertahan di sektor tengah, mereka mulai mengawasi pergerakan duet full-back Perancis tersebut. Masalahnya, Argentina saat itu sedang dalam posisi tertinggal. Mau tidak mau, mereka harus tampil menyerang. Dari situ, pertahanan Argentina semakin rentan. Perancis pun mempunyai banyak opsi untuk melancarkan serangan balik.
Dengan begitu, Perancis kemudian berhasil memperbesar keunggulan melalui serangan balik yang diinginkan Deschamps: Perancis berhasil melakukan serangan balik secara kohesif, tidak hanya mengandalkan kemampuan individu para pemainnya. Serangan balik itu dilakukan dalam 7 sentuhan dan melibatkan 6 pemain Perancis. Hugo Iloris menjadi awal, Griezmann menjadi pusat transisi, dan Mbappe sebagai penyelesai.
Melalui gol keempatnya itu, Perancis juga menjawab kritik yang selalu mengiringi perjalanan mereka di Piala Dunia 2018 sejauh ini. Mereka ternyata bukan sekumpulan individu brilian yang tak mampu tampil kohesif. Mereka juga bukan tim yang hanya bisa mencetak gol melalui bola-bola mati. Dan yang paling penting, Deschamps juga tidak salah pilih taktik. Meski masih memiliki sejumlah kekurangan, serangan balik Perancis setidaknya mampu mengantarkan mereka ke babak perempat-final Piala Dunia 2018.
Setelah pertandingan, Deschamps memang memuji penampilan Kylian Mbappe, bintang Perancis dalam laga tersebut. Ia bahkan membandingkan Mbappe dengan mantan penyerang fenomenal Brasil, Ronaldo.
"Ronaldo adalah seorang pemain yang sangat, sangat cepat," katanya, "tetapi Mbappe jauh lebih lebih cepat. Meski begitu, ia seperti sedang mengingatkan lawan-lawan Perancis selanjutnya: jika mempunyai kesempatan untuk melakukan serangan balik, seperti Mbappe, Perancis juga bisa lebih cepat daripada Ronaldo."
Editor: Zen RS