tirto.id - Dunia jarang melihat seorang Diego Maradona menangis. Di atas tribun Nizhny Novgorod Stadium, Maradona kembali tertangkap kamera sedang menghapus air mata yang tumpah di sudut matanya usai Ivan Rakitic menceploskan gol ketiga ke gawang Willy Caballero.
Kekalahan Argentina 0-3 dari Kroasia dalam lanjutan Grup D Piala Dunia 2018 tadi malam memang terasa lebih menyesakkan bagi Maradona. Bukan hanya karena skor telak yang diderita Albiceleste, namun juga kekalahan tersebut bertepatan dengan hari bersejarah saat "gol tangan tuhan" muncul pada Piala Dunia 1986.
Sebelum laga dimulai, Maradona tampak penuh semangat. Ia berjingkrak-jingkrak dan berteriak ke tribun bawah sambil memutar-mutar jersey kedua Argentina bernomor 10. Ia juga memamerkan sebuah kaos bertuliskan "te quiero pero soy un bardo" yang jika diterjemahkan secara bebas kurang lebih berarti: "Saya mencintaimu, tapi saya adalah seorang pesakitan".
Wajah Maradona sudah mulai tercengang usai Caballero membuka kran gol Kroasia melalui blunder fatal di menit 53. Ia makin frustrasi setelah Luka Modric menambah luka bagi Albiceleste. Dan puncak kegetiran Maradona tak dapat ditahan lagi kala Kroasia menambah gol mereka dengan cara yang tampak seperti dalam suasana latihan: tik-tak antara Mateo Kovavic dan Rakitic di muka gawang Argentina yang hanya menyisakan seorang Federico Fazio.
Sebelum laga, pelatih Kroasia Zlatko Dalic sempat mengatakan: “Saya tidak bilang Argentina adalah lawan termudah. Saya bilang inilah laga yang paling mudah bagi kami. Kami tak memiliki beban. Kami bermain melawan salah satu tim yang terbaik.”
Dalic mungkin hanya sedang melakukan perang pikiran. Dengan telah mengantongi satu kemenangan usai laga perdana melawan Nigeria, Kroasia cukup mengejar hasil imbang lawan Argentina, dengan asumsi mereka akan meraih kemenangan atas Islandia di laga terakhir. Terlepas apa alasan Dalic, skor telak di laga tersebut memang membenarkan ucapannya: Argentina adalah lawan yang mudah dikalahkan.
Perancis tidak menemukan Argentina yang mudah-mudah amat untuk dikalahkan. Setidaknya Perancis kebobolan tiga gol. Namun 4 gol yang dicetak Perancis membuktikan: jika pun Argentina bukan tim yang mudah, namun pertahanan mereka memang enteng betul untuk dibobol.
Lionel Messi tentu saja menjadi sorotan, bahkan lebih disorot ketimbang Jorge Sampaoli. Apa boleh bikin, dalam perkara satu ini, La Pulga memang tak punya pilihan: kegagalan Argentina, tidak bisa tidak, akan menjadi terutama kegagalan dirinya.
Messi Seharusnya Jadi Pemain Timnas Spanyol
Ada kutipan menggelora di kalangan pemberontak saat Revolusi Prancis: Ils doivent envisager qu’une grande responsabilité est la suite inséparable d’un grand pouvoir. Dalam Bahasa Inggris, kutipan tersebut kurang lebih berarti: They must consider that great responsibility follows inseparably from great power.
Berpuluh tahun ke depan, beberapa tokoh seperti Winston Churchill dan Theodore Roosevelt, juga menggunakan kutipan tersebut dalam beberapa pidato mereka. Dan makin populer sejak Uncle Ben, paman Peter Parker, turut mengutipnya secara sepenggal dalam komik Spiderman edisi Amazing Fantasy #15 yang terbit pada 1962: With great power comes great responsibility.
Akhir-akhir ini, tiada orang yang lebih tepat selain Messi untuk disandingkan dengan kutipan tersebut. Sebagai salah satu pemain terbaik dunia sepanjang sejarah, Messi memikul beban berat untuk membawa Argentina meraih berbagai trofi bergengsi. Dialah sang penerus Maradona, bahkan dengan catatan statistik yang jauh lebih berkilau dari seniornya tersebut.
Apa daya, jangankan meraih trofi bergengsi, untuk lolos dari fase grup di Piala Dunia 2018 ini saja Argentina harus menggantungkan nasibnya kepada negara lain. Semua makin terasa pahit jika melihat kemungkinan bahwa inilah turnamen terakhir bagi Messi untuk membuktikan bahwa dirinya memang layak diandalkan setelah kalah dalam empat final (Piala Dunia 2014, Copa America 2007, 2015, 2016).
Tentu tidak untuk membebankan semua kepada Messi. Terlebih ketika skuat Argentina juga turut diisi beberapa pemain bagus seperti Sergio Aguero, Gonzalo Higuain, Paulo Dybala, Otamendi hingga Angel Di Maria (nama-nama yang menjadi juara di liga-liga terbaik Eropa: Inggris, Italia, dan Perancis). Namun, sebagaimana kutipan di atas, siapa yang memiliki kekuatan terbesarlah yang wajib memikul tanggung jawab tertinggi. Dalam hal ini, tidak bisa tidak, Messi pula orangnya.
Messi telah belajar memikul beban berat sejak ia masih kanak. Kala itu, pada usia 8 tahun, ia didakwa menderita Growth Hormone Deficiency (GHD), sebuah penyakit yang menyebabkan pertumbuhan tubuh terhambat. Selama bertahun-tahun ia harus diinjeksi dengan suntikan hormon demi dapat bertahan hidup. Ekonomi keluarganya pun berantakan karena biaya medis perawatan Messi kelewat mahal.
Namun, dengan bakat jenius dalam mengolah si kulit bulat yang dimilikinya, Messi mulai mendapat secercah asa untuk mengobati penyakitnya tersebut. Hal ini terjadi pada awal tahun 2000-an, sejak ayah Messi, Jorge, kedatangan dua agen sepakbola: Martin Montero dan Fabian Soldini. Mereka mengaku kepincut dengan Messi setelah menyaksikan aksi La Pulga tampil di turnamen junior bersama Newell’s Old Boys. Kepada Jorge, kedua agen tersebut menawarkan rencana prestisius: akan mengorbitkan anaknya.
Montero dan Soldini lalu menceritakan soal Messi kepada kenalan mereka bernama Horacio Gaggioli, seorang pebisnis properti di Barcelona. Dari Gaggioli, cerita tersebut disampaikan kepada rekannya yang lain, Josep Maria Minguella, pebisnis yang juga salah satu pemilik saham di Barcelona dan kenal dekat dengan Direktur Teknis Barcelona saat itu, Carles Rexach. Messi pun diberi kesempatan untuk uji coba di Barcelona.
Pada Minggu, 17 September 2000, bersama ayahnya dan Soldini, Messi kemudian berangkat dari rumahnya di Rosario, Argentina, terbang melintasi Atlantik menuju Barcelona sejauh 10.460 km. Usianya masih 13 tahun kala itu. Setibanya di bandara El Prat, mereka sudah ditunggu Gaggioli. Dari sana, rombongan diantar ke Hotel Plaza yang terletak di kaki bukit Montjuic di Catalonia untuk beristirahat.
Keesokan harinya, Messi sudah diajak latihan bersama tim muda Barcelona yang di antaranya ada Cesc Fabregas dan Gerard Pique. Seketika, mereka pun dibuat termenung dengan kehadiran bocah yang memiliki tinggi tak sampai lima kaki atau hanya sekitar 150cm itu. Di lapangan, Messi begitu trengginas dengan kemampuan olah bola yang seolah hadir dari semesta yang lain. Di ruang ganti, ia amat pendiam layaknya bocah aneh yang memiliki kehidupannya sendiri. El Mudo, demikian julukan Messi dulu, Si Pendiam.
Awal Oktober 2000, Rexarch bersama beberapa staf lain hadir dalam sesi latihan tim muda Barcelona untuk melihat langsung Messi bermain. Dan tak sampai dua menit, ya, dua menit, ia segera memutuskan: Blaugrana harus meminang Messi.
“Setelah dua menit, saya sudah tahu jawabannya. Semua orang juga akan berpikiran yang sama. Kami harus meminang bocah ini sekarang juga,” ujar Charly, panggilan Rexarch, kala itu.
Hanya saja, situasi Barca yang kala itu cukup rumit membuat persoalan tidak semudah yang dibayangkan. Joan Gaspart baru terpilih sebagai presiden, Luis Figo juga sudah hijrah ke Real Madrid, sementara Barca juga tidak memiliki kebijakan mengambil pemain dari luar Catalonia atau luar Eropa jika ia tidak benar-benar bagus.
Namun, Rexarch tetap bersikeras. Ia meyakinkan para petinggi klub untuk mengikat Messi, membantu biaya perawatannya sebesar 1000 euro per bulan hingga benar-benar sembuh, termasuk membayar biaya transfer kepada ayahnya sejumlah 40 ribu euro. Hingga akhirnya Messi pun resmi dipinang Barcelona dan menetap di sana sejak saat itu.
Di usia yang masih kanak, dengan kondisi tubuh yang begitu ringkih, Messi mesti berpisah dari keluarganya di Rosario, meninggalkan teman-teman yang biasa bermain bola bersamanya di jalan bernama Israel Street, serta tidak lagi dapat melihat Antonella Roccuzzo: cinta pertama Messi yang kelak menjadi ibu dari anak-anaknya.
Terlepas dari beratnya beban hidup yang ditanggung Messi, ia selalu mendapatkan kasih sayang yang tak pernah putus dari berbagai orang di sekelilingnya. Pelatih pertamanya di tim senior, Frank Rijkaard, memagari Messi agar terhindar dari godaan Fabio Capello untuk membawanya ke Juventus.
Ronaldinho, bintang Blaugrana saat itu, memosisikan diri sebagai mentor sekaligus kakak yang siap melindungi Messi kapanpun. Ketika tongkat pelatih dipegang Pep Guardiola, proteksi terhadap Messi jadi kian berlapis-lapis: taktik dibangun untuknya, termasuk dengan membuang pemain-pemain bintang kelas wahid demi Messi seorang.
Pada akhirnya, semua tahu pilihan Rexarch tidak salah. Messi telah memberikan segalanya kepada Barcelona: berpuluh gelar, beratus gol, berbagai macam rekor. Jika semua itu adalah “utang”, Messi bukan saja telah melunasinya, ia bahkan menggandakannya berkali-kali lipat.
Sedemikian intimnya relasi Messi dengan Barca, maka tak heran jika banyak yang beranggap sebaiknya Messi bermain untuk timnas Spanyol saja. Seperti yang sempat diutarakan Fabregas suatu waktu: “Akan sangat fenomenal jika Leo bermain untuk Spanyol.”
Kali Ini, Sebaiknya Messi Benar-Benar Pensiun
Seberapapun kedigdayaan yang diraihnya bersama Barca, Messi selalu mencintai Argentina. Ia bahkan sudah berharap dipanggil timnas sejak usianya masih belasan tahun. “Ketika masih kecil, saya berharap mendapat panggilan dari AFA (Asosiasi Sepakbola Argentina)," kata Messi di dalam bukunya, Messi, The Patriot.
“Memang pernah ada pertanyaan iseng apakah saya ingin bermain untuk Spanyol, namun saya selalu mengatakan hanya ingin bermain untuk tim nasional saya, sebab saya mencintai Argentina. Ini adalah satu-satunya seragam timnas yang ingin saya kenakan. Saya selalu menjadi penggemar berat Argentina. Saya menonton pertandingan mereka di televisi karena saya tidak bisa pergi langsung dan menonton mereka seperti suporter,” lanjutnya.
Tentu saja harapan Messi terkabul. Sejauh ini ia telah memperkuat Argentina sebanyak 125 kali dan tercatat sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa Albiceleste dengan raihan 64 gol. Jumlah tersebut nyaris dua kali lipat lebih banyak dari yang pernah ditorehkan Maradona (91 penampilan, 34 gol).
Hanya saja, seperti yang diketahui bersama, pencapaian Messi bersama timnas seolah mentok menjadi catatan statistik belaka. Dalam urusan meraih trofi, ponten Messi minimalis, kecuali jika Anda ingin menganggap juara Piala Dunia U-20 (2005) dan emas Olimpiade (2008) sebagai capaian bergengsi.
Dengan segala kejeniusan yang dimilikinya, Messi secara ironis justru menjadi masalah di Argentina. Sudah tujuh pelatih yang menanganinya di Argentina (Jose Pekerman, Diego Maradona, Sergio Batista, Alex Sabella, Gerardo Martino, dan Sampaoli) dan tak ada satupun dari mereka yang menemukan formula jitu untuk menjawab mengapa Messi tak pernah mencapai performa apik seperti ketika ia berseragam Barcelona.
Dapat dimaklumi jika ribuan warga Argentina mengutuk dan menganggapnya tak punya rasa nasionalisme. Bahkan Maradona pun turut mengkritik Messi: “Dia orang yang sangat baik, tapi dia tidak memiliki karakter untuk menjadi seorang pemimpin."
Hal tersebut dikatakan Maradona dua tahun lalu, usai Argentina kalah dari Cile di final Copa America 2016, dan Messi gagal mengeksekusi penalti dalam babak tos-tosan. Dan karena tak lagi sanggup memikul beban tersebut, Messi secara mengejutkan memutuskan pensiun dari Albiceleste.
“Sungguh sulit untuk memahami situasi saat ini. Hal pertama yang muncul di kepala saya adalah ‘selesai sudah’. Bagi saya, tim nasional sudah berakhir. Ini sudah final keempat. Saya sungguh menginginkan ini, tapi tidak berjalan dengan baik. Saya pikir, ya sudahlah. Inilah yang saya pikirkan sekarang. Ini sebuah kesedihan yang luar biasa. Saya gagal penalti, itu sudah menunjukkan semua. Ini keputusan yang tepat bagi semua orang. Buat saya dan semuanya. Banyak orang menginginkan ini. Mereka tidak senang kami mencapai final, begitu pula dengan kami.”
Namun hanya berselang dua bulan, Messi meralat keputusan pensiun tersebut. Pada Agustus 2016, ia kembali memperkuat timnas karena ingin membantu Argentina lolos ke putaran final Piala Dunia 2018.
"Banyak hal terlintas di kepala saya sejak final terakhir dan saya serius memikirkan tentang berhenti, tetapi saya terlalu mencintai negara dan seragam ini,” ujarnya kala itu.
Messi membuktikan ucapannya tak sekadar pepesan kosong. Dalam laga kontra Ekuador yang digelar di Stadion Atahualpa, Quito, pada Rabu (11/10/2017), ia mencetak trigol untuk kemenangan Argentina 3-1 dan memastikan diri lolos ke putaran final Piala Dunia 2018. Euforia tersebut, nahasnya, tidak berlanjut saat ini: Argentina, finalis Piala Dunia 2014, tersingkir di babak 16 Besar.
Tidak benar menyebut Messi sepenuhnya gagal bersama timnas, setidaknya ia berkali-kali membawa Argentina hingga ke final. Namun di hadapan obsesi akut nan gawat rakyat Argentina untuk meraih juara dunia, Messi memang bukan siapa-siapa. Ia tak ubahnya Che Guevara: sama-sama lahir di Rosario, sama-sama menderita penyakit sejak kecil, sama-sama meninggalkan kampung halaman saat bocah, sama-sama harum di luar negeri, namun sama-sama dinilai tak berkontribusi bagi tanah airnya (baca juga: Persamaan Che Guevara dan Lionel Messi).
Messi pensiun dari timnas adalah win-win solution, semacam maslahat bagi semua: baik bagi Messi sendiri, maupun timnas Argentina.
Jika pensiun, ia bisa melanjutkan hidup bersama bangsa Katalunya, yang kepada merekalah Messi pernah, telah dan masih akan memberikan yang terbaik -- tentu melalui Barcelona. Ia bisa menikmati kehidupan baru tanpa dibebani sesuatu yang memang tak bisa ditanggungnya sendirian, yaitu membawa Argentina juara, sembari belajar menerima kenyataan betapa ia tak bisa melakukan segalanya; setidaknya ia tak bisa membantu timnya bertahan saat kolega-koleganya tak becus menjaga lawan.
Jelas tak fair, terutama karena kisah masa kecil dulu, saat divonis menderita problem kekurangan hormon, dan orangtua Messi membutuhkan bantuan finansial untuk mengobatinya, tak ada satu pun klub di Argentina yang mau mengulurkan tangan. Barcelona yang mau mengurusnya, bukan yang lain. Ironis, juga pedih, terutama bagi Messi, ketika sudah dewasa ia malah dianggap berutang kepada negeri yang dulu mengabaikannya.
Dengan Messi pensiun pula, pelatih timnas Argentina berikutnya benar-benar bisa menyiapkan taktik yang merupakan hasil pembacaan kekuatan dan kekurangan tim sendiri dan tim lawan, bukan melulu mengutak-atik taktik semata untuk membuatnya tampil optimal. Dan bersamaan dengan itu pula, Argentina bisa memulai merancang tim nasional yang baru, dengan generasi yang juga baru, dan berhenti terobsesi merebut Piala Dunia dengan mengandalkan seorang pemain super.
Argentina bukan hanya menjadi juara dunia pada 1986 bersama pemain super seperti Maradona, tapi juga pernah juara dunia pada 1978 dengan mengandalkan kolektivitas (Maradona muda tidak dibawa Luis Menotti saat itu). Lupakan Piala Dunia 1986, galilah inspirasi dari Piala Dunia 1978.
Argentina hanya perlu mencerna kembali hikmat kebijaksaan lama, yang saking lamanya terasa demikian usang, klise, dan karenanya sudah jarang disebut: sepakbola adalah permainan tim.
Editor: Zen RS