tirto.id - Mohamed Salah akhirnya terpilih sebagai PFA Player of the Year 2017/18. Ia mengalahkan nama-nama lain seperti Kevin de Bruyne, Harry Kane, Leroy Sane, David Silva, dan David de Gea.
Didatangkan dari AS Roma musim panas kemarin dengan nilai transfer 34 juta poundsterling, Salah menunjukkan penampilan luar biasa di musim pertamanya bersama Liverpool. Catatan 41 gol dan 13 assist di semua ajang kompetisi menjadi bukti, selain kini memimpin daftar pencetak gol terbanyak sementara di Liga Premier dengan torehan 31 gol.
Apalagi pemain asal Mesir ini masih bisa menambah gol sampai akhir musim nanti, mengingat Liverpool masih memiliki tiga pertandingan tersisa di Liga Premier dan tampil di babak semifinal Liga Champions.
“[Penghargaan] ini adalah sebuah kehormatan, terutama karena dipilih lewat voting para pemain. Aku sangat senang sekaligus bangga,” ujar Salah seperti dilansir BBC.
Membandingkan Salah
Dua hari sebelum pemilihan PFA Player of the Year 2017/18 digelar, Michael Owen, salah satu legenda The Reds, menulis tentang Mohamed Salah dalam kolomnya di Daily Mail.
“Catatan statistiknya di Roma musim lalu sangat impresif dengan 19 gol. Kendati demikian, ia (Salah) mulai membuatku dan para pemain seperti Robbie Fowler, Fernando Torres, dan Luis Surez tampak biasa saja. Dan aku pikir tak ada seorang pun yang menduga dia bakal mencetak 41 gol sekarang untuk klub.”
Owen membicarakan jurang lebar antara penampilan Salah dengan para pendahulunya itu di musim pertama. Fowler yang dijuluki “Tuhan” oleh para pendukung Liverpool, hanya mengoleksi 18 gol di musim pertamanya. Musim berikutnya, sewaktu ia menjadi pencetak gol terbanyak di Liga Premier, ia hanya membubuhkan 25 gol atau 31 gol dari 42 laga di seluruh kompetisi.
Michael Owen tak jauh berbeda. Di dua musim pertamanya Owen hanya mencetak masing-masing 18 gol di Liga Premier atau 23 gol di semua ajang kompetisi. Luis Suarez lebih parah. Di musim penuhnya bersama Liverpool, ia hanya mampu mencatatkan 11 gol di liga dan 17 di semua kompetisi. Hanya Torres yang agak mendekati. Ia mencetak 24 gol di liga dan 33 gol di semua turnamen yang diikuti.
Maka, cukup wajar ketika Owen merasa penampilan para penyerang Liverpool dalam dua dekade terakhir sebelum Salah tampak biasa. Hanya Ian Rush, penyerang terbesar yang pernah dimiliki Liverpool, yang mampu mencetak lebih dari 40 gol dalam satu musim. Namun, itu pun dilakukan Rush di musim keempat dan ketujuh.
Seperti yang lain, Owen termasuk dari sekian banyak orang yang awalnya ragu — mulai fans, legenda seperti Steven Gerard, juga penulis olahraga—kepada potensi Salah di awal musim. Namun, seperti yang lainnya pula, dugaan tersebut meleset jauh.
“Aku tidak menilai dia [Salah] sebagai ujung tombak alami di awal musim,” tulis Owen. “Dia masih agak mirip Raheem Sterling: mentah dan keliru dalam cara mengeksekusi. Dia memang mencetak banyak gol, namun sering pula menyia-nyiakan kesempatan.”
Namun, menurutnya, pandangan itu berubah tatkala ia melihat Salah mencetak gol ke gawang Manchester City di leg kedua Liga Champions. Cara Salah men-chip bola menunjukkan bahwa, seperti ujung tombak hebat, ia sudah menguasai -- mengutip kalimat Owen -- “cara melihat pertandingan melalui gerak lambat, yang membuatnya memiliki banyak waktu untuk memilih cara terbaik mencetak gol, bahkan ketika kecepatan waktu dunia nyata adalah 100 mil per jam.”
Menjaga Salah
Peribahasa mengatakan: semakin tinggi pohon, semakin tinggi pula angin yang menerpa. Untuk kasus Liverpool peribahasa tersebut bisa diubah: semakin hebat pemain Liverpool, semakin besar pula pinangan yang datang dari klub lain untuk pemain tersebut. Ini hukum besi industri sepakbola sebenarnya. Hanya saja, dalam kasus Liverpool, hukum besi itu sangat jarang bisa ditampik.
Pertanyaan akan lamakah Salah bertahan di Merseyside kemungkinan pernah berkelebat dalam benak semua fans Liverpool akhir-akhir ini. Melihat penampilan Sang Firaun yang menawan musim ini, sampai kian santer disejajarkan dengan Lionel Messi, membuat kekhawatiran itu bukan tanpa dasar.
Liverpool memang sering tak bisa mencegah pinangan klub lain terhadap para pemain bintangnya. Hengkangnya Michael Owen (Real Madrid), Fernando Torres (Chelsea), Luis Suarez (Barcelona), dan kejadian terbaru Phillipe Coutinho (Barcelona) adalah contohnya.
Apa yang menjadi benang merah dari kepindahan pemain-pemain tersebut adalah ambisi meraih trofi tertinggi, sebuah peluang yang sulit diberikan Liverpool. Kini sudah 29 tahun Liverpool puasa gelar liga dan tampil di Liga Champions pun hanya sesekali terlepas menjuarai kompetisi tertinggi di benua Eropa itu di musim 2004/05.
Hal ini memang menjadi dilema tersendiri. Liverpool membutuhkan pemain berkualitas untuk bersaing dalam perburuan gelar. Namun, dalam banyak kasus The Reds terbukti kerap gagal membujuk mereka bertahan jika Liverpool hanya menjadi, seperti ditulis Paul Wilson di Guardian, "sekadar klub penjual pemain (a selling club)".
Ada baiknya kita menyimak ucapan Torres soal satu ini:
“Situasinya jadi berbeda karena ketika ... [Javier] Macherano dan [Xabi] Alonso pergi, semua janji pemilik klub kepada tim tidak ditepati,” kenang Torres kepadaBBC. “Saya memiliki segalanya di Liverpool. Tapi kemudian mereka menjual para pemain terbaiknya ... Jadi saya harus mencari jalan saya sendiri.”
Jurgen Klopp pun pernah membuat janji serupa terkait hal itu. “Liverpool bukanlah sebuah klub yang bakal terpaksa menjual pemainnya,” demikian kata Klopp pada 9 Augustus 2017 saat ditanya tentang niat Barcelona yang kembali menaikkan harga untuk membeli Coutinho.
“Jadi apa yang mereka tawarkan pada akhirnya tidak penting. Dari sudut pandang finansial, tidak ada batasan harga untuk melepasnya. Tidak ada harga yang akan membuat kami setuju. Tujuan kami adalah memiliki tim terbaik. Karena itu kami akan menjaga pemain kami dan menambah pemain baru. Itulah rencana kami.”
Namun, enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 6 Januari 2018, Coutinho resmi dipinang Barcelona dengan mahar 108 juta poundsterling. Simak seperti apa cara Klopp menyusun dalih:
“Saya bisa berkata pada suporter Liverpool bahwa kami, sebagai klub, sudah melakukan semua yang mampu kami lakukan untuk meyakinkan Phillipe bahwa bertahan di Liverpool sama menariknya dengan pindah ke Spanyol. Namun, ia seratus persen yakin bahwa masa depan dia—dan keluarganya—berada di Barcelona. Itulah mimpinya. Saya kini yakin tak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk mengubah pikirannya.”
Awalnya, banyak yang menilai hengkangnya Coutinho bakal menurunkan penampilan Liverpool. Untung saja mendatangkan Salah dari AS Roma terbukti jitu, sehingga ketidakhadiran Coutinho hampir tak terasa di lapangan ketika kini Liverpool semakin dekat dalam meraih gelar Liga Champions ketujuhnya.
Namun, bagaimana jika musim depan, atau musim depannya lagi, Salah masih tampil impresif lantas dipinang klub kaya? Mestinya Liverpool sanggup belajar dari kesalahan di masa lalu. Bukankah (simbol) Liverpool adalah burung cormorant, bukan keledai?
Editor: Zen RS