tirto.id - Steven Gerard awalnya sangsi kepada Mohamed. Saat Liverpool memboyongnya dari AS Roma pada Juni 2017, Salah sebenarnya dalam kondisi yang cukup baik. Selama dua musim memperkuat Roma, ia mencetak 29 gol dari 65 laga di berbagai kompetisi. Namun Gerrard tetap cemas dengan alasan yang cukup masuk akal: saat bermain untuk Chelsea di musim 2014/15, ia hanya tampil sebanyak tiga kali dalam semusim.
Melihat itu, tak aneh jika legenda Liverpool ini ragu. Ia mencemaskan soal potensi ketidakcocokan Salah dengan atmosfir, gaya, dan intensitas sepakbola ala Inggris yang cepat, keras dan fisikal.
“Sewaktu dia [Salah] datang, saya dan banyak fans Liverpool, tidak terlalu yakin itu akan berhasil,” kata Gerrard.
Namun, keraguan Gerard terbukti keliru. Salah membalasnya dengan penampilan mempesona. Meski bukan seorang ujung tombak alami, Salah kini menjadi kandidat top skor Liga Inggris 2017/18. Dari 24 laga yang sudah dilalui, Salah mencetak 22 gol, hanya kalah 1 gol dari Harry Kane yang menjadi top skor sementara.
Dalam enam bulan, Salah telah menjadi idola baru suporter Liverpool dan nama “Mo Salah” semakin menggema di seluruh penjuru Anfield.
Puncaknya terjadi saat Liverpool dengan begitu buas menghajar tuan rumah Porto lima gol tanpa balas. Di pertandingan Liga Champions Eropa itu, Salah mencetak satu gol dan Sadio Mane mencetak tiga gol [koreksi, 16 Februari 2018, pukul 15.30: sebelumnya ditulis Salah yang mencetak hattrick].
Bukan semata karena gol itu saja Salah kemudian menjadi berita. Ia menjelma cerita sangat menarik terutama karena para fans Liverpool menyanyikan lagu khusus untuk Salah dengan lirik yang menjadi perbincangan:
"Mo Sa-la-la-la-lah/Mo Sa-la-la-la-lah,” demikian bunyi chant terbaru para suporter Liverpool, “If he's good enough for you/ he's good enough for me. If he scores another few/ then I'll be Muslim too. If he's good enough for you/ he's good enough for me. He's sitting in the mosque that's where I wanna be.”
Inggris dan Islamofobia
Nyanyian “ingin menjadi seorang Muslim” dalam nyanyian tersebut—meski boleh jadi bukan sesuatu yang serius-- menjadi menarik dalam konteks pandangan masyarakat Inggris terhadap orang-orang Muslim. Islamofobia di belahan dunia Barat memang sedang menjadi gejala umum, termasuk di Inggris. Korbannya tidak hanya orang yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang memiliki ciri-ciri fisik yang sering diasosiasikan dengan orang Muslim seperti warna kulit dan janggut.
Sikap Islamofobia ini merupakan reaksi atas sejumlah serangan teroris yang menimpa Inggris dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebut saja serangan di London pada Juni 2017, pemboman di Manchester pada Mei 2017, dan yang terbesar adalah pemboman di London pada 7 Juli 2005 yang menewaskan 52 jiwa dan 700 lainnya luka-luka.
Kesemuanya itu memicu, sebagaimana dilaporkan Aljazeera, kebencian dan anti-Muslim di Inggris menjadi semakin menjalar dan mengakar.
Organisasi think tank, Runnymede Trust, yang populer mula-mula karena mengeluarkan laporan bertajuk Islamophobia – A Challenge for Us All pada 1997, menjelaskan situasi mutakhir terkait isu islamofobia kepada Aljazeera: “Selama lebih dari dua dekade kesadaran islamofobik semakin meningkat, apakah itu dalam hal diskriminasi terhadap Muslim, atau dalam hal wacana kebijakan publik."
Laporan itu menambahkan, “Adalah hal baik orang-orang Inggris Muslim terus-menerus melawan islamofobia. Meski begitu, untuk melawan dan mengakhiri Islamofobia dan segala bentuk rasisme secara efektif, kita harus menghadapi dan mengutuknya ketika itu terjadi, dan berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran akan efek luasnya.”
Saat ini, di kalangan masyarakat Inggris, islamofobia dinilai masih sangat tinggi. Dilaporkan oleh Muslim Council of Britain, penduduk UK, misalnya, percaya jumlah populasi muslim di negaranya sebesar 17%, padahal kenyataannya hanya 5%, bahwa sebanyak 37% dari mereka mengakui akan cenderung mendukung kebijakan untuk mengurangi jumlah muslim di UK, dan sebanyak 62% setuju UK bakal kehilangan identitasnya jika lebih banyak Muslim tinggal di UK.
Salah dan Teladan Keberislaman
Apa yang dilakukan Mohamed Salah di Liverpool karena itu bisa menjadi contoh bagaimana menampilkan wajah Islam lain yang selama ini sering luput dari tangkapan media-media. Yaitu Islam yang modern, dan berprestasi.
Keteladanan Salah pun tidak hanya ditunjukan di lapangan hijau, melainkan pula di luar lapangan. Kepada desa tempat ia dibesarkan, ia menggelontorkan dana untuk membangun badan amal, sekolah, dan rumah sakit lengkap dengan “ruangan ventilasi, inkubasi, dan ambulan”.
Seorang pengusaha kaya, sekali waktu, pernah menawarinya sebuah vila mewah sebagai apresiasi terhadap penampilan Salah dalam pertandingan dramatis dan menentukan melawan Congo dalam babak play-off menuju putaran final Piala Dunia 2018. Namun, Salah menolaknya, dan meminta dana itu diberikan pada desanya.
Salah, sebagaimana Roger Federer, bukan kacang yang lupa kulitnya.
“Jarang ada olahragawan yang seperti ini,” kata Bernhard Heusle, Presiden FC Basel, yang pertama kali membawa Salah ke liga Eropa. “Roger Federer adalah contoh lainnya. Keduanya tidak pernah melupakan dari mana mereka berasal. Mereka rendah hati dan menghormati orang-orang yang terlibat dalam perjalanan karir mereka, bahkan ketika mereka sudah menjadi orang besar. Mungkin bukan suatu kebetulan orang-orang yang paling sukses lah yang bersikap seperti itu. Saya sangat bangga padanya.”
Namun tidak ada jaminan bahwa suporter lain semuanya akan bersimpati pada Salah. Pertama, secara umum kondisi diskriminasi di Inggris memang sedang kencang-kencangnya -- seperti sudah diuraikan di bagian sebelumnya. Kedua, sepakbola bagaimana pun merupakan ladang subur bagi tindakan-tindakan rasialis dan diskriminatif. Sepakbola Inggris juga mengalami hal itu, bahkan hingga hari ini.
Kick It Out, organisasi yang aktif menentang diskriminasi di sepakbola Inggris, menerima banyak laporan insiden-insiden bermuatan diskriminasi rasial. Dikutip dari Aljazeera, Kick It Out menyebut terdapat 282 laporan tentang tindakan diskriminasi pada akhir 2017 di lingkaran sepakbola, baik di kompetisi profesional, amatir maupun media sosial. Angka itu melejit drastis hingga 59% dibanding musim lalu yang hanya 117 insiden. Padahal musim 2017-2018 masih 2,5 bulan lagi berlangsung.
Usaha menebas diskriminasi rasial memang bukan menjadi tugas utama Salah. Agenda itu terlalu besar untuk dipanggul oleh seorang pemain sepakbola.
Namun setidaknya Salah telah menunjukkan: bahkan walau nyanyian tentang Salah itu hanyalah sekadar nyanyian, kendati kelak tidak ada satu pun fans Liverpool di Inggris yang menjadi mualaf sekali pun, Salah telah memperlihatkan salah satu cara mencairkan islamofobia.
Salah mungkin saja akan pindah dari Liverpool kelak di kemudian hari. Entah karena dibeli oleh klub yang lebih besar atau didepak karena penampilan yang menurun. Namun sejarah akan selalu mencatat: pernah ada pada satu masa, seorang pemain sepakbola, berhasil membuat banyak orang Inggris (tepatnya pendukung Liverpool) bernyanyi tentang menjadi muslim dan tentang pergi ke masjid.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS