tirto.id - Sekitar pukul 8 pagi, 27 Juli 1996, pager dalam saku celana Andoes Simbolon, wartawan Harian Terbit, berbunyi. Sebuah pesan dari Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Selatan, Audy I.Z. Tambunan, masuk. Isinya mengabarkan kantor DPP PDI diserbu massa.
"Haa? Diserbu?" Simbolon yang baru bangun tidur itu kaget, lalu bergegas menuju gedung di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat.
Setiba di sana, ia melihat suasana sudah ramai dan mencekam. Orang-orang yang disinyalir pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI hasil kongres di Medan (20-23 Juni 1996), baru saja merangsek masuk gedung sambil melemparkan batu.
Sementara di dalam gedung, kelompok pendukung Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI hasil Munas di Kemang, Jakarta Selatan (22 Desember 1993), bertahan sembari melemparkan benda-benda seadanya. Kedua kubu ini sama-sama mengklaim sebagai pengurus yang sah dan berhak atas kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI.
Saat itu Maruarar Sirait berumur 26 tahun. Putra politikus PDI Sabam Sirait itu adalah simpatisan Megawati. Ketika menerima kabar tersebut, ia lekas mendatangi lokasi.
"Kami enggak bisa masuk karena diblok. Kami lempar batu untuk bela teman di dalam," ujar Maruarar, kini anggota DPR fraksi PDI Perjuangan, seperti dikutip Detik.
Aksi saling lempar batu antara dua seteru itu berlangsung sekitar 1,5 jam. Menurut laporan Kompas (29 Juli 1996), pendukung Soerjadi mulai melemparkan batu ke arah kantor DPP pada pukul 6.35. Sementara aparat TNI-Polri baru bisa menguasai kantor partai itu sekitar pukul 8.00. Setelahnya, aparat memblokade Jalan Diponegoro dan mencegati orang-orang yang ingin mendekat.
Simbolon adalah salah satu orang yang dicegat aparat. Meski demikian, ia masih bisa menyaksikan dan menggambarkan kerusuhan yang kelak dijuluki Kudatuli alias 'Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli' tersebut.
"Jalan di depan kantor DPP PDI sudah berantakan. Saya lihat bongkahan batu berserakan, kayu balok, botol kosong, serta benda-benda lain," tulisnya lewat buku kumpulan kesaksian wartawan terhadap Megawati dalam Bukan "Media Darling" Biasa (2017).
"Ada juga kendaraan truk polisi yang parkir di depannya. Dari kejauhan, saya sempat melihat halaman kantor sudah dipenuhi aparat keamanan lengkap dengan peralatannya seperti pasukan anti-huru hara."
Kerusuhan Besar Setelah Malari 1974
Untuk sejenak, aparat mampu mengendalikan situasi. Pukul 8.30, belasan pendukung Megawati dibawa ke markas Kepolisian Daerah DKI Jakarta, sementara sembilan orang yang terluka dibawa ke rumah sakit dengan ambulans.
Meski begitu, sejumlah kelompok LSM, mahasiswa, dan simpatisan pendukung Megawati terus berdatangan dan berkumpul di luar lingkaran penjagaan aparat TNI-Polri. Mereka berorasi dan menyanyikan lagu-lagu protes.
Pada siang hari, kelompok itu bertambah menjadi sekitar 10 ribu orang. Orang-orang kampung di sekitar rel kereta api Cikini dan anak-anak sekolah menengah atas yang baru saja pulang sekolah turut berhimpun.
Lalu, sekitar pukul 2 siang, lempar-melempar batu kembali terjadi, bahkan lebih berani. Aparat TNI-Polri membalasnya dengan melempar gas air mata, menyemprotkan water canon, dan memukul mereka dengan pentungan.
Setelah diserbu aparat, massa tercerai-berai ke segala arah. Kerusuhan di kantor DPP PDI itu memicu kerusuhan yang lebih luas di Jakarta.
Rekaman kesaksian dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009), disusun oleh Jérôme Tadié, menyebutkan kerusuhan itu meluas ke Menteng di sepanjang Jalan Surabaya dan ke arah Salemba di sepanjang Jalan Diponegoro dan Proklamasi. Massa bergerak ke utara menuju Senen, dan ke selatan menuju Kampung Melayu.
Terakhir kali kerusuhan seperti itu terjadi pada peristiwa yang dijuluki Malari alias Malapetaka 15 Januari, 22 tahun sebelumnya.
"Maka, ketika dicermati peta distribusi kerusuhan, tampak kemiripan dengan kerusuhan (Malari) 1974, khususnya di Jalan Salemba-Kramat-Senen. Massa menyebar dengan cara yang sama pada 1974 dan 1996: dimulai dari satu tempat, pemberontakan meluas di sepanjang jalan utama, sambil bergerak perusuh membakar berbagai simbol kekuasaan politis (kantor Departemen Pertanian) dan ekonomis (bank, agen, mobil, dsb.)," tulis Tadié.
Kala Soerjadi Merayu Megawati
Terjal dan penuh intrik. Demikian gambaran persaingan antara Soerjadi dan Megawati.
Megawati menjadi anggota PDI pada 1987. Saat itu partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 tersebut bakal mengikuti pemilihan umum untuk ketiga kali melawan Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan.
Pada dua Pemilu sebelumnya, PDI selalu di posisi buncit. Suara yang diperoleh partai hasil fusi empat partai golongan demokrasi pembangunan—PNI, IPKI, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik—itu cuma 8,05 persen (29 kursi) pada Pemilu 1977 dan 6,66 persen (24 kursi) pada Pemilu 1982.
Megawati direkrut karena garis keturunan sebagai putri proklamator Soekarno, yang dinilai mampu menarik pemilih.
"Tahun 1987, Megawati dan Guruh Soekarno berhasil dirayu Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI saat itu, untuk masuk PDI dan menjadi vote getter pada Pemilu 1987," tulis Sumarno dalam Megawati Soekarnoputri: Dari Ibu Rumah Tangga ke Panggung Politik (2002).
Strategi Soerjadi ternyata ampuh. Laporan Tempo (25 Desember 1993) menyebutkan nama Megawati efektif menarik pemilih di Jawa Tengah. Saat perempuan bernama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri itu tampil di panggung kampanye, massa PDI selalu berlimpah. Suara yang diperoleh PDI dalam Pemilu meningkat. Pada Pemilu 1987, PDI meraih 10 persen (40 kursi), dan 14 persen (56 kursi) pada Pemilu 1992.
Namun, Soerjadi memandang menguatnya capaian PDI itu memicu kegusaran pemerintah.
Pada 21 Juli 1993, Kongres IV PDI di Medan (selanjutnya disebut Kongres Medan) memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, pada 24-25 Juli 1993, masih dalam kongres yang sama, Kelompok 17 (Marsoesi, Jusuf Merukh, dan Duddy Singadilaga) bekerja sama dengan Ketua DPD PDI Jawa Timur Latief Pudjosakti dan Kepala Sekretariat DPP PDI Budi Hardjono menduduki arena kongres.
Panglima ABRI Feisal Tanjung menyatakan Soerjadi tidak sah sebagai Ketua Umum PDI karena terlibat kasus penculikan kader. Tak lama sebelum kongres, tujuh saksi menuding Soerjadi sebagai dalang penculikan dan penganiayaan kader PDI, Edi Sukirman dan Agung Imam Sumanto.
Laporan Tempo (7 Agustus 1993) melansir persidangan kasus ini dimulai sejak Mei 1993, tetapi tudingan terhadap Soerjadi baru muncul pada persidangan 12 dan 15 Juli 1993.
Sejak dituding terlibat kasus penculikan kader PDI, yang ditolak sebagian besar kader PDI, ditambah berembusnya kampanye "Asal Bukan Soerjadi" (ABS) membuat laki-laki kelahiran 13 April 1939 itu dalam posisi lemah.
Akhirnya, pada Agustus 1993, Menkopolhukam Soesilo Sudarman mengatakan Kongres Medan tidak sah dan memutuskan menggelar kongres luar biasa (KLB) PDI di Surabaya (selanjutnya KLB Surabaya). Pemerintah menunjuk pengurus sementara yang dipimpin Latief Pudjosakti untuk mengurusi PDI.
"Pemerintah dan ABRI melalukan langkah-langkah untuk menghambat pencalonan saya menjadi ketua umum kembali," ujar Soerjadi, seperti dilansir Forum Keadilan (9 Juli 2000).
Huru-Hara Kongres Surabaya
KLB Surabaya akhirnya digelar pada 2-6 Desember 1993. Ada dua tokoh kuat yang bersaing: Budi Hardjono (anggota caretaker dan didukung pemerintah) versus Megawati Soekarnoputri.
Dua hari setelah membuka KLB Surabaya, Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet menerima pesan dari Soeharto. Pada 4 Desember 1993, penguasa Orde Baru itu mengatakan tidak keberatan jika Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Sore harinya, 256 dari 305 Dewan Pimpinan Cabang PDI mendukung Megawati.
Megawati tinggal selangkah lagi menjadi ketua umum PDI. Namun, KLB Surabaya, seperti Kongres Medan, lagi-lagi berujung deadlock. Pada 6 Desember 1993, caretaker kabur tanpa menetapkan ketua umum PDI terpilih.
Di tengah situasi yang sengaja dibuat mengambang itu, Megawati tetap menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto.
Setelah KLB Surabaya, istri Taufiq Kiemas itu pun melancarkan safari politik. Ia mengunjungi Mendagri Yogie S. Memet pada 16 Desember 1993. Yogie sudah tiga kali bertemu Soeharto guna melaporkan kondisi PDI pasca-KLB Surabaya. Usai bertemu Megawati, Yogie berkata kepada Tempo, "Kemungkinkan besar, Megawati bisa menjadi Ketua Umum PDI."
Selain Yogie, Megawati mengunjungi Menkopolhukam Soesilo Soedarman, kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Hariyanto, Pangdam Jaya Mayjen Hendropriyono, dan anak sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut.
Alhasil, pada 22 Desember 1993, PDI menggelar musyawarah nasional (Munas) di Kemang, Jakarta Selatan (selanjutnya disebut Munas Jakarta). Semua peserta secara aklamasi mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI.
Gejolak friksi internal dalam tubuh PDI mulai reda. Namun, kepemimpinan Megawati hasil Munas Jakarta tetap rentan. Menurut Soerjadi, kongres partai mesti tetap digelar untuk memilih pengurus selepas Munas. Sebaliknya, menurut Megawati, kepengurusan dia sah sampai periode 1999.
"Dalam anggaran dasar PDI, setelah Munas (Jakarta), jika keadaan memungkinkan, harus dilaksanakan Kongres untuk memilih pengurus," ujar Soerjadi, seperti dilansir Forum Keadilan (9 Juli 2000).
“Siap Mati Untuk Megawati”
Ilmuwan politik Edward Aspinall dalam Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia (2005), mencatat pada 1996, pemimpin PDI mulai gusar. Mereka menerima laporan bahwa jajaran Departemen Dalam Negeri dan perwira ABRI menekan jajaran PDI di tingkat daerah untuk menandatangani persetujuan digelar KLB PDI pada 1996.
Pada 3 Juni 1996, 215 dari 305 cabang PDI mendatangi Departemen Dalam Negeri. Mereka meminta izin untuk mengadakan kongres tersebut. Sehari berikutnya, Fatimah Achmad, ketua fraksi PDI di DPR, yang dikenal dekat dengan Soerjadi, membentuk panitia penyelenggara KLB. Ia didukung oleh 15 dari 27 anggota DPP PDI.
Rencananya KLB akan digelar pada akhir Juni 1996 di Medan, Sumatera Utara. Mendagri Yogie S. Memet dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung mendukung KLB tersebut. Dalih mereka, KLB Medan akan mengatasi krisis internal partai.
Sementara pendapat pengurus PDI di tingkat nasional dan daerah terbelah. Menurut Aspinall, sebagian besar panitia KLB Medan adalah pengikut Soerjadi atau orang-orang yang dipaksa ikut Megawati oleh Hendropriyono dan perwira ABRI lain pada 1993 sebagai jaminan dukungan pemerintah. Sementara itu, di daerah, pengurus PDI tingkat kabupaten/kota loyal kepada Megawati. Banyak anggota PDI menyatakan "siap mati untuk Megawati".
Friksi yang sempat reda setelah Munas Jakarta kembali terjadi, bahkan melibatkan kelompok-kelompok di luar PDI.
Sejak awal Juni 1996, simpatisan Megawati dan organisasi-organisasi yang mengambil sikap oposisi radikal terhadap pemerintahan Soeharto turun ke jalan memprotes rencana KLB Medan dan intervensi pemerintah, serta mengecam pengkhianat PDI. Banyak protes itu menyuarakan reformasi luas pemerintahan.
Salah satu organisasi yang turut aktif dalam protes ini adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organisasi sayap mahasiswanya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Selain itu, kelompok Aldera besutan Pius Lustrilanang berunjuk rasa di Bandung.
Sementara aktivis dari Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi (Pijar), organisasi yang dibentuk sebagian penggiat pers kampus dari Jakarta dan Yogyakarta, berunjuk rasa di ibu kota menyerukan "Megawati! Reformasi!". Sedangkan Gerakan Raktar Bali (GRB), hasil koalisi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan anggota PDI, melancarkan demonstrasi di Bali.
Puncaknya, pada 26 Juni 1996, sebanyak 30 lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengumumkan berkoalisi membentuk organisasi payung bernama Majelis Rakyat Indonesia (MARI).
Menurut Stefan Eklöf, ilmuwan politik dari Linnaeus University, dalam Power and Political Culture in Soeharto’s Indonesia (2003), MARI merepresentasikan beragam spektrum LSM, sebagian besar 'kiri', dan mengkritik keras pemerintah.
Meski didera pelbagai kritik, KLB Medan tetap diadakan pada 20-23 Juni 1996. Megawati absen dalam kongres yang dijaga ketat tentara itu. Sementara Soerjadi dipilih sebagai ketua umum PDI tanpa hambatan.
Penjagaan ketat tentara itu dipandang aneh oleh Stefan Eklöf. Dalam Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998 (1999), Eklöf menyatakan dua kongres PDI sebelumnya selalu berakhir ricuh dan tak pernah dijaga tentara secara ketat.
Aneh jika PDI melaksanakan kongres setahun sebelum Pemilu 1997, menurut Eklöf. Ia menilai kinerja Megawati dan PDI cukup bagus untuk meraup suara. Megawati juga didukung secara luas oleh pengurus PDI di daerah.
"Karena itu, bagi pengamat politik, jelas bahwa inisiatif untuk mengadakan kongres dan mengganti Megawati datang dari luar partai, yaitu dari pemerintah," tulis Eklöf (hlm. 24).
Di Bawah Naungan Mimbar Demokrasi
Usai KLB Medan, Megawati tak tinggal diam. Sejak pertengahan Juli 1996, Pangdam Jaya Mayor Jenderal Sutiyoso membolehkan PDI kubu Megawati menempati kantor DPP PDI sepanjang tidak memobilisasi massa untuk turun ke jalan. Sebagai ganti bentuk protes, kubu pendukung Megawati menyelenggarakan Mimbar Demokrasi setiap hari di halaman kantor DPP PDI.
Mimbar Demokrasi itu diisi orasi-orasi protes dan dihadiri banyak orang. Beberapa orator, seperti dari PRD dan kelompok aktivis lain, tak cuma mengutuk intervensi pemerintah terhadap PDI, tapi juga mengkritik Soeharto, dwifungsi ABRI, dan pilar sistem politik Orde Baru lainnya.
"Penggulingan Megawati telah mampu menghimpun koalisi besar kekuatan pro-demokrasi yang tampaknya berniat menantang rezim Orde Baru dan mengambil alih kekuasaan. Pemerintah tampaknya telah menyadari bahaya ini dan mulai mengisyaratkan bahwa sebuah tindakan akan diambil terhadap para aktivis tersebut," ujar Eklöf (hlm. 265).
Benar saja. Panglima ABRI Feisal Tanjung menilai protes di kantor PDI sebagai tindakan "subversif" pada 22 Juli 1996. Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid mendorong Soerjadi untuk mengambil alih dan memperingatkan gerakan tersebut sebagai "lagu lama PKI".
Dua hari kemudian, Kapolda Metro Jaya melarang Mimbar Demokrasi. Pada hari yang sama, Soeharto, yang semula tampak enggan mendorong Soerjadi pada Kongres Medan 1993, akhirnya bertemu Soerjadi.
Soerjadi mengatakan Soeharto menyebut ada "setan gundul" yang memperalat PDI untuk kepentingannya sendiri. Istilah "setan gundul" atau "setan gondrong", yang diciptakan rezim Orde Baru sebagai kata ganti PKI, merujuk pada aliansi pelbagai kelompok gerakan pro-demokrasi di bawah payung Majelis Rakyat Indonesia (MARI).
Tiga hari setelah pertemuan Soeharto-Soerjadi, Kerusuhan 27 Juli itu terjadi.
Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa, anggota Komnas HAM, datang sehari setelah peristiwa yang dikenang dengan nama Sabtu Kelabu itu. Keduanya memimpin tim investigasi pelanggaran HAM dalam Kudatuli.
Hasilnya, Komnas HAM mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Satu di antara orang yang diduga kuat dihilangkan usai peristiwa itu adalah Wiji Thukul, penyair Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan Partai Rakyat Demokratik.
Komnas HAM menilai ada enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut: pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat; pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut; pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi; pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia; dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Sampai kini kasus kerusuhan ini tak pernah diusut secara serius oleh negara. Melewati 22 tahun, pergantian kekuasaan Orde Baru ke era Reformasi, bahkan ketika Megawati sendiri menjabat presiden (2001-2004), dan ketika saat ini PDI Perjuangan menjadi partai pemenang dalam mendudukkan Joko Widodo ke Istana (2014-2019).
Kudatuli menjadi satu dari segudang kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu yang terus membayangi negara Indonesia, siapa pun pemimpin pemerintahannya, yang menjadi utang dari perubahan politik pada 1998, sebuah titik tolak dari awal demokrasi dari akhir rezim otoriter.
Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah atau akrab disapa Sipon, pernah berkata kepada Tirto pada Januari 2017 bahwa apa yang terjadi pada suaminya adalah "pelajaran yang tidak boleh lenyap dari ingatan masyarakat Indonesia".
Editor: Fahri Salam