tirto.id - Menjelang Pemilu 2019 trah Keluarga Cendana kembali muncul ke gelanggang politik nasional. Nama-nama anak Soeharto berseliweran dalam berita-berita politik terhangat.
Kutipan-kutipan Siti Hediati Hariyadi (Titiek) kerap muncul semasa Pilkada DKI Jakarta setahun silam. Ia juga sempat meramaikan bursa pemilihan ketua umum Partai Golkar. Hutomo Mandala Putra (Tommy) menjadi ketua Dewan Pembina Partai Berkarya. Terakhir nama Siti Hardijanti Hastuti (Tutut) sempat dikaitkan dengan Partai Garuda.
Di antara ketiganya, Tutut adalah yang paling berpengalaman. Sementara Titiek dan Tommy relatif baru berkiprah usai Reformasi bergulir. Meski kini namanya seakan-akan tenggelam, pada mulanya dialah yang dipersiapkan Soeharto menjadi suksesornya.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Salim Said pernah meramalkan hal itu pada 1997. Saat itu Salim Said adalah penasihat Fraksi Golkar dalam Badan Pekerja MPR (BP-MPR). Pengalamannya berada di lingkaran Tutut—kala itu ketua Fraksi Golkar—menguatkan keyakinannya bahwa putri sulung Soeharto itu sedang menapaki jalan menjadi orang nomor satu di Indonesia.
“Anda lihat nanti dalam kabinet mendatang, Tutut akan jadi Menteri Sosial atau Urusan Wanita,” tutur Salim kepada Profesor Ryaas Rasyid, salah satu koleganya dalam BP-MPR, seperti yang ia tulis dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 214-215).
Dan ramalannya itu memang jitu. Usai Pemilu 1997, Tutut menjadi Menteri Sosial di kabinet terakhir Soeharto.
“Dipandu” sang ayah, Tutut memulai langkah politiknya sejak awal dekade 1990-an. Suatu kelompok reformis dalam Golkar mulai menyerukan bahwa organisasi ini perlu diperbarui. Akbar Tandjung dan Marzuki Darusman, pentolan kelompok reformis ini, menginginkan Golkar diubah menjadi partai politik yang lebih modern.
Dalam Musyawarah Nasional Golkar yang dihelat pada Oktober 1992, aspirasi kelompok reformis dihentikan kelompok ABRI. Sudharmono, calon mereka untuk menduduki kursi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, kalah dari Harmoko yang didukung ABRI. Melalui campur tangan Soeharto, DPP Golkar yang baru diisi orang-orang dekatnya. Tutut dan Bambang Trihatmodjo masuk dalam jajaran pengurus DPP sebagai wakil ketua dan bendahara.
Pada momen inilah pelan-pelan Tutut membangun portofolio politiknya. Ia terlibat dalam usaha-usaha untuk melemahkan kekuatan politik para oposan Soeharto yang mulai berani bersuara seperti Gus Dur dan Megawati. Rezim Soeharto takut jika NU beraliansi dengan PDI.
Menekan Gus Dur
Pada 1994, menjelang Muktamar NU ke-29, tekanan-tekanan kepada Gus Dur mulai menguat. Walau ia menerima banyak dukungan untuk masa jabatan ketiga sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, kritikan pun tak kalah besarnya. Salah satu alasannya adalah lantaran Gus Dur kerap membawa NU dalam situasi bertubrukan dengan kepentingan rezim Soeharto.
Tak hanya tekanan internal NU, Gus Dur juga menghadapi tekanan dari luar organisasinya. Beberapa orang dekat Soeharto seperti Ketua Umum Golkar Harmoko, Kasospol ABRI Letjen Hartono, Menteri Agama Tarmizi Taher, dan Habibie adalah mereka yang sering melakukan tekanan politik kepada cucu pendiri NU itu. Gus Dur secara pribadi juga menengarai Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berada di balik kampanye mendiskreditkan dirinya.
“Ia mengidentifikasi hubungan antara unsur-unsur tertentu dan individu-individu dalam ICMI, semisal Adi Sasono, Din Syamsyuddin, dan Amir Santoso, dan apa yang dikenal sebagai jenderal-jenderal hijau ABRI, yakni Feisal Tandjung, Hartono, Syarwan Hamid, dan Prabowo Subianto, yang kesemuanya bekerja sama dengan Tutut,” tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2017: 245-249).
Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia (2000: 173) juga menyinggung hal ini. Dalam komentar-komentarnya kepada publik usai Muktamar, Gus Dur memang menunjuk ICMI berada di balik kampanye menentang dirinya. Tetapi, lebih dalam lagi, Gus Dur juga menengarai peran Tutut sebagai pendorong majunya Abu Hasan dalam bursa pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah NU.
“Walaupun ia sadar benar akan adanya dukungan yang diberikan oleh Feisal Tandjung, Hartono, dan Mbak Tutut pada prakarsa Hasan, Wahid berhati-hati tidak menyebutkan keikutsertaan mereka. Menyerang Mbak Tutut akan menimbulkan amarah presiden,” tulis Hefner.
Soeharto Mengamankan Tentara
Tutut mulai unjuk gigi, sementara Soeharto merancang dan mengamankan tangga yang akan ditapakinya. Presiden ke-2 itu mempersiapkan basis pendukung politik bagi putrinya dengan mengatur susunan pimpinan ABRI. Soeharto memastikan kepemimpinan ABRI tak lagi didominasi oleh satu orang perwira yang kuat secara politik seperti pada masa Jenderal L.B. Moerdani.
Dalam analisis Salim Said, ABRI adalah kekuatan potensial di masa pasca-Soeharto mendatang. Memberikan kekuasaan terlalu besar pada satu figur akan menyulitkan kontrol terhadapnya. Karena itu Soeharto sangat selektif dalam memilih perwira-perwiranya.
“Para perwira itu tidak selalu akur antara yang satu dan yang lainnya. Potensi saling bertentangan itu sangat menguntungkan Soeharto. Tentara yang bersatu adalah potensi ancaman bagi kekuasaan otoriter,” tulis Salim Said (hlm. 220).
Untuk mendampingi Tutut, Soeharto menyiapkan Jenderal Raden Hartono. Pertimbangannya: Hartono adalah perwira yang loyal dan kuat identitas Islamnya. Dalam skenario Soeharto, dia diharapkan bisa menyeimbangkan kekuatan politik ABRI dan massa Islam. Juga, yang terpenting, mengurangi kecurigaan ABRI kepada kelompok Islam politik.
“Lebih jauh dari itu adalah lebih menguntungkan bagi ABRI jika yang menjadi pemimpin Islam adalah mantan KSAD daripada orang yang mereka tidak tahu tujuan dan konsepsi politiknya. Mungkin begitulah jalan pikiran Bapak Presiden,” lanjut Salim Said (hlm. 221).
Berdamai dengan Gus Dur
Dalam skenario tersebut Tutut pun dapat bermain luwes. Sempat bersitegang dengan Gus Dur pada 1994, dua tahun kemudian Tutut menjahit kembali relasinya dengan pemimpin NU itu demi menggaet simpati massa Muslim. Menurut Greg Barton, inilah cara Tutut membuktikan dirinya mampu meraih dukungan dengan usahanya sendiri.
Sementara Gus Dur tampaknya mampu membaca strategi Soeharto dan langkah-langkah Tutut. Lagi pula Gus Dur ingin menghindari tekanan politik atasnya dan menghindarkan NU dari represi pemerintah seperti pada Muktamar ke-29. Ia juga prihatin atas tindakan-tindakan rezim Soeharto yang semakin ekstrem untuk mengamankan kepentingannya. Peristiwa kekerasan di Situbondo dan represi terhadap pengikut Megawati pada peristiwa 27 Juli 1996 meresahkannya.
Karena itu, pilihan paling realistis yang bisa diambilnya adalah dengan menerima “perdamaian” dengan Tutut. Keduanya bersepakat. Gus Dur bersedia ikut berkampanye untuk Golkar pada Pemilu 1997. Sebagai gantinya Gus Dur meminta Tutut dan Hartono menghentikan dukungan bagi Pusat Kajian Kebijakan dan Pengembangan (CPDS), sayap think tank ICMI. Gus Dur juga meminta agar serangan-serangan atas dirinya, NU, dan Megawati dihentikan.
Selama masa kampanye itu Gus Dur menemani Tutut bersafari di pesantren-pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepada publik NU, seperti dicatat Greg Barton, Gus Dur memperkenalkan Tutut sebagai orang penting dan “akan menjadi lebih penting lagi di masa datang”. Tutut juga sejak itu selalu tampil berkerudung dengan pakaian sederhana khas kaum santri (hlm. 291-292).
Langkah politik Tutut kian mulus setelahnya. Sampai sejauh itu, apa yang diharapkan Soeharto cukup berhasil. ABRI dan kelompok Islam yang diharapkan menjadi pendukung kepemimpinan Tutut kini kian mudah dikelola.
Pada Maret 1998, Soeharto, yang terpilih sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, mengumumkan kabinet. Sebagaimana telah diramalkan Salim Said, Tutut mendapat jatah Menteri Sosial. Hanya tinggal menunggu waktu saja ia menggantikan posisi sang ayah. Tetapi, satu ramalan Salim Said meleset.
“Saya juga meramalkan, lewat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar setelah sidang MPR, Tutut akan jadi Ketua Umum menggantikan Harmoko” (hlm. 215).
Sebelum Golkar sempat mengadakan Munas dan sebelum semua skenario itu mencapai tujuannya, Soeharto ditumbangkan oleh gerakan Reformasi 1998.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan