Menuju konten utama
Ketua Umum Golkar Zaman Orba

Harmoko, Orang Sipil Pertama yang Jadi Ketua Umum Golkar

Lima ketua umum sebelum Harmoko berasal dari kalangan militer.

Harmoko, Orang Sipil Pertama yang Jadi Ketua Umum Golkar
Harmoko. Foto/istimewa

tirto.id - Bicaranya pelan, sedikit patah-patah. Dengan mengenakan kemeja berwarna kuning, pada Rabu (13/12/2017), Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid mengumumkan berita paling penting mengenai partai Golkar tahun ini: terpilihnya ketua umum baru Golkar.

“Sehubungan dengan masalah hukum yang dihadapi Bapak Setya Novanto, maka sesuai dengan aturan partai Golkar, jabatan ketua umum dinyatakan lowong. Oleh karena itu, rapat pleno telah memutuskan penggantian ketua umum dari bapak Setya Novanto ke Bapak Airlangga Hartarto,” ujar Nurdin.

Pada hari itu juga, menurutnya, rapat pleno memutuskan Golkar bakal menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada 18 Desember 2017, disusul Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada 19-21 Desember 2017. Salah satu agenda kegiatan tersebut adalah pengukuhan Airlangga sebagai ketua umum.

Jika proses tersebut berjalan lancar sebenarnya Airlangga akan menjadi ketua umum ke-11 partai berlambang beringin tersebut. Namun, politikus senior Golkar Fahmi Idris mengkritik pengangkatan Airlangga. Menurutnya keputusan rapat pleno tidak sah karena penetapan ketua umum hanya bisa dilakukan melalui mekanisme musyawarah nasional (munas) atau musyawarah nasional luar biasa (munaslub).

“Hah? Tidak mungkin! Tidak sah. Kenapa [tidak sah]? Karena penentuan ketua umum itu hanya ada pada munaslub dan munas. Itu kan pleno,” ungkap Fahmi kepada Tirto di Jakarta, Kamis (15/12/2017).

Hal serupa juga diungkapkan eks Wakil Sekretaris Jendral DPP Partai Golkar Lalu Mara Satriawangsa. Menurutnya, “Kalau keputusan sidang pleno dipakai sebagai dasar untuk menetapkan Pak Airlangga sebagai ketum, maka itu cacat konstitusi. Itu preseden yang tidak baik.”

Hari-hari Harmoko

Itu bukan pertama kali penetapan ketua umum Golkar menuai polemik. Komentar dengan nada menentang juga muncul setelah Harmoko ditetapkan sebagai ketua umum Golkar melalui munas yang diselenggarakan Golkar pada 1993 di Jakarta.

Hanya saja, alasannya berbeda. Harmoko merupakan ketua umum ke-6 Golkar dan orang non-militer pertama yang menduduki jabatan tersebut. Sebelumnya, Golkar selalu diketuai oleh mereka yang berasal dari kalangan militer. Ketua umum pertamanya adalah Jenderal Djuhartono. Ia dan semua ketua umum selanjutnya—Suprapto Sukowati, Amir Moetono, Sudharmono, dan Wahono—adalah tentara.

Sebelumnya, Harmoko adalah seorang wartawan. Pada 1970, dia menerbitkan harian Pos Kota. Pada 1983, dia diangkat Presiden Soeharto sebagai menteri penerangan.

Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2006), mencatat sejumlah komentar petinggi militer mengenai penunjukan Harmoko sebagai ketua umum. Salah satu komentar yang muncul berasal dari Panglima Kopkamtib periode 1971-1974 Jenderal Soemitro. Menurutnya, sebagian besar perwira ABRI, terutama Edi Sudrajat dan Benny Moerdani, marah.

Komentar ini menurut anggota fraksi ABRI di MPR periode 1993-1995 Letnan Jenderal Sayidiman muncul karena Soemitro tidak suka dengan Harmoko.

“Kami bukan tidak setuju Golkar dipimpin orang sipil, tapi Pak Mitro tidak suka Harmoko secara pribadi yang dinilainya oportunis dan tukang ngolor belaka. Kami juga tidak setuju dengan pimpinan Golkar yang tentara seperti Sudharmono, sebab dia tidak membawa Golkar ke demokrasi yang sehat,” ungkap Sayidiman.

Cees Van Dijk dalam “The Year 1993: 1998 Casts its Shadow” menerangkan sebelum Munas Golkar 1993 berlangsung, sudah muncul perdebatan mengenai latar profesi ketua umum Golkar yang akan datang. Sebagian pihak ingin ketua umum Golkar berasal dari warga sipil, sedangkan sebagian lainnya menginginkan ketua umum golkar berasal dari pensiunan perwira militer – seperti yang selalu terjadi sejak Golkar didirikan pada 1964.

Menurut Sudharmono, sesungguhnya Soeharto telah lama menginginkan orang sipil lebih berperan di dalam Golkar, tetapi kaderisasi sipil berjalan tidak lancar. Sedangkan peneliti politik militer Indonesia, Harold Crouch, mengungkapkan Harmoko dilantik bukan karena dia orang sipil, tetapi karena dia adalah ‘pilihan istana’.

“Dari segi itu, kedudukan Harmoko mungkin sama dengan kedudukan salah seorang pendahulunya, yaitu Letjen Sudharmono yang dilantik sebagai Ketua Umum Golkar 10 tahun lalu. Seperti Harmoko, ciri istimewa Sudharmono bukan statusnya dari segi dikotomi sipil-militer, tetapi hubungan akrabnya dengan Kepala Negara,” ujar Crouch, sebagaimana dikutip oleh Salim.

INFOGRAFIK KETUM BERINGIN DARI MASA KE MASA

Siasat Harmoko

Menjelang munas itu juga santer terdengar bahwa ketua umum Golkar adalah sosok yang paling berpeluang besar menjadi presiden setelah Soeharto. Dan, tidak lama setelah jabatan ketua umum Golkar disematkan pada Harmoko, van Dijk mencatat mingguan Detik menerbitkan artikel berisi tanggapan anggota fraksi ABRI di DPR, Mayor Jenderal Raja Kami Sembiring Meliala terhadap Harmoko.

Kepada Detik, Sembiring Meliala menyatakan presiden berikutnya harus berasal dari kalangan militer. Menurutnya, jika Golkar jatuh ke tangan kelompok lain, ABRI mungkin akan menarik dukungan mereka dari Golkar dan memberikannya kepada PPP atau PDI. Dan, jika ABRI mendukung PDI, misalnya, partai tersebut pasti akan memenangkan Pemilu 1997.

Terlepas dari berbagai komentar tersebut, kiprah Harmoko sebagai ketua umum Golkar tidak bisa dinilai sebelah mata. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009) yang disusun Rully Chairul Azwar menyebut Harmoko mencanangkan program bernama Temu Kader yang dibuatnya sebagai “metode baru dalam pendidikan politik dan komunikasi politik.”

Dalam Temu Kader, baik kader, anggota, maupun simpatisan Golkar bertemu. Sejumlah petinggi Golkar pun datang dalam pertemuan tersebut sembari menjelaskan apa dan bagaimana peranan Golkar sesungguhnya. Dan, Harmoko selalu bisa menghadirkan candaan segar dalam pidatonya di acara tersebut.

“Temu Kader itu dimulai di Purwakarta Jawa Barat pada Jnuari 1994 dan berakhir di Sulawesi Selatan pada 26 April 1996. Selama dua tahun itu, Harmoko dan pimpinan Golkar lainnya telah berkunjung ke 27 provinsi dan 305 Daerah Tingkat II di seluruh Indonesia,” ungkap Rully.

Hasilnya, pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1997, Golkar mendapat 74,51 persen suara. Meningkat sekitar 6 persen dari peroleh suara Golkar pada Pemilu 1992 yang sebesar 68,10 persen.

Baca juga artikel terkait KETUA UMUM GOLKAR atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani