tirto.id - Di zaman Revolusi, rumah Soeharto nan besar tapi masih sepi di Yogyakarta kedatangan pasangan suami-istri dari luar kota. Hari belum sore, Soeharto selaku tuan rumah belum pulang. Di rumah itu hanya ada Probosutedjo yang masih SD. Setelah memperkenalkan diri pada Probo, si suami bertanya, “Ini rumah siapa?” Probo menjawab, “Rumah kakak saya.”
“Apakah kami boleh tinggal menumpang di garasi? Kami tak punya rumah di Yogyakarta,” tanya si tamu laki-laki. Probo tanpa pikir panjang dengan polosnya malah bilang, “Lho, kenapa di garasi, tinggal saja di kamar dalam. Masih ada tiga kamar kosong, kok.”
Pasutri itu senang. Mereka bisa beristirahat di kamar besar. Sorenya Soeharto pulang. Probo tentu ditanyai, “Itu siapa?” Probo menjawab, “Namanya Amir Moertono. Mereka nggak punya rumah, jadi saya suruh tinggal di sini.”
Soeharto hanya bisa kerutkan kening dan mengingatkan Probo untuk berhati-hati menerima orang lain. Beruntunglah Probo, karena Amir juga perwira seperti Soeharto dan cepat akrab pula. Begitulah cerita Probosutedjo tentang Amir Moertono, Soeharto dan dirinya seperti diakuinya dalam memoar Saya dan Mas Harto (2013: 97-98).
Sepengakuan Soeharto dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 57), Amir Moertono adalah anak buahnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Kala itu pangkat Amir masih letnan. Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1988: 209), laki-laki kelahiran Kertosono, 7 Juli 1924 yang pernah sekolah di HBS dan SMT ini sempat jadi komandan kompi dalam Divisi III di Surabaya pada 1945. Amir juga pernah ditempatkan sebagai bawahan Soeharto di Batalyon X Yogyakarta.
Waktu kampanye pembebasan Irian Barat tahun 1960-an, Amir juga satu rangkaian dengan Soeharto. Soeharto sebagai Panglima Operasi Mandala Pembebasan Irian Barat (Trikora), sementara Amir Moertono menjadi Ketua Seksi Aksi Pengerahan Massa di Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
Piawai Mengorganisasi Massa
Sebelum beraksi di Irian Barat, dia sempat belajar di Political Intelligence Course di Honolulu, Hawaii pada 1959. Sebelum itu dia belajar di Akademi Hukum Militer (AHM). Dia ahli hukum militer yang paham soal politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.
Pada 1956, setelah Indonesia membatalkan isi KMB 1949 dan mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda, seperti ditulis Bambang Sulistyo dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013: 164), pihak militer mendirikan Badan Kerja Sama Buruh Militer (BKS Bumil) yang beranggota SOBSI, KBKI, SBII, HISSBI, SOBRI, dan GOBSI-Indonesia.
BKS Bumil semula diketuai Mayor Harapan, namun kemudian digantikan Letnan Kolonel Amir Moertono. Seperti dicatat David Reeve dalam Golkar: Sejarah Yang Hilang (2013: 194), Amir kemudian terlibat pula dalam Badan Pembina Potensi Karya (BPPK) untuk urusan materil.
Setelah Soeharto makin kuat sejak 1966, di Departemen Pertahanan Amir sempat menjadi Wakil Direktur Strategi Sosial Ekonomi, lalu Direktur Kekaryaan/Sosial Politik, lalu Asisten Pembinaan Sosial Politik hingga 1974. Dalam jabatan terakhir dia merangkap Asisten Sosial Politik Kopkamtib. Sejak 1970, Amir Moertono sudah menjadi anggota Dewan Pembina di Golongan Karya (Golkar).
Selepas Ketua Umum Golkar Suprapto Sukowati tutup usia pada 1972, Amir Moertono pun menggantikannya pada tahun berikutnya. Di masa-masa itu Soeharto menjadi Pembina Utama Golkar. Sebagai orang Jawa, seperti dicatat David Reeve (hlm. 378), pada 1974 Amir Moertono menyatakan: keluarga besar Golkar harus memiliki asas handarbeni (milik bersama), hangrukebi (berbagi tanggung jawab), dan mulat sariro (selalu introspeksi/menjaga diri).
“Saat Amir Moertono menjadi Ketua Umum Golkar, memang ada Trikarya (Soksi, Kosgoro, MKGR), yang dianggap tidak suka dengan Moertono,” tulis Ramadhan K.H. dalam Peran Historis Kosgoro (2000: 324).
Organisasi-organisasi penguat Golkar itu juga dipimpin perwira yang di zaman Soeharto sudah jadi jenderal. SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) terkait dengan Letnan Jenderal Suhardiman, Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong) terkait dengan Mayor Jenderal Mas Isman (tokoh Tentara Pelajar era Revolusi), dan MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) terkait Mayor Jenderal Sugandhi.
Di antara kelompok-kelompok itu, menurut Leo Suryadinata dalam Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik (1992: 52), Amir bersaing paling keras dengan Kosgoro dan pendirinya.
Gelar Bapak Pembangunan bagi Soeharto
Ketika Amir Moertono jadi Ketua Umum Golkar, Mayor Jenderal Ali Moertopo adalah jenderal intel paling berpengaruh yang ikut memperkuat Golkar. Di masa awal Amir memimpin Golkar, Ali Moertopo mendorong kelompok Pemuda Cipayung untuk mendirikan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Di akhir kepemimpinan Amir Moertono, ramai suara publik yang ingin menggelari Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Koran Sinar Harapan (31/10/1981), seperti dimuat dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita 1981-1982 (2008: 236-238), memberitakan pernyataan Amir terkait hal ini. Ia menegaskan, "usul-usul yang mengharapkan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan Indonesia dari segi politik memang sudah merupakan kehendak Golkar."
Terkait adanya anasir-anasir yang tidak suka Soeharto digelari Bapak Pembangunan dengan menganggap itu sebagai kultus individu—seperti dulu Sukarno digelari Presiden Seumur Hidup—Amir Moertono punya jawaban: “Boleh saja jika ada pihak yang tidak setuju atas usul tersebut.” Bagi Amir, atas nama Golkar, Soeharto punya kelebihan dan berjasa bagi negara. Gelar ini juga perlu untuk membantah isu yang menyebut Soeharto gagal dalam pembangunan bangsa.
Sebagai Ketua Golkar, Amir Moertono kemudian digantikan oleh jenderal lain, Mayor Jenderal Sudharmono. Seperti Amir, Sudharmono juga ahli hukum militer. Sudharmono menggantikannya sebagai Ketua Umum Golkar pada 1983. Amir kemudian tetap di Golkar. Dia menjadi anggota DPR RI sebagai wakil dari Fraksi Karya Pembangunan.
- Djuhartono: Sejarah Hidup Ketua Umum Golkar Pertama yang Sukarnois
- Suprapto Sukowati, Ketua yang Memenangkan Golkar di Pemilu Pertama
- Sudharmono, Ketua Golkar yang Membuka Pintu bagi Politikus Sipil
- Di Zaman Ketua Umum Wahono, Golkar Dekat Lagi dengan Militer
- Harmoko, Orang Sipil Pertama yang Jadi Ketua Umum Golkar
Editor: Ivan Aulia Ahsan