Menuju konten utama

MKGR: Dari Ajudan Sukarno untuk Soeharto

MKGR adalah satu elemen penting Golkar sejak awal Orde Baru. Setelah Soeharto lengser, MKGR keluar dari Golkar dan gagal jadi partai besar.

MKGR: Dari Ajudan Sukarno untuk Soeharto
Sugandhi bersama Ibu Mien Sugandhi, dua tokoh MKGR. Foto/mkgr.id

tirto.id - Di dokumen arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tentang 1998 yang baru dirilis secara publik, ada catatan singkat tentang keluarnya Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) dari kekuatan politik paling digdaya semasa orde baru, Golongan Karya (Golkar).

“Salah satu perkumpulan yang turut membentuk partai penguasa, Golkar, pada tahun 1960an,” tulis dokumen tersebut. Perpisahan terjadi pada 27 Mei 1998 dan MKGR mendeklarasikan diri sebagai partai. Seperti juga Golkar. Pada 25 Mei, Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), yang juga ikut membantu kelahiran Golkar juga melakukan hal serupa. Bersama Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Kosgoro dan MKGR adalah tiga elemen penting Golkar.

Jika SOKSI (yang mengaku ada sejak 31 Mei 1961) terkait dengan nama Mayor Jenderal Soehardiman, Kosgoro (yang mengaku ada sejak 10 November 1957) terkait dengan Mayor Jenderal Mas Isman sementara MKGR (yang mengaku ada sejak 3 Januari 1960) terkait dengan Mayor Jenderal Soegandhi. Nama terakhir adalah salah seorang ajudan Presiden Sukarno. Laki-laki yang dikenal sebagai Raden Haji Soegandhi Kartosoebroto kelahiran Blitar 3 Januari 1923, tanggal lahirnya mirip dengan hari jadi MKGR.

Menurut catatan Afan Gaffar dalam Golkar dan Demokratisasi di Indonesia (1993:36), MKGR mengoordinasi tak kurang dari dari 13 organisasi massa. Sejak lahir hingga 1991, tulis Akbar Tanjung dalam The Golkar Way (2007:107), 1991, MKGR dipimpin oleh Soegandhi.

“[MKGR] tidak memiliki dampak politik tingkat nasional selama Demokrasi Terpimpin. Dibandingkan dengan SOKSI dan Kosgoro, organisasi ini mewakili komitmen antipartai dengan penekanan religious yang kuat,” catat David Reeve dalam Golkar: Sejarah Yang Hilang, Akar, Pemikiran dan Dinamika (2013:314-315).

Proyek-proyek MKGR berskala kecil, misalnya pengadaan lumbung padi, biaya pemakaman dan perjanjian kredit. Di era Orde Baru, MKGR bekerjasama dengan organisasi-organisasi mahasiswa di Jakarta, proyek petani di Jawa Barat, Jawa Timur ,dan Sulawesi Selatan. Menurut sebuah laporan yang dikutip Reeve, 149 ribu eks PNI di Garut beralih menjadi MKGR.

Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD (1988:331-332) mencatat bahwa Soegandhi pernah mengisi posisi Komandan Pasukan Pengawal Presiden dari 1946 hingga 1948. Setelahnya, dia menjabat ajudan senior sejak 1948 sampai 1960. Sempat juga ia menjadi perwira menengah di Komando Antar Daerah (KOANDA) Sumatra. Menurut Willem Oltman dalam Bung Karno Sahabatku (2001:106), “pangkatnya paling tinggi di antara ajudan presiden.” Tapi, menurut David Reeve, dalam Golkar: Sejarah Yang Hilang, Akar, Pemikiran dan Dinamika (2013:314), Soegandhi “memainkan peranan penting melawan Sukarno.”

Sejak 1963, Soegandhi adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong-Royong (DPR-GR) merangkap Ketua MKGR. Dalam struktur departemen pertahanan, seperti dicatat Reeve, pasca-kejatuhan Presiden Sukarno, Soegandhi menjabat Kepala Pusat Informasi Hankam dan kepala harian Angkatan Bersenjata. Sebagaimana dicatat Salim Said dalam GESTAPU 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto (2015:27), Soegandhi pula yang dianggap mempopulerkan istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) untuk menyebut Peristiwa G30S 1965, agar mengingatkan orang akan kekejaman Gestapo di zaman Hitler.

Nasib Soegandhi tak seapes ajudan Presiden Soekarno lainnya, misalnya Maulwi Saelan atau Mohamad Sabur yang harus meringkuk di balik jeruji besi. Setelah Soeharto resmi menjabat presiden, selain masih tetap jadi anggota DPR-GR, Soegandhi tak hanya memimpin MKGR, tapi juga menjabat Ketua Bidang Politik pada Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Tahun 1980an, dia menjadi anggota DPR wakil dari Golkar. Pangkatnya pun berhasil meraih bintang. Hingga 1988, dia sudah mencapai Mayor Jenderal.

Infografik Partai MKGR

Tak hanya Soegandhi yang jadi orang penting Orde Baru. Karier istrinya, Siti Aminah alias Mien Soegandhi, juga meroket. Sejak 1993 hingga 1998, Mien Soegandhi dikenal sebagai Menteri Negara Urusan Wanita. Diangkat ke posisi tersebut setelah Soegandhi meninggal pada 25 Juli 1991, Mien termasuk orang yang mengecam terbitnya buku kumpulan foto syur Ratna Sari Dewi Sukarno yang berjudul Madame de Syuga pada 1998.

Mien cukup dekat dengan keluarga Cendana, termasuk dengan Ibu Negara Tien Soeharto. Dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011:211), Mien mengaku bahwa Tien mengatakan satu pesan penting kepadanya dalam sebuah acara. “Tolong katakan kepada (Ibu Tien menyebut salah salah seorang petinggi Golkar), agar Pak harto jangan menjadi Presiden lagi. Sudah cukup, sudah cukup, beliau sudah tua,” kata Tien. Mien yang kaget bertanya balik, “Lho Bu, kalau begitu siapa yang mumpuni untuk menggantikan beliau?” Mien mengaku jika Tien Soeharto akan menyerahkannya pada pemilu. Namun, setelah Tien Soeharto meninggal, Soeharto jadi presiden lagi.

Dari perkawinan Soegandhi dengan Mien, Soegandhi memiliki seorang putri bernama Sri Budi Mintorowati. Sang putri belakangan dinikahi seorang perwira infanteri Angkatan Darat tampan bernama Soeyono. Belakangan, pangkat Soeyono—yang pernah dinas di Batalyon Banteng Raiders Jawa Tengah—mandeg sebagai Letnan Jenderal. Satu tingkat lebih tinggi ketimbang mertuanya yang hanya sampai Mayor Jenderal. Soeyono yang pernah memimpin Kodam Diponegoro (Jawa Tengah) ini pernah menjabat Kepala Staf Umum (KASUM) ABRI.

Setelah Soegandi meninggal dunia, Mien termasuk orang yang diperhitungkan di MKGR. Pada Musyawarah Besar MKGR Oktober 1999, Soeyono menjadi Ketua Umum MKGR. Setelah Reformasi 1998, Mien mengubah MKGR menjadi partai, sebuah keputusan yang banyak ditentang dan memecah belah internal MKGR. Muncullah kelompok Komite Penyelamat MKGR dengan Mien Soegandhi yang menekadkan MKGR sebagai partai, serta Komite Penyelamat dalam Musyawarah Besar Luar Biasa (Mubeslub) MKGR 6-7 Mei 1999 yang menetapkan Irsyad Sudiro sebagai Ketua Umumnya.

“MKGR merupakan Warisan Soegandhi yang tak pernah diwariskan kepada Irsyad,” kata Mien Soegandi. Keberadaan Mien dan Soeyono, istri dan mantu Soegandhi yang kerap disapa Gandi, di MKGR, bisa membuat orang menganggap MKGR adalah milik keluarga Soegandhi, meski organisasi penting Orde Baru ini mengklaim diri terbuka untuk umum.

Sialnya, kiprah MKGR sebagai partai tak bisa disebut sukses. Selama satu dekade terakhir, nama MKGR bukan siapa-siapa di Pemilu. Golkar, tempat MKGR dulu bernaung, juga tidak sejaya dulu. Bukan lagi partai nomor satu kesayangan penguasa. Sejarah tak bisa diulang Golkar.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf