tirto.id - Hutomo Mandala Putra berpeci hitam, necis dengan jas dan kemeja berdasi. Jemari tangan kanannya, yang terangkat setinggi bahu itu, menggenggam sebuah bola kecil yang bakal memuat nomor urut Partai Beringin Karya (Berkarya) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
"Nomor tujuh," ujar laki-laki yang kini menjabat ketua dewan pembina Berkarya itu sambil menengok ke arah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman.
Badaruddin Andi Picunang, yang berdiri tepat di samping Tommy, tersenyum. Wajah Sekretaris Jenderal Berkarya itu sumringah saat sejumlah hadirin di kantor KPU, Jakarta Pusat, Minggu (18/2) itu berteriak, "Berkarya!"
Saat itu, Hutomo dan Badaruddin kompak mengenakan jas seragam berwarna kuning. Lambang Berkarya, yang didominasi gambar pohon beringin, tersemat di muka saku kiri jas tersebut. Dengan mengetahui warna khas dan lambang partai, sulit untuk tidak mengaitkan Berkarya dengan Golkar—partai berlambang beringin yang juga menjadikan kuning sebagai warna khasnya.
Selain warna dan lambang, karier politik Hutomo dan Badaruddin pun menunjukkan kaitan antara Berkarya dengan Golkar. Sembilan tahun lalu, Hutomo mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar melalui Musyawarah Nasional (Munas) 2009. Putra bungsu Presiden Soeharto itu bersaing dengan Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Namun, laki-laki yang akrab disapa Tommy Soeharto itu gagal mendapatkan satu pun suara.
Pada 2012, Partai Nasional Republik (NasRep) didirikan. Tommy didapuk jadi dewan pembina partai tersebut.
Badaruddin, sang sekjen, adalah wakil sekjen DPP Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Golkar (2010-2015). Ketika Partai Berkarya didirikan pada 13 Mei 2016, Badaruddin diangkat menjadi sekjen partai yang diketuai Mayjen TNI Syamsu Djalal tersebut.
Waktu pendeklarasian Berkarya pun menggambarkan hal lain. Tanggal 13 Mei 2016 berdekatan dengan Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) Golkar yang digelar pada 14-17 Mei 2016. Kala itu, Munaslub diadakan guna memilih ketua umum baru dalam rangka menyelesaikan masalah dualisme kepemimpinan partai.
Dalam Munaslub Golkar 2016, awalnya Tommy mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Golkar, tetapi dia mendukung Ade Komaruddin yang akhirnya kalah suara dari Setya Novanto.
Dua bulan kemudian, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) NasRep bertanggal 23-24 Juli 2016 memutuskan partai berfusi dengan Berkarya. Tommy pun akhirnya diangkat sebagai ketua dewan pembina Berkarya. Kini, Berkarya menjadi satu dari 14 partai peserta Pemilu 2019.
Pecahan Golkar Sepanjang Masa
Tommy bukan calon ketua umum Golkar gagal perdana yang pada akhirnya mendirikan partai baru. Wiranto, calon Ketua Umum Golkar dalam Munas 2004, juga punya pola seperti Tommy. Dalam Munas yang diselenggarakan selepas Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 itu, Wiranto bersaing dengan Akbar Tanjung, Surya Paloh, Marwah Daud, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, dan Jusuf Kalla.
Di tengah Munas, mantan Panglima TNI itu memutuskan untuk mendukung Akbar Tanjung. Ternyata, Akbar justru kalah dari Jusuf Kalla pada putaran kedua. Dua tahun setelahnya, Wiranto mendirikan Partai Hanura pada 21 Desember 2006.
Surya Paloh, calon Ketua Umum Golkar dalam Munas 2009, juga hijrah dengan pola serupa. Pada 2009, konvensi calon presiden Golkar mempertarungkan dia dengan Aburizal Bakrie, Tommy Soeharto, dan Yuddy Chrisnandi. Alhasil, Surya kalah dari Bakrie. Dua tahun kemudian, Surya mendirikan ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang kemudian menjelma sebagai partai politik.
Selain itu, pola kelahiran partai baru dari Golkar juga menunjukkan: partai didirikan politisi yang gagal diusung Golkar menjadi calon presiden (capres).
Untuk menjadi calon presiden, seorang politisi mesti memenangkan konvensi capres Golkar. Pada 2004, Prabowo turut menjadi peserta konvensi capres Golkar. Namun, dia kalah pada putaran pertama pemilihan. Saat itu Prabowo hanya mendapat 39 suara, jauh di bawah peserta konvensi lain seperti Akbar Tanjung (147 suara), Wiranto (137 suara), Aburizal Bakrie (118 suara), dan Surya Paloh (77 suara).
Empat tahun kemudian, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) didirikan pada 6 Februari 2008. Prabowo diangkat menjadi ketua dewan pembina partai berlambang garuda tersebut.
Hanura, Nasdem, Gerindra, dan Berkarya dapat disebut sebagai generasi kedua partai sempalan Golkar. Generasi pertama mencakup partai-partai yang dibentuk setelah Reformasi 1998 hingga Pemilu 2004.
Dua puluh tahun lalu, Edi Sudrajat, yang kalah dari Akbar Tanjung dalam Munaslub 1998, memilih mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). The Golkar Way (2007) yang disusun Akbar Tanjung menyebutkan kubu Edi Sudrajat menganggap Golkar yang diketuai Akbar Tanjung sejak 1998 itu kurang aspiratif dan kurang reformis (hlm. 109).
Lalu, pada 24 September 1998, partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) didirikan dengan Mien Sugandhi—istri pendiri MKGR, Letnan Kolonel Sugandi—menjabat ketua umum.
MKGR sebenarnya adalah satu dari tiga organisasi masyarakat yang menjadi cikal bakal berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964. Dua ormas lainnya: Koperasi Swadiri Gotong Royong (Kosgoro) dan Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).
Jejak MKGR juga diikuti Pemuda Pancasila yang membentuk Partai Patriot Pancasila pada 1 Agustus 2003. Menurut Yapto Soerjosoemarno, Ketua PP sekaligus pendiri Partai Patriot Pancasila, partai dibentuk karena desakan kader PP. Yapto juga mengungkapkan PP selama ini telah memberikan aspirasi ke Golkar, namun ternyata tidak ada imbal balik bagi anggota PP.
Golkar Limbung
Dirk Tomsa, dalam “Challenges and Opportunities for Golkar” (2012), mengatakan perubahan berturut-turut dalam jajaran elit partai dan berbagai pembentukan partai-partai baru setelah pemilihan ketua umum pasca-Pemilu 2004 mengungkap sejumlah fitur kunci tentang dinamika organisasi Golkar.
Menurutnya, Golkar adalah salah satu partai yang paling kompetitif secara internal pada era Reformasi. Namun, semua pemilihan ketua umum Golkar berjalan menyimpang dengan adanya interferensi pihak luar secara langsung dan tidak langsung (Munaslub 1998 dan Munas 2004), peraturan terakhir berubah untuk melemahkan kandidat tertentu (Munas 2004) dan politik uang berskala besar (Munaslub 1998, Munas 2004 dan 2009).
Soal uang, Prabowo pun sempat mengeluhkannya sebagai alasan. Pada April 2014, di DPP Persatuan Purnawirawan dan Warakuri ABRI dan Polri (Pepabri), Prabowo berkata, "Awalnya saya di Golkar, Golkar sudah dipegang pengusaha modal besar, mental-mental uang. Saya mencoba bertahan beberapa bulan. Tidak tahan dan keluar. Mental di Golkar mental uang, jual beli-jual beli."
Golkar pun seolah tidak bisa lepas dari citra partai pemerintah. Menurut Tomsa, itu juga memperjelas bahwa ada pola kader partai tidak akan ragu untuk mengganti pemimpin yang tidak dapat memberi mereka akses mudah ke aset-aset negara. Saat Munas 2004, Jusuf Kalla adalah wakil presiden. Sedangkan Aburizal Bakrie menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II saat Munas 2009.
Setelah Sang Patron Pergi
Menyempalnya para kader Golkar itu mungkin tidak akan dibayangkan saat Orde Baru. Selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa, Golkar menjadi kendaraan politik sekaligus meraup keuntungan dari kebijakan Soeharto—presiden Indonesia yang juga menjabat ketua dewan pembina Golkar—soal partai politik.
Awad Bahasoan, dalam makalah berjudul “Golongan Karya, Mencari Format Politik Baru” yang dimuat Majalah Prisma (No 12, Desember 1981), menjelaskan Golkar dikategorikan bukan sebagai partai politik layaknya dua rivalnya semasa era Orde Baru: Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Menurut Bahasoan, setidaknya ada dua kebijakan yang menguntungkan Golkar saat itu.
Yang pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 (Permen 12) melarang anggota Golongan Karya yang menduduki jabatan di DPRD memiliki keanggotaan dari partai politik lain. Yang kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 melarang semua pegawai negeri (PNS) termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai politik. Dengan kata lain, saluran politik elektoral yang boleh digunakan PNS dan ABRI hanya Golkar.
Pada pemilu pertama era Orde Baru yang digelar pada 1971, Golkar keluar sebagai pemenang. Ia mendapat 62,82 persen suara nasional. Dalam Pemilu setelahnya, suara Golkar pun tidak pernah kurang dari 60 persen suara nasional. Secara rinci, dalam setiap Pemilu era Orde Baru Golkar memperoleh suara: 62.1 persen (1977), 64.3 persen (1982), 73.2 persen (1987), 68.1 persen (1992), dan 74.5 persen (1997).
Namun, masa dianakemaskan Soeharto itu mesti berakhir saat dia berhenti dari jabatan presiden pada Mei 1998. Tomsa mengatakan segera setelah pengunduran diri Presiden Soeharto, partai yang dulu dominan itu memutus hubungan dengan PNS dan militer. Sementara itu, beberapa petinggi partai mengundurkan diri atau membelot ke pihak lain.
Meski ditinggal patron dan kehilangan sejumlah modal politik, Golkar tidak mati. Menurut makalah Tomsa yang dimuat jurnal South East Asia Research (Vol.20, No.4, Desember 2012) itu, Golkar berhasil menjaga sebagian besar aparat organisasinya tetap utuh dan juga mempertahankan hubungan klienistik dengan elit bisnis dan jejaring pendukung lokal.
Buktinya, Golkar meraup 22,4 persen suara nasional dalam Pemilu 1999. Ia bercokol di peringkat kedua, persis di bawah PDI Perjuangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu pertama yang digelar setelah Orde Baru tumbang itu. Bahkan, pada Pemilu 2004 Golkar memuncaki klasemen peroleh suara dengan total suara sebesar 23.741.749 (21,6 persen).
Suara yang diperoleh partai sempalan Golkar generasi pertama pun tidak begitu berpengaruh terhadap suara Golkar. Dalam Pemilu 1999, PKP hanya meraup 1.065.686 suara, sedangkan Partai MKGR meraih 204.204. Sementara itu, PKP (berubah nama menjadi PKP Indonesia) meraup 1,26 persen, PKPB mendapat 2,12 persen, dan Partai Patriot Pancasila menggaet 1,04 persen.
Nyatanya, Golkar tidak bisa membawa kegemilangan itu di Pemilu 2009. Suara Golkar turun menjadi 14,45 persen. Di lain pihak, Gerindra mendapat 4,46 persen, sedangkan Hanura meraih 3,77 persen. Dalam pemilu ini pula, muncul dua kekuatan baru: Partai Demokrat yang meraih 20,81 persen dan Partai Keadilan Sejahtera yang meraup 7,89 persen.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani