Menuju konten utama

Yuddy Chrisnandi, Fahri Hamzah & Fenomena Keluar-Masuk Golkar

Yuddi Chrisnandi keluar-masuk Golkar. Fahri Hamzah pun ditawari masuk Golkar. Golkar memang bisa dan biasa ditinggalkan dan dimasuki siapa saja.

Yuddy Chrisnandi, Fahri Hamzah & Fenomena Keluar-Masuk Golkar
Yuddy Chrisnandi. ANTARA/ R. Rekotomo

tirto.id - Memasuki akhir bulan pertama masa jabatan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum Golkar, perbincangan mengenai partai Beringin itu kembali menghangat. Politikus Hanura Yuddy Chrisnandi menyatakan bakal masuk partai berlambang pohon beringin tersebut.

Sebelum di Hanura, ia sudah jadi pengurus Partai Golkar dan maju sebagai calon ketua umum partai tersebut lewat Musyawarah Nasional Golkar tahun 2009, bersaing dengan Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Tommy Soeharto.

"Aburizal Bakrie mendapatkan 297 suara, Surya Paloh mendapatkan 239 suara, sedangkan Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto tidak mendapatkan dukungan suara sama sekali," sebut Muhammad Imam Akbar Hairi dalam tesis berjudul Demokrasi Internal Partai (2012).

Setahun setelah Munas, Yuddy memutuskan hengkang dari Golkar dan bergabung dengan Hanura, partai yang didirikan oleh Wiranto.

Setelah itu, karier politik Yuddy semakin moncer. Ketua Umum Hanura Wiranto mengangkatnya sebagai Ketua DPP Hanura. Lalu, dia menjabat Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), 2014-2016. Sekarang, Yuddy menjabat Duta Besar Indonesia untuk Ukraina.

Fahri Hamzah dan Misbakhun

Selain Yuddy, sosok Fahri Hamzah juga membuat perbincangan soal Golkar menjadi hangat. Dia mengatakan Airlangga dan Setya Novanto mengajaknya bergabung dengan Golkar. Bahkan, menurutnya, Presiden Jokowi sendiri yang menyarankan kepada Setya agar mengajak dirinya menjadi anggota partai yang identik dengan warna kuning tersebut.

Sejak dipecat PKS pada Maret 2016, laki-laki kelahiran NTB itu memang bersengketa dengan PKS terkait keanggotaannya dalam partai—dan otomatis statusnya di DPR. Tawaran menjadi anggota Golkar bisa jadi salah satu jalan yang dapat digunakan Fahri agar dapat duduk kembali menjadi anggota DPR pada Pileg 2019. Jika sampai September nanti status Fahri di PKS secara hukum belum final juga, ia bisa tak mendapat tiket Pileg.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS Mardani Ali Sera mensyaratkan putusan pengadilan yang bersifat tetap dan mengikat untuk membatalkan pemecatan Fahri sebagai kader partai.

"Jika sudah berkekuatan tetap dan misal proses peradilan memenangkan Pak Fahri, tentu beliau berhak untuk mendapatkan haknya baik mencalonkan atau dicalonkan," kata Mardani saat dihubungi wartawan Tirto.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan Fahri mencalonkan diri sebagai caleg daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam Pileg 2014. Ia memperoleh 125.083 suara. Angka itu menjadikan Fahri sebagai caleg dengan perolehan suara terbesar seantero NTB. Fahri juga menjadi caleg PKS dengan suara terbanyak di seluruh Indonesia.

Sebagai perbandingan, suara terbanyak dalam Pileg 2014 yang diperoleh caleg Golkar di Dapil NTB sebesar 59.704 suara. Jika Fahri kelak menjadi bagian Golkar, kehadirannya sebagai caleg Dapil NTB berpotensi mendongkrak suara Golkar di NTB.

Kader PKS pindah ke Golkar pernah terjadi sebelumnya. Muhammad Misbakhun awalnya adalah politikus PKS. Dalam Pileg 2009, dia mendapat 35.980 suara untuk Dapil Jatim II dan ia dilantik jadi anggota DPR pada 2009.

Namun, pada Juni 2011, PKS mengajukan proses pemecatan Misbakhun dari DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Saat itu, dia merupakan anggota Komisi XI. Setelah itu disetujui pimpinan DPR, Fraksi PKS mengganti Misbakhun dengan Muhammad Firdaus.

Setahun sebelumnya, Misbakhun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan L/C fiktif Bank Century. Namun, pada Juli 2012, Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) memutuskan Misbakhun tidak bersalah. Menurut Antara, Misbakhun tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kendati dinyatakan tak bersalah, posisinya di DPR tak kembali.

Pada 2013, Misbakhun meloncat ke Partai Golkar. Kader PKS, Al Muzzammil Yusuf, tidak menyayangkan perpindahan itu.

"Jika itu benar, tidak apa-apa, karena preferensi partai adalah hak asasi seseorang yang harus dihormati. Apalagi memang sejak awal Misbakhun tidak pernah tercatat sebagai kader inti PKS," ujar Al Muzzamil Yusuf, seperti dikutip Merdeka.com.

Dalam Pileg 2014, Misbakhun maju sebagai caleg Golkar untuk Dapil Jawa Timur (Jatim) II. Hasilnya, dia mendapat 66.694 suara yang mengantarkannya duduk lagi sebagai anggota DPR. Jumlah suara itu jauh lebih tinggi dari yang diperolehnya dalam Pileg 2009.

Golkar: Lentur atau Tak Punya Ideologi?

Salah satu hal yang dapat dibaca dari fenomena politisi pindah ke Golkar kriteria partai tersebut yang cenderung luwes dengan berbagai macam kelompok. Akbar Tanjung dalam The Golkar Way (2007) mengatakan bahwa Golkar adalah partai catch-all (hal. 137). Istilah tersebut merujuk pada Golkar yang berideologi terbuka atau mendasarkan lembaganya tidak untuk aliran tertentu.

Namun, menurut Dirk Tomsa, label partai catch-all itu tidak benar-benar bisa menggambarkan intisari daya tarik elektoral Golkar. Pada 2007, Tomsa meluncurkan hasil penelitiannya mengenai Golkar dalam buku berjudul Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era. Untuk mengetahui daya tarik Golkar, Tomsa memulainya dengan menelaah latar belakang sosial-budaya dan sosial-ekonomi Golkar (hlm. 98-114).

Dalam telaahan Tomsa, pemilih Golkar pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 didominasi kalangan tingkat ekonomi kelas bawah. Hal itu tidak mengherankan, karena sebagian besar penduduk Indonesia adalah kalangan kelas bawah. Selain itu, Golkar juga dipilih kalangan kelas atas dan menengah-atas secara stabil. Menurut Tomsa, Golkar tidak merepresentasikan kelas sosial tertentu.

Golkar juga tidak secara khusus mendukung aliran tertentu, misalnya Islam. Golkar memang senang menampilkan citra yang lebih Islami, namun, menurut Tomsa, motivasi untuk keislaman itu bukanlah kesalehan, melainkan pragmatisme oportunistik.

Di sinilah Partai Golkar dilekati oleh hal yang disebut Tomsa sebagai nilai ersatz, bukan nilai atau ideologi partai sungguhan. Nilai 'ersatz' terdiri dari kombinasi patron-klientelisme, unsur personalisme, serta citra Golkar sebagai partai pemerintah.

Menurut Tomsa, keanggotaan partai adalah satu-satunya nilai yang ditawarkan Golkar. Sebagai organisasi kolektif, Golkar telah mengerdil menjadi alat kekuasaan dan patronase.

"[Hal itu] menunjukkan degradasinya menjadi sekadar kendaraan praktis yang dibutuhkan nyaris hanya untuk kompetisi dalam pasar elektoral," sebut Tomsa (hlm. 115).

Dalam risetnya, Tomsa mewawancarai sejumlah politisi Golkar. Temuannya menunjukkan bahwa politikus tersebut beralasan masuk Golkar karena infrastruktur organisasi partai memberi mereka kesempatan terbaik untuk memenuhi ambisi politik mereka sendiri. Ambisi tersebut terbentang dari idealisme hingga egoisme murni.

Namun, bukan berarti Golkar tidak memanfaatkan kadernya. "Memang, Golkar membutuhkan kliennya sama seperti klien membutuhkan partai tersebut," sebut Tomsa (hlm. 115).

Misalnya, untuk memilih calon presiden pada Pilpres 2004, Golkar mengadakan konvensi dengan calon Jusuf Kalla, Sultan Hamengkubowono X, dan Wiranto. Kampanye ketiganya turut mempromosikan Golkar di daerah-daerah.

Hasilnya, dalam Pilpres 2004, Golkar mengusung Wiranto sebagai calon presiden (capres) didampingi Solahuddin Wahid (Gus Solah). Namun, Wiranto-Gus Solah kalah dari capres Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi justru oleh Jusuf Kalla (JK).

infografik masuk golkar yes

Keluar Golkar pun Hal Biasa

Tidak lama setelah itu, Wiranto keluar dari Golkar dan mendirikan Hanura pada 21 Desember 2006. Langkah Wiranto keluar Golkar pun diikuti sesama peserta konvensi capres Golkar 2004, Prabowo Subianto dan Surya Paloh. Setelah keluar, Prabowo dan Surya, masing-masing mendirikan Gerindra pada 6 Februari 2008 dan Nasional Demokrat (Nasdem) pada 26 Juli 2011.

Selain keluarnya kader-kader Golkar tersebut, Hal lain yang bisa dicatat dari Pilpres 2004 adalah semakin kentaranya Golkar sebagai partai pemerintah. Dan, tampaknya itu adalah nilai yang dianut Golkar hingga sekarang.

Awalnya, Akbar Tandjung, ketua umum Golkar saat itu ingin menjadikan Golkar partai oposisi. Namun pada 2004, Golkar menggelar Munas. Jusuf Kalla terpilih sebagai ketua umum. JK membawa Golkar menjadi bagian koalisi partai pendukung pemerintah. Golkar pun tetap menjadi partai pendukung pemerintah di era pemerintahan Presiden SBY periode 2009-2014.

Pola seperti Pilpres 2004 pun terulang saat Pilpres 2014. JK kembali maju sebagai cawapres mendampingi Jokowi. Di lain pihak Golkar yang saat itu diketuai Aburizal Bakrie mengusung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai capres-cawapres.

Hasilnya, Jokowi-JK menang. Pada Januari 2016, Golkar beralih dari partai oposisi menjadi partai koalisi pendukung pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Bahkan, Golkar pun menjadi partai yang pertama mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden yang bakal ia usung dalam Pilpres 2019.

"Salah satu falsafah Golkar adalah selalu ada di pemerintahan. Siapa pun pemenang pemilu, tetap Golkar selalu masuk dalam tim itu. Mau menang, mau kalah, Golkar tetap dalam pemerintahan. Itu yang terjadi di partai kita," ujar JK saat menutup Musyawarah Luar Biasa Golkar, Desember 2017.

Menurut Tomsa, dengan menjadi partai pemerintah, Golkar bertindak sebagai pelindung yang memberi para kliennya (anggotanya) dengan sumber keuangan atau material yang menguntungkan.

Dalam situasi transisi demokrasi yang berlarut-larut di Indonesia, budaya ini mungkin cukup untuk mempertahankan jumlah anggota dan pendukung yang setia kepada partai tersebut. Namun, untuk jangka panjang, ia berpendapat hal itu tidak bisa mengkompensasi langkanya nilai-nilai politik secara keseluruhan.

Baca juga artikel terkait PARTAI GOLKAR atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani