tirto.id - Menurut jadwal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 memasuki masa pendaftaran pasangan calon (paslon) pada 1 Januari hingga 13 Februari 2018. Tidak heran jika banyak partai mulai mendeklarasikan paslon yang bakal mereka usung.
Pada Rabu (27/12/2017), Gerinda, PKS, bersama PAN, mengumumkan resmi berkoalisi di 5 pemilihan gubernur (pilgub): Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Sumatera Utara (Sumut), Kalimantan Timur (Kaltim), dan Maluku Utara (Malut).
Sejatinya, koalisi Gerindra, PKS, dan PAN di pilgub ini bukan yang pertama. Dari 16 pilgub yang diselenggarakan semasa Jokowi menjabat presiden sejak 2014, Gerindra paling sering berkoalisi dengan PKS, yakni sebanyak 7 pilgub. Sedangkan PAN menjadi partai kedua yang paling sering berkoalisi dengan Gerindra, yaitu sebanyak 6 pilgub. Sementara itu, baik PAN, Gerindra, dan PKS pernah mengusung paslon yang sama di 2 Pilgub, yakni Banten dan Kalimantan Utara.
Pada pilgub yang diselenggarakan tahun 2015, Gerindra dan PKS berkoalisi di 4 provinsi: Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan. Sedangkan pada 2017, keduanya kompak berkoalisi di 3 pilgub, yakni Aceh, DKI Jakarta, dan Banten, serta di 33 wilayah Kabupaten/Kota.
Hasilnya lumayan. Kedua partai itu menang di 4 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan di 14 wilayah Kabupaten/Kota.
Baca juga laporan in-depth Tirto tentang analisis Pilkada 2018:
- Sayur Lodeh Megawati dan Kalkulasi Ulang Koalisi
- Politik Aliran Kembali ke Jawa Timur
- Ridwan Kamil Penyebab Keretakan PDIP dan Jokowi?
- Menimbang Cawapres Jokowi pada 2019
- "Kami Sudah Ada Calon di Jabar, Tunggu Momen yang Pas"
Jawa adalah Kunci
Berdasar data KPU, Jabar, Jatim, dan Jateng merupkan tiga provinsi dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terbanyak pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Data tersebut menunjukkan, sebanyak 33.045.101 pemilih ada di Jabar. Sedangkan 30.638.982 pemilih ada di Jatim dan 27.385.213 pemilih berada di Jateng. Total pemilih di ketiga wilayah tersebut sebanyak 91.069.296 jiwa atau mencakup 48,38 persen DPT di Indonesia.
Tidak berlebihan jika menyebut hasil Pilkada 2018 di ketiga wilayah tersebut sebagai salah satu kunci yang mementukan laju Pilpres 2019. Racikan paslon yang tepat mesti diputuskan secara seksama oleh para petinggi partai baik di daerah maupun pusat.
Di Pilgub Jabar 2018, ketiga partai itu sepakat mengusung Mayjen (Purn.) Sudrajat dan Ahmad Syaikhu sebagai paslon calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub). Sedangkan di Pilgub Jateng 2018, mereka kompak mengusung Sudirman Said sebagai cagub.
Baca juga:
- Tiga Skenario Golkar di Pilgub Jabar 2018
- Golkar, dari Golongan Fungsional Tentara jadi Anak Emas Orba
Sosok Yenny dianggap memikat bagi orang Jatim yang sebagian besar adalah kaum nahdliyin. Ia adalah anak pertama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) dan mantan presiden. Dengan mengusung Yenny, koalisi tiga partai itu sebenarnya bertekad untuk bisa mengimbangi ketokohan Syaifullah Yusuf dan Khofifah, yang masing-masing telah diusung koalisi partai lain sebagai cagub. Sayangnya, Yenny menampik tawaran tersebut dengan alasan tidak ingin memecah belah NU.
“Kami keluarga Gus Dur meyakini punya tugas sejarah untuk menjaga bangsa ini dan memastikan keluarga NU tidak pecah. Oleh karena itu kami tak boleh ikut masuk dalam kontestasi yang sedang berlangsung,” kata Yenny.
Padahal, Gerindra punya 13 kursi di DPRD Jatim, sementara PAN dan PKS masing-masing memiliki 7 dan 6 kursi. Secara total ketiganya menguasai 26 kursi. Angka tersebut memenuhi persyaratan 20 persen suara atau setara 20 kursi untuk mencalonkan cagub dan cawagub.
Jika ketiganya kukuh untuk tidak masuk dalam koalisi partai manapun, itu akan mempersolid koalisi ketiga partai. Kesolidan ini penting, terutama untuk menghadapi Pilpres 2019.
Namun, membangun kesolidan bukannya tanpa rintangan. Misalnya, saat Gerindra mengusulkan nama Yenny Wahid, Ketua Bidang Wilayah Dakwah Jawa Timur PKS Sigit Sosiantomo mengatakan bahwa PKS masih ingin mendukung Syaifullah Yusuf sebagai cagub. Hal itu berdasar pada Surat Keputusan (SK) DPP PKS untuk Pilgub Jatim dan bisa berubah jika ada kesepakatan lain antara DPP PKS dan DPP Gerindra.
"PKS sudah dengan Gus Ipul," ujar Sigit.
Di sisi lain, Ketua Umum PKS Sohibul Iman mengatakan akan membicarakan pencalonan Gus Ipul lebih lanjut dengan PAN dan Gerindra.
“Belum final akan dibicarakan dengan tiga partai,” ujar Sohibul kepada Tirto, pada Rabu (3/12/2017) siang.
Jika PKS lepas, skema lain yang dimungkinkan adalah bertahannya koalisi Gerindra dan PAN. Keduanya punya total 20 kursi di DPRD Jatim. Skema ini juga bukan barang baru. Gerindra sempat mengajukan La Nyalla Mataliti sebagai cagub Jatim kepada PAN. Namun, PAN tidak menanggapinya. La Nyalla pun mengembalikan mandat pancalonan dirinya kepada Gerindra.
Gerindra juga sempat mengajukan Bupati Bojonegoro Suyoto, seorang kader PAN, berduet dengan anggota DPR Fraksi Gerindra yang berasal dari Dapil Jatim V Moreno Suprapto. Menurut Bendahara DPW PAN Jatim Agus Maimun, skema itu mungkin dilakukan.
"Semua memungkinkan dan sangat bergantung pada kesepakatan semua pihak," ujar Agus pada Sabtu (23/12/2017).
Selain di tiga wilayah Jawa tersebut, dalam Pilkada yang hari pemungutan suaranya digelar pada 27 Juni 2018 itu, Gerindra, PAN, dan PKS juga sepakat mengusung Letjen Edy Rachmayadi-Musa Rajeksa di Sumut. Provinsi ini merupakan wilayah dengan jumlah DPT terbesar keempat, yakni 9.902.879, pada Pilpres 2014.
Selain itu, ketiganya juga mengusung Karsyuba-Majid Husein dalam Pilgub Malut 2018 dan Isra Noor-Hadi Mulyadi untuk Pilgub Kaltim 2018.
Gerindra dan PKS, Konco Kenthel
Gerindra, PAN, dan PKS memiliki kisah tersendiri pada penyelenggaraan Pilgub di tiga wilayah kunci Jawa. Di Pilgub Jatim 2013, Gerindra, PAN, PKS beserta sejumlah partai lain mengusung paslon Sukarwo-Saifullah Yusuf. Hasilnya, paslon yang dikenal dengan sebutan KarSa itu menang dengan 8.195.816 suara (47,25 persen).
Sedangkan di Pilgub Jateng 2013, Gerindra, PKS, serta 4 partai lainnya berkoalisi untuk mengusung Hadi Prabowo–Don Munardo. Sedangkan PAN bersama Demokrat dan Golkar mengusung Bibit Waluyo–Sudijono Sastroatmodjo. Alhasil, kedua paslon tersebut kalah oleh paslon Ganjar Pranowo–Heru Sudjatmoko yang diusung PDIP.
Baca juga: Kemenangan dan Kekalahan Supremasi Sipil
Nasib PAN dan Gerindra pun tidak semujur PKS dalam Pilgub Jabar 2013. Paslon Dede Yusuf–Lex Laksamana yang diusung Gerindra, PAN, dan Demokrat hanya mampu meraup 25,24 persen suara. Sementara Ahmad Heryawan–Deddy Mizwar yang diusung PKS, PPP, PKB, Hanura memuncaki klasemen dengan perolehan suara 32,39 persen.
Meski tidak berkoalisi sepenuhnya di 3 pilgub tersebut, pada akhirnya PAN, PKS, dan Gerindra sama-sama menjadi bagian dari Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2014.
Baca juga:
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa koalisi yang terbentuk di pilgub belum tentu bertahan sampai di pilpres. Perubahan profil perolehan suara juga pun sangat mungkin terjadi.Hasil Pilpres 2014 menunjukkan Prabowo-Hatta keok di Jateng dan Jatim. Di Jateng Prabowo-Hatta hanya mampu mendapatkan sebanyak 6.485.720 suara (33.35 persen) dan di Jatim sebanyak 10.277.088 suara (46.83 persen). Paslon yang punya jargon “kerja nyata untuk Indonesia raya” itu hanya mampu menang di Jabar dengan perolehan 14.167.381 suara (59,78 persen).
Meskipun Prabowo-Hatta kalah dan kemudian PAN, PPP, Golkar berpaling menjadi bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah, Gerindra dan PKS tetap bertahan dalam Koalisi Merah Putih. Mereka laiknya konco kenthel yang bareng-bareng memanggul status oposisi.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan