tirto.id - Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018 membuktikan figur kandidat dan dukungan “penguasa” teritorial adalah penentu. Bukan partai politik atau dukungan formal dari organisasi mayoritas sekalipun.
Pilgub Jatim 2018 menunjukkan bahwa penjajakan atas dinamika dan perubahan konfigurasi dukungan elite politik dari pelbagai latar belakang justru lebih bisa menjernihkan muatan nilai, ideologi, dan rumusan strategi masing-masing kandidat. Dari sana peta politik Jatim bisa dipahami, termasuk untuk pertanyaan mengapa Khofifah menang dan Saifullah Yusuf kalah.
Pada era Orde Baru, otoritas politik dipegang oleh militer yang menopang sentralisme negara. Sampai periode Gubernur Imam Utomo yang berakhir tahun 2008, Jatim selalu dipimpin oleh pejabat berlatar belakang militer. Mereka bekerja dengan menggunakan perangkat birokrasi dan struktur militer dengan metode cenderung koersif. Soekarwo sukses mempertahankan kolaborasi militer dan birokrasi saat memenangkan Pilgub 2008.
Selama sepuluh tahun menjabat, Soekarwo menggabungkan gaya kepemimpinan birokratik dan keluwesan politisi sipil. Saya membangun tesis bahwa setelah Pilgub Jatim 2013, bentuk kekuasaan yang dominan adalah politik “kartel” yang berbasis kekuasaan kolegial (collegial power). Dan inilah yang dipraktikkan Soekarwo.
Sejak digelar langsung pada 2008, Pilgub Jatim senantiasa berlangsung seru dengan hasil ketat. Dalam Pilgub 2008 dan 2013, ada tiga irisan penting: kelompok nasionalis dengan PDIP sebagai motor politik utama, pengurus Nahdlatul Ulama yang disokong barisan elite pesantren, dan jejaring birokrasi yang mempunyai struktur hierarki yang rapi.
Kedua Pilgub itu dimenangkan Soekarwo yang bisa memainkan peran sebagai otoritas birokrasi sekaligus kader nasionalis dari faksi alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia—acap dekat irisan parpolnya dengan PDIP. Sementara pada irisan pendukung dari NU dan para Kiai, Soekarwo mengandalkan Saifullah Yusuf.
Dua Komponen Mesin Politik Khofifah
Dalam Pilgub 2018, dua kader NU—Khofifah dan Saifullah—sama-sama tak punya irisan ideologis dengan kelompok nasionalis dan jejaring birokrasi. Di sinilah Soekarwo memainkan peranan penting. Simpul dukungan kelompok nasionalis tak bisa serta merta dikonsolidasikan oleh Saifullah, sekalipun ia diusung oleh PDIP dan eksponen Sukarnois untuk mendukung Puti Guntur sebagai wakilnya.
Momentum Pilkada serentak, yang terpaut tak jauh dari Pileg dan Pilpres 2019, menjadi kunci untuk menjelaskan penambahan satu variabel penting yang bisa merombak tatanan konvensional elite politik Jatim: kepentingan elite nasional.
Jika disimak alur kronologis kedua kandidat, saya menemukan pola menarik yang bisa menjelaskan skenario kepentingan elite nasional ini. Dari sisi Khofifah, keputusan untuk mundur dari jabatan sebagai Menteri Sosial bukanlah tanpa risiko. Daya juangnya untuk bertarung pada laga Pilgub Jatim untuk kali ketiga tentu sudah dihitung cermat.
Pilihan untuk diusung koalisi Partai Demokrat, Golkar, PAN, NasDem, dan Hanura setidaknya menguntungkan dari dua hal. Pertama, dukungan SBY dan Soekarwo secara langsung bisa mengamankan dukungan dari irisan kelompok nasionalis di Partai Demokrat sekaligus jejaring birokrasi. Sedangkan Golkar, Hanura, dan NasDem merepresentasikan jalur elite nasional. Idrus Marham, pengganti Khofifah sebagai Mensos, diambil dari Golkar yang bisa dianggap bagian dari pengamanan jejaring yang sudah dibangun Khofifah di Jatim.
Meski didukung partai besar—PKB, PDIP, Gerindra, dan PKS—bukan berarti jalan Saifullah Yusuf lempeng. Setelah skandal foto yang menyebabkan bakal calon wakilnya, Bupati Banyuwangi Azwar Anas mundur dari pencalonan, PDIP menggantinya dengan seorang tokoh yang asing bagi masyarakat Jatim.
Puti Guntur Soekarno yang dipasang sebagai calon wakil harus bekerja ekstra keras untuk meningkatkan popularitas—pekerjaan yang sangat menyita waktu dan energi dalam durasi hanya lima bulan sebelum Pilgub digelar. Di ruang-ruang publik, hanya PDIP yang terlihat agresif dalam pelbagai agenda kampanye. PKB, Gerindra, dan PKS tak begitu tampak perannya. Ini kerugian yang harus diderita Saifullah Yusuf.
Mesin pemenangan Khofifah dibagi dalam dua kelompok.
Komponen pertama adalah anggota Muslimat yang dia pimpin. Militansi mereka tidak perlu diragukan lagi dan sudah teruji dalam mendukung Khofifah dalam dua Pilgub sebelumnya. Muslimat juga memberikan kontribusi besar bagi kemenangan Jokowi-JK dalam meraup suara di Jatim pada Pilpres 2014.
Komponen kedua terdiri pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kemensos yang diisi banyak alumni kader PMII dan HMI. Selama tiga tahun terakhir, merekalah yang merawat basis warga kelas bawah melalui pemberian bantuan uang tunai dan program penunjang pengentasan kemiskinan lain yang dikoordinasi Kemensos.
Kedua mesin itu bekerja tanpa bisa dibendung oleh kader PDIP atau PKB sekaligus. Inilah aspek penting dalam tim kerja-kerja Khofifah dalam membangun dua pondasi: kader Muslimat yang loyal terhadap pemimpinnya dan citra dermawan sang kandidat yang tersampaikan melalui pendampingan PKH untuk orang-orang miskin.
Sementara di kubu Saifullah Yusuf, para kiai di pesantren-pesantren besar menjadi tulang punggung pendulang suara. Konsolidasi para kiai melalui jaringan santri dan alumni pesantren yang tersebar luas, terutama di daerah Tapal Kuda, sebagian Madura, dan sebagian kecil Mataraman. Pengurus NU struktural di bawah PWNU Jatim sebenarnya lebih condong ke Saifullah Yusuf, tapi mobilisasi pengurus struktural tak pernah terlihat signifikan.
Selain kiai, kepala desa dan perangkatnya patut diperhitungkan. Dukungan mereka bersifat informal karena hubungan kerja yang terjalin lama karena saat menjadi wakil gubernur, Saifullah Yusuf aktif membangun jejaring dengan mereka.
Rekapitulasi akhir yang dirilis KPU Jatim menyatakan Khofifah sebagai pemenang Pilgub dengan selisih suara 7 persen. Fakta menunjukkan, kader PKB dan PDIP yang mendominasi jabatan kepala daerah dan mayoritas kursi DPRD Kota/Kabupaten tak memberi banyak jaminan terhadap kemenangan Saifullah. Di Ngawi dan Surabaya, pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur mengalami kekalahan, juga di kantong-kantong PKB seperti Sidoarjo dan Sumenep.
Kandidat yang diusung oleh PKB menang telak di Pilkada Pamekasan dan Lumajang, tapi suara Saifullah-Puti malah hancur. Demikian juga PDIP di Tulungagung: kader partai moncong putih menang besar, sementara calon gubernurnya mengalami kekalahan.
Semua itu membuktikan mesin partai memang tidak bisa diharapkan terlalu banyak. Setiap kandidat harus mempunyai bala tentaranya sendiri. Partai memiliki aspek yang saling menegasikan satu sama lain seperti yang terjadi pada PDIP versus PKS dan Gerindra di dalam tim pemenangan Saifullah Yusuf.
Posisi Tawar Saifullah Yusuf
Saya mencatat dua hal dari kontestasi Pilgub Jatim 2018.
Pertama, variabel intervensi elite nasional sangat berdampak signifikan. Jatim adalah kantong suara nasional. Siapa pun yang bertarung dalam Pilpres 2019 sedapat mungkin akan berinvestasi besar demi mengamankan kandidatnya.
Dalam proses ini, di kubu Khofifah, Soekarwo bisa memainkan tiga tekanan sekaligus: dukungan klan Partai Demokrat, di mana SBY berkepentingan secara langsung untuk konsolidasi partainya menjelang Pileg 2019; mobilisasi jejaring birokrasi yang sudah terbiasa membaca arah dukungan gubernurnya; dan kapitalisasi dukungan Istana yang ditegaskan melalui intervensi kekuasaan yang terbaca dari manuver Golkar dan perangkat-perangkat khusus lain. Sayangnya, dukungan Megawati, Muhaimin Iskandar, dan Prabowo Subianto di belakang Saifullah Yusuf tidak terkelola dengan baik.
Kedua, dampak Pilgub Jatim 2018 terhadap kontestasi nasional sangat tergantung pada usaha rekonsiliasi setelahnya. Dalam konteks ini, Saifullah Yusuf mempunyai posisi tawar yang tinggi. Jika keterbelahan antar pendukung masih terus berlanjut, siapa pun capres pada Pilpres 2019 harus bekerja keras dan sama-sama berpeluang untuk memperebutkan suara secara seimbang.
Dengan perolehan 9 juta suara, Saifullah Yusuf bisa lebih mudah memelihara kepaduan dukungan Kiai-kiai pendukungnya. Apalagi selama ini Jokowi selalu gagal untuk masuk dan mendapatkan dukungan signifikan kiai-kiai besar di Jatim sejak Pilpres 2014. Ini jelas menguntungkan Prabowo yang bisa lebih diterima karena kekecewaan para kiai setelah calonnya dikalahkan.
Dari sisi konfigurasi elite, Pilgub Jatim bergeser dari model “pemimpin tukang” yang terlihat dalam peranan sentral Soekarwo ke arah “kekuasaan kolegial”.
Figur Khofifah terlalu sulit meneruskan tradisi “Faksi Jawa Timur” yang merujuk situasi semua kekuatan politik bisa duduk bersama-sama, berbagi keuntungan, dan menisbikan perbedaan. Keberadaan Faksi Jawa Timur ini membutuhkan figur yang harus diterima oleh semua kekuatan.
Dalam model kekuasaan baru ini, Khofifah membutuhkan dua tumpuan yang harus sama-sama kuat, yakni kelompok birokrasi yang tentu tak akan mudah dia kendalikan; dan kelompok bisnis yang senantiasa berdiri di atas kalkulasi untung-rugi.
Apakah Khofifah akan sukses meneruskan tradisi "Faksi Jawa Timur" yang terbukti memberikan jaminan stabilitas ekonomi dan politik regional? Atau, Khofifah akan membangun tradisi faksi yang lain?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.