tirto.id - “Mohon doanya. Mudah-mudahan kemenangan yang kami peroleh menjadi mata rantai untuk menjadikan Jawa Timur lebih baik,” kata Khofifah saat sambutan deklarasi kemenangan Pilkada Jawa Timur di kediamannya, Rabu (17/6/2018).
Setelah dua kali berturut-turut kalah dalam ajang pemilihan gubernur Jawa Timur di tahun 2008 dan 2013, pada kompetisi kali ini Khofifah Indar Parawansa akhirnya meraih suara terbanyak publik untuk menduduki kursi gubernur. Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) pada sejumlah lembaga, ia mengungguli lawannya, Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno.
Nama Khofifah Indar Parawansa kembali muncul pada bursa calon kepala daerah. Meski, pada tahun 2008 dan 2014 ia harus mengikhlaskan kekalahan dari lawan tetapnya Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), rupanya tak melemahkan niat Khofifah merebut kursi gubernur.
Ini menjadi kali yang ketiga pula perempuan berusia 53 tahun itu berkompetisi dengan Gus Ipul. Berdasarkan hasil hitung cepat dari Saiful Mujani Research Centre (SMRC) pasangan Khofifah–Emil unggul dengan perolehan suara 52,37 persen, sedangkan lawannya Gus Ipul–Puti memperoleh 47,63 persen suara.
Karier politik aktivis Nadhlatul Ulama ini dimulai sejak tahun 1992 dengan duduk di parlemen sebagai bagian dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu, Khofifah pun tercatat telah dua kali menjabat sebagai menteri, yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di era Abdurrahman Wahid dan Menteri Sosial pada masa kepemimpinan Joko Widodo.
Khofifah dikenal sebagai menteri yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia yang mengubah nama Departemen Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Penggunaan istilah "wanita" memang sempat dipersoalkan oleh sebagian feminis. Kata “wanita” dimaknai “wani ditata” atau siap diatur, sedangkan perempuan berasal dari kata “empu”, sehingga kata yang disebut terakhir dianggap punya pemaknaan lebih baik atas perempuan.
Pada pilkada ini, Khofifah menjadi satu dari tujuh kontestan pilkada perempuan calon gubernur dan calon wakil gubernur. Nama lain adalah Karolin Margret Natasa yang berlaga di Kalimantan Barat, dan 5 sisanya mengajukan diri sebagai calon wakil gubernur: Ida Fauziyah di Jawa Tengah, Puti Guntur Soekarno di Jawa Timur, Chusnunia di Lampung, Sitti Rohmi Djalilah di Nusa Tenggara Barat, dan Emilia Julio Nomleni di Nusa Tenggara Timur.
Secara keseluruhan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima 47 pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, serta 521 pasangan calon bupati/walikota beserta wakilnya untuk berkompetisi. Dari 1.136 petarung politik pilkada 2018, 101 di antaranya merupakan perempuan, atau 8,89 persen peserta pilkada.
Angka ini mengalami peningkatan setelah pada 2017 angka partisipasi perempuan pada pilkada menurun 7,17 persen (48 perempuan dari 670 bakal calon kepala daerah), jika dibandingkan dengan pilkada 2015 dengan partisipasi 7,47 persen (123 perempuan dari 1.646 bakal calon kepala daerah).
Fatwa Pemimpin Perempuan Haram
Titi Anggraeni, Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, keterpilihan Khofifah dalam kontestasi gubernur kali ini, membawa angin segar bagi perempuan untuk maju sebagai kepala daerah. Pasalnya, setelah Ratu Atut Chosiyah, belum ada lagi perempuan menduduki kursi Gubernur.
“Di Pilkada itu kan pencalonan ketika perempuan di calonkan, murni mengandalkan personal perempuan,” kata Titi kepada Tirto.
Keterpilihan Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur beserta 2 orang perempuan lain yakni Sitti Rohmi Djalilah (Nusa Tenggara Barat) dan Chusnunia (Lampung) sebagai wakil gubernur, menurut Titi, menunjukkan bahwa tak ada lagi politisasi agama terkait pencalonan perempuan. Sebab sebelum 2014, banyak ulama berfatwa bahwa memilih perempuan sebagai pemimpin adalah haram.
Perempuan dan Politik Dinasti
Meski ada calon perempuan mengandalkan kemampuan perseorangan, Titi tak menampik bahwa masih ada perempuan mencalonkan diri pada pilkada untuk meneruskan dinasti kekuasaan. Contohnya, pada Pilkada 2018 ini adalah Karolin Margret Natasa, yang menjadi calon Gubernur asal Kalimantan Barat.
Karier Karolin di dunia politik merupakan upaya untuk meneruskan dinasti politik dari ayahnya, dr. Cornelis. Karolin mulai terjun ke dunia politik di usia 24 tahun, saat ia menjadi juru kampanye Pemilihan Umum Bupati Landak, Kalimantan Barat pada tahun 2006. Tak berhenti di situ, di tahun 2008, Karolin kembali menjadi juru kampanye Cornelis untuk bertarung dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Barat dan berhasil membawa ayahnya duduk di tahta kepemimpinan pada tahun 2008–2013.
Pada 2009, saat usianya 27 masih tahun, Karolin mencoba terjun langsung di dunia politik dengan mengikuti pemilu DPR RI periode 2009 – 2014 sebagai calon legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk daerah Kalimantan Barat. Ternyata, kariernya mulus, ia menempati posisi ketiga setelah Edhi eBaskoro dan Puan Maharani, hingga ia terpilih kembali menjadi anggota DPR periode selanjutnya.
Di tahun 2017, Karolin pun kembali ke daerah asalnya, untuk meneruskan dinasti politik ayahnya menjadi Bupati Landak. Baru setahun ia menjabat sebagai bupati, Karolin mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Kalimantan Barat untuk mempertahankan kekuasaan politik dari ayahnya. Namun, pada pertarungan politik kali ini, langkah Karolin tak semulus yang dibayangkan.
Berdasarkan hasil perolehan hitung cepat (quick count) dari LSI Denny JA, meski suaranya di atas pasangan Milton– Boyman yang hanya memperoleh 6,64 persen suara, Karolin–Gidot harus menerima kenyataan memperoleh 33,7 persen suara, jauh di bawah pasangan Sutarmidji–Ria dengan perolehan suara 59,9 persen.
Kemenangan calon pemimpin perempuan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah 2018 tak hanya menjadi milik Khofifah, hasil quick count pada pilkada Lampung, Chusnunia yang menjadi calon wakil Arinal menang dengan perolehan suara 38,52 persen menurut perhitungan SMRC, serta kemenangan Zulkiefli–Sitti di NTB dalam hitung cepat versi LSI Denny JA dengan persentase 30,87 persen.
Selain nama-nama di atas, empat calon wakil gubernur lainnya mengalami kekalahan. Di Tenggara Timur, misalnya, Emelia dan cagub Marianus harus puas bertengger di posisi kedua menurut perhitungan cepat dari SMRC dengan persentase 26,96 persen. Begitu pula di Jawa Tengah, Sudirman Said yang menggandeng Ida Fauziyah untuk meraup suara perempuan, ternyata kalah dari pasangan calon Ganjar–Yasin.
Meski begitu, dibandingkan Pilkada 2017, tingkat keterpilihan perempuan menjadi gubernur atau wakil gubernur mengalami peningkatan. Dari 7 calon perempuan yang berkompetisi, 3 diantaranya berhasil memenangkan proses hitung cepat (42,86 persen).
Dalam laga pilkada 2018, berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count), 3 perempuan berhasil memenangkan pertarungan dari 17 provinsi yang bertanding atau 17,65 persen perempuan akan menjabat sebagai gubernur atau wakil gubernur di daerah mereka masing-masing.
Editor: Maulida Sri Handayani