Menuju konten utama

Kemenangan Khofifah dan Tiga Kali Kekalahan PDIP PKB di Jatim

PDI Perjuangan dan PKB kalah secara beruntun di tiga Pilgub Jawa Timur.

Kemenangan Khofifah dan Tiga Kali Kekalahan PDIP PKB di Jatim
Calon Gubernur Jawa Timur nomor urut satu, Khofifah Indar Parawansa menunjukkan surat suara ketika akan menggunakan hak suara di TPS 16 Jemur Wonosari, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (27/6/2018). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

tirto.id - Hasil hitung cepat lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Lingkaran Survei Indonesia Denny J.A menempatkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak menang dari pasangan Syaifullah Yusuf (Gus Ipul)–Puti Guntur Sukarno di Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub).

SMRC menyatakan prosentase suara Khofifah–Emil sebesar 52,3% unggul dari Gus Ipul–Puti yang meraih 45,7%. Sedangkan LSI menyatakan Khofifah–Emil meraih 54,3% suara dan Ipul-Puti mendapatkan 45,7% suara.

Meski kemenangan Khofifah–Emil masih bersifat sementara hingga ada keputusan resmi dari KPU, namun hitung cepat yang dilakukan SMRC dan LSI bisa dipastikan menegaskan dua hal: Pertama, Khofifah berhasil menang di Pilgub Jatim setelah dua kalah di ajang yang sama pada 2008 dan 2013. Kedua, PKB dan PDIP yang menjadi partai utama pengusung Gus Ipul–Puti tidak pernah menang dalam tiga Pilgub terakhir.

Pada 2008 pasangan Achmady–Soehartono yang diusung PKB tumbang di putaran pertama. Kekalahan kembali dialami PKB pada 2013 saat mengusung pasangan Khofifah–Herman. Sedangkan PDIP yang pada 2008 mengusung Sutjipto–Ridwan Hisjam juga bernasib sama dengan PKB: kalah di putaran pertama. Impian PDIP menempatkan kadernya sebagai pemimpin Jatim kembali kandas setelah pasangan yang mereka usung Bambang DH–Said Abdullah kalah.

Kegagalan PDIP dan PKB memenangi Pilgub Jatim 2018 kontras dengan perolehan suara kedua partai yang pada pemilu 2014 berhasil menempati posisi dua besar. Di DPRD Jawa Timur PKB memiliki kursi terbanyak yakni 20. Apalagi PKB juga dikenal sebagai partai yang dekat dengan nahdiyin atau warga Nahdlatul Ulama (NU).

Hasil survei Alvara 29 April-5 Mei 2018 menyatakan 82% masyarakat Jatim mengindikasikan diri dekat dengan NU dan 59,3% menyatakan memiliki kartu anggota NU. Sementara PDIP menempati posisi kedua perolehan kursi di DPRD Jatim dengan 19 kursi.

Kekalahan PDIP dan PKB dalam menyokong Gus Ipul—Puti di Pilgub Jatim 2018 sebenarnya sudah diprediksi sejumlah lembaga survei. Hasil survei Litbang Kompas pada Mei 2018 menyatakan elektabilitas pasangan Gus Ipul–Puti meski diusung koalisi PDIP, PKB, Gerindra, dan PKS masih kalah dengan Khofifah—Emil yang diusung Golkar, Nasdem, Partai Demokrat, PPP, dan PAN dengan selisih 48,6% berbanding 45,6%.

Survei SMRC pada 21 sampai 29 Mei 2018 juga menunjukkan angka serupa. Elektabilitas Khofifah–Emil unggul di angka 48,5% meninggalkan elektabilitas Gus Ipul-Puti di angka 40,8%.

Gagal Mengerahkan Suara NU

CEO Initiative Institute, Airlangga Pribadi Kusman menilai tidak selarasnya jumlah nahdiyin dengan perolehan suara Gus Ipul-Puti di Pilgub Jatim 2018 mengindikasikan dua hal. Pertama, warga NU sudah tidak sepenuhnya menganggap PKB sebagai saluran politik utama di Jatim.

"Ya, warga NU sekarang ini memang cenderung lebih bebas dalam menyalurkan suaranya setelah banyaknya tokoh NU di beragam partai," kata Airlangga kepada Tirto, Rabu (27/6/2018).

Kedua, menurut Airlangga, karena dalam konteks pemilihan kepala daerah, faktor tokoh lebih menentukan ketimbang dukungan partai. Sementara, menurutnya, warga Jatim melihat sosok Khofifah–Emil lebih memiliki kapabilitas dibandingkan Ipul-Puti.

Analisis Airlangga ini senada dengan survei Alvara. Menurut lembaga ini, secara tipologi pemilih Khofifah–Emil unggul di kalangan pemilih rasional atau pemilih berdasarkan program kerja dan kapabilitas pasangan kandidat dengan 51,5%. Unggul 13,1% dari pasangan Ipul–Puti yang meraih 38,4%.

Lebih lanjut, Airlangga menilai nilai plus dari Khofifah adalah mampu menggandeng Emil Dardak sebagai pendamping di saat popularitasnya sudah mencapai titik maksimal di Jatim. Sebab, menurutnya, Emil yang berlatar belakang profesional dan Bupati Trenggalek mampu menunjukkan kapasitasnya melampaui Puti yang menggantikan posisi Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas sebagai cawagub yang mundur usai foto-foto mirip dirinya dengan wanita beredar di publik.

“Dalam beberapa debat yang berlangsung Emil berhasil menunjukkan dirinya sebagai figur pemimpin muda, berkapasitas, berani dan cerdas,” kata Airlangga.

Hasil berbeda, kata Airlangga, sangat mungkin terjadi jika Ipul tetap berpasangan dengan Azwar yang menurutnya sudah lebih populer ketimbang Emil dan relatif memiliki kapabilitas yang sama.

Soekarwo Ikut Menentukan Kemenangan

Faktor lain yang juga menentukan kemenangan Khofifah-Emil adalah surat dukungan Soekarwo yang merupakan gubernur Jatim sekaligus ketua DPD Demokrat Jatim. Surat itu ditandatangani Soekarwo dan Sekretaris Partai Demokrat Jatim Renvile Antonio pada 23 Juni di kertas berkop Partai Demokrat. Salah satu isi surat itu menyatakan, pasangan ini memiliki kapabilitas untuk memimpin Jatim.

Akan tetapi, surat ini sempat mendapat balasan dari kubu Ipul-Puti yang mengeluarkan surat perjanjian antara Soekarwo dengan Ipul. Surat itu dibuat pada 2013 saat keduanya akan maju sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilgub Jatim.

Satu dari lima poin yang menjadi sorotan dalam surat itu adalah Soekarwo jika terpilih sebagai gubernur Jatim harus memberikan peran secara proporsional kepada Gus Ipul sebagai pendampingnya dan mempersiapkannya menjadi gubernur periode selanjutnya.

Selain ditandatangani Soekarwo, surat itu juga ditandatangani lima kiai sebagai saksi KH Zainuddin Jazuli, KH Nurul Huda Jazuli, KH Idris Marzuki, KH Anwar Manshur, dan KH Anwar Iskandar di atas materai Rp6.000. Tapi “surat balasan” ini ternyata tidak berpengaruh banyak untuk mengerek elektabilitas Gus Ipul–Puti.

“Menurut saya setelah beredarnya surat Soekarwo mendukung Khofifah-Emil itu mempengaruhi dukungan,” kata Airlangga.

Airlangga menilai sampai saat ini Soekarwo masih mempunyai basis massa di Jatim, terutama di wilayah Mataraman yang belum mampu digaet secara maksimal kedua kandidat cagub. "Khofifah dan Ipul itu NU. Di situ bukan basis NU, tapi abangan. Soekarwo selalu menang di sana," kata Airlangga.

Dari rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat Pilgub Jatim 2013, menunjukkan bahwa suara Soekarwo sangat besar, terutama di wilayah Mataraman yang menjadi basis suara pemilih terbesar setelah wilayah Tapal Kuda dan Arek. Soekarwo menang di 7 kabupaten/kota di wilayah Mataraman, yakni Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Madiun, Ngawi, Magetan, dan Nganjuk.

Analisis Airlangga selaras dengan Direktur Alvara, Hasanudin Ali yang menyatakan suara Soekarwo lebih cenderung diarahkan kepada Khofifah–Emil. Hal ini, lantaran posisi Soekarwo sebagai Ketua DPD Demokrat yang secara hierarkis harus tunduk pada perintah SBY.

"Karena bagaimanapun kalau kita lihat Pak SBY sebagai ketua umum Demokrat terlihat sangat all out untuk memenangkan Khofifah dibandingkan dengan daerah lain. Karena kalau kita lihat kunjungan SBY ke Jatim lebih rajin," kata Hasanudin.

Baca juga artikel terkait PILGUB JATIM 2018 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya