tirto.id - “Di balik baju hijau tentara, setiap anggota ABRI adalah kader Golkar. Jadi anggota ABRI dilarang ragu-ragu mendukung Golongan Karya. ABRI dan Golkar sejak awal hidup tidak pernah terpisah, dan yang akan datang tidak boleh berpisah.”
Kalimat tersebut diucapkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Hartono di hadapan hadirin Temu Kader Golkar di Lapangan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dua puluh satu tahun silam, tepatnya 13 Maret 1996.
Bisa dibayangkan betapa bersemangat dan mantap batinnya Hartono saat itu. Ia berpidato di hadapan 5000 kader Golkar. Dan, tidak hanya Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar Siti Hardiyanti Rukmana saja, juga ada empat petinggi militer, yakni Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) Letjen TNI Syarwan Hamid, Asisten Teritorial (Aster) KSAD Mayjen Suparman, dan Panglima Daerah Militer (Pangdam) IV/Diponegoro Mayjen TNI Soebagyo, turut menyaksikannya kala itu.
Sangat sedikit yang membayangkan dua tahun kemudian harapan Hartono agar ABRI dan Golkar selalu bersama itu pupus. Pertengahan 1997, krisis moneter melanda Indonesia. Peristiwa ini pun diikuti serangkaian demonstrasi oleh organisasi masyarakat, mahasiswa, dibantu sejumlah elit politik menuntut diadakannya reformasi, termasuk dalam relasi sipil-militer di Indonesia.
Hasilnya, Soeharto berhenti dari jabatan presiden pada Mei 1998. Puncaknya, pada Oktober 1998, ABRI memutus hubungan resmi dengan Golkar.
Baca juga: Kemenangan dan Kekalahan Supremasi Sipil
Beringin Merindukan Tentara?
Sembilan belas tahun setelah reformasi 1998, di akhir November 2017, Ketua Umum Golkar, Setya Novanto, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi e-KTP.
Kursi tertinggi partai berlambang beringin pun kini menjadi incaran. Politisi senior Golkar, Ridwan Hisyam, menyarankan Golkar kembali dipimpin oleh tentara seperti di era Orde Baru (Orba).
"Kita harus melihat kembali sejarah bahwa Golkar terbentuk setelah seminar Angkatan Darat menyatakan perlu ada partai yang memungkinkan tentara masuk ke pemerintahan untuk mengawal Orde Baru," ujar Ridwan Hisyam, Rabu (21/11/2017).
Memang, Golkar langgeng berkuasa di era Orba-nya Soeharto, namun kemunculannya tidak lepas dari "golongan fungsional" – kelompok yang dibagi atas fungsi kekaryaan, misalnya golongan buruh, guru, tani, tentara, pemuda, atau seniman - yang dijadikan anggota Dewan Nasional oleh Presiden Sukarno pada 9 April 1957.
Lembaga ini dibayangkan Sukarno bisa menjadi wadah penyalur aspirasi di luar partai-partai politik. Lantas, bagaimana golongan fungsional ini kemudian terkait dengan Golkar dan tentara?
Baca juga: Bagaimana Sukarno Menciptakan Partai Golkar
Awad Bahasoan dalam “Golongan Karya, Mencari Format Politik Baru” menjelaskan setidaknya ada tiga organisasi yang menjadi cikal bakal pembentukan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didirikan pada 20 Oktober 1964 guna memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional. Ketiganya menghimpun golongan fungsional dan dijalankan oleh tentara.
Yang pertama adalah Koperasi Swadiri Gotong Royong (Kosgoro). Dibentuk sekitar 1957, organisasi ini diketuai Mayor Isman. Anggota organisasi ini umumnya berasal dari kalangan tentara republik Indonesia pelajar (Trip) yang bertempur di Surabaya. Melalui wadah ini mereka mendirikan koperasi guna memenuhi kesejahteraan mereka.
Yang kedua Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Organisasi ini dibentuk pada 3 Januari 1960 oleh Kolonel Sugandhi. Kegiatan organisasi ini meliputi bidang-bidang agama, sosial, pendidikan, dan kebudayaan.
Sedangkan yang ketiga adalah Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang didirikan di Jakarta pada 20 Mei 1960 oleh Kolonel Suhardiman. SOKSI berfokus menghimpun massa dari sektor buruh.
Awad menjelaskan strategi organisasi ini berlawanan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sama-sama memobilisasi buruh. Jika PKI mempertentangkan relasi antara pekerja dan pemilik modal, SOKSI mengutamakan hubungan yang serasi antara keduanya.
Bisa disaksikan, tiga organisasi tersebut (Kosgoro, Soksi dan MKGR) didirikan oleh orang-orang militer.
Anak Emas Orde Baru
Ketua Pertama Sekber Golkar adalah Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono -- lagi-lagi seorang militer. Lalu, melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I yang dilaksanakan pada Desember 1965 terpilih ketua baru, Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati -- militer lagi.
“Bagi Sekber Golkar peranan pegawai negeri dan bantuan militer akan memunyai dampak yang luar besar terhadap struktur Golkar sendiri baik formal maupun struktural,” sebut Awad Bahasoan seraya menyimpulkan berbagai perlakuan istimewa pemerintah yang dipimpin Suharto. Melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 7 Maret 1967, Suharto ditunjuk ditunjuk sebagai presiden.
Dua tahun kemudian, terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 (Permen 12) yang melarang anggota Golongan Karya yang menduduki jabatan di DPRD memiliki keanggotaan dari partai-partai politik. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 yang melarang semua pegawai negeri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai politik.
“Ini berarti sikap anti-partai berwujud dalam bentuk direnggutnya basis-basis massa yang selama ini yang selama ini menjadi sumber bagi kekuatan suara dan dukungan partai, terutama Partai Nasional Indonesia (PNI),” sebut Awad.
Baca juga: Kekeluargaan Orde Baru dan Politik Sektarian Setelahnya
Hasilnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, Golkar keluar sebagai pemenang dengan 62,82 persen suara nasional. Inilah awal kemenangan mutlak beruntun yang didapatkan Golkar di setiap Pemilu era Orba.
Dalam beberapa kesempatan, Golkar seolah diberikan fasilitas pengerahan tentara untuk menyudutkan pesaing politik. Baskara T. Wardaya dalam Bung Karno Menggugat mencatat pada April 1982, terjadi bentrokan antara para pendukung Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peristiwa ini memicu diturunkannya tentara ke sana. Para pendukung PPP pun ditembaki. Dalam peristiwa ini, tujuh orang meninggal.
Kemudian, dalam suatu peristiwa pada 27 Juli 1996 yang dikenal dengan sebutan “Kudatuli” markas Partai Demokrasi Indoneisa di Jalan Diponegoro Jakarta diserbu tentara dan polisi setelah mereka menunjukkan gelagat anti-Suharto.
“Dengan dukungan amat kuat dari pemerintah dan militer macam itu tidak mengherankan jika dalam pemilu-pemilu dari 1971 hingga 1997 Golkar selalu ‘menang’ dengan mengantongi rata-rata lebih dari 70 persen suara, dan penguasa tunggal Soeharto berjaya sampai 32 tahun,” sebut laki-laki yang akrab disapa Romo Bas itu.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS