tirto.id - "Nama saya sudah enggak ada di caleg PKS tapi saya tidak peduli soal itu."
Kalimat itu disampaikan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah, Jumat (26/1) di Kompleks Parlemen Senayan. Bagi pengurus maupun kader PKS nama Fahri tidaklah asing. Pria kelahiran 1971 sudah aktif sebagai kader sejak PKS kali pertama dibentuk pada 1999. Ia menyumbang kursi DPR RI bagi PKS di tiga pemilu legislatif: 2004, 2009, dan 2014.
Perolehan suara Fahri juga tak sembarangan. Saat Pemilu 2014 lalu, Fahri menjadi caleg dengan perolehan suara terbanyak di PKS dan daerah pemilihannya Nusa Tenggara Barat. Raihan suaranya sebanyak 125.083, mengungguli bekas calon gubernur DKI Jakarta Hidayat Nur Wahid yang meraih suara sebanyak 119.267 di dapil Jakarta. Suara Fahri juga jauh melebihi legislator PKS asal Sumbawa Zulkieflimansyah yang hanya meraup suara 38.966.
Politikus PKS Mahfudz Siddiq menilai partainya rugi tidak memasukkan Fahri dalam daftar caleg. Menurutnya partai akan kehilangan suara dan dukungan di dapil yang selama ini digarap Fahri. Mahfudz pesimistis kader PKS Zulkieflimansyah yang maju di Pemilihan Gubernur NTB berpasangan degnan Siti Rohmi Jamilah bisa menang tanpa dukungan Fahri yang memiliki ratusan ribu pendukung.
"Dengan sikap PKS seperti sekarang ya saya tidak begitu yakin juga bahwa basis massa pendukung pak Fahri juga akan mendukung cagubnya PKS," kata Mahfudz kepada Tirto, Sabtu (27/1).
Mahfudz mengingatkan ratusan ribu suara yang disumbang Fahri untuk partai tidak terbentuk secara instan. Mahfudz yakin, Fahri telah membangun, merawat, dan menjaga basis suara di NTB dengan baik. Hal itu pun terus terjadi meskipun Fahri tidak lagi menjadi kader PKS. "Sampai sekarang Pak Fahri masih rajin ke daerah pemilihan di NTB. Kalau tidak salah beberapa hari ini dia baru pulang dari NTB," kata Mafhudz.
Tidak hanya berpengaruh di NTB, Mahfudz percaya tidak adanya nama Fahri di daftar caleg PKS juga akan berpengaruh terhadap perolehan suara partai secara nasional di Pemilu 2019. Hal ini karena menurutnya Fahri merupakan politikus yang kiprahnya sudah dikenal di aras nasional. "Sekarang Pak Fahri sudah diposisikan sebagai politikus nasional. Bukan saja level daerah dan bukan saja level PKS. Dia menjadi ikon tersendiri bagi tokoh pemimpin muda yang punya sikap dan konsistensi," kata Mahfudz.
"PKS sedang membuang aset pentingnya."
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai tidak adanya nama Fahri di daftar caleg PKS tidak akan berdampak terhadap perolehan suara partai. Hal ini karena menurutnya PKS merupakan partai yang tidak mengedepankan ketokohan. "PKS ini kan partai kader. Artinya siapapun yang didukung oleh PKS di mana pun tempatnya termasuk di NTB mesin politiknya akan tetap jalan," kata Adi saat dihubungi Tirto.
Menurut Adi kader PKS dikenal taat dengan keputusan pengurus pusat. Ia yakin seluruh kader yang sebelumnya memilih Fahri Hamzah akan memilih kader lain yang ditunjuk partai. Menurutnya hanya pemilih Fahri nonkader saja yang berpotensi tidak akan mendukung lagi PKS "Tapi kader PKS dipastikan gak akan milih dia nanti," ujarnya.
Adi mengakui Fahri memiliki loyalis dan simpatisan yang dibangun dari konsistensinya mengkritisi pemerintah. Namun tak jarang juga Fahri mengeluarkan pernyataan blunder seperti meminta KPK dibubarkan. Sikap Fahri itu bisa saja membuat masyarakat enggan memilih PKS walau menyatakan sebagai partai bersih. "Kalau statement-statement Fahri terus menyerang KPK, menyudutkan KPK, itu seakan-akan Fahri bekerja untuk yang lain," kata Adi.
Usep M. Achyar, Direktur Populi Center juga punya pendapat senada dengan Adi. Bagi Usep tidak masuknya nama Fahri di daftar caleg PKS tak jauh berbeda dengan pergantian pengurus. Ia mengatakan dari sejak presiden PKS Hilmi Aminudin, Tifatul Sembiring, Hidayat Nur Wahid, hingga Anis Matta pergantian pengurusan tidak pernah menjadi masalah bagi partai. "Pergantian itu tidak berpengaruh banyak terhadap soliditas yang ada di PKS itu," kata Usep.
Usep yakin PKS sudah melakukan sosialisasi tentang pergantian Fahri. Kader PKS yang juga tergolong terdidik tentu akan memahami dan mengikuti keputusan partai. Para kader PKS tidak akan membentuk gerombolan untuk membentuk aksi simpati kepada Fahri atau PKS tandingan. Apalagi, kata Usep, partai yang dipimpin Sohibul Iman itu memiliki pemilih mayoritas yang loyal.
Usep mencontohkan kisah Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Jabar. Dalam Pilkada Jabar saat pemenangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf di tahun 2008, pasangan yang diusung PKS-Demokrat itu berhasil mengalahkan pasangan Agum Gumelar-Nu'man Abdul Hakim yang didukung 7 partai. Aher-Dede berhasil mengungguli suara hingga 1 juta lebih dari pasangan Agum Gumelar-Nu'man. Padahal, Nu'man merupakan petahana Wakil Gubernur Jawa Barat. Dalam Pilkada DKI Jakarta, pasangan yang diusung PKS Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno berhasil menghadapi pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat. Padahal, Basuki-Djarot mempunyai tingkat elektabilitas hingga di atas 50 persen. Kisah kemenangan PKS menandakan kuatnya sistem di PKS.
Usep mengingatkan, PKS tidak hanya menyiapkan kader pengganti Fahri. Mereka juga harus menyiapkan kader kedua untuk bisa merebut kursi DPR di NTB. Hal ini karena kursi DPR NTB naik dari 10 kursi menjadi 11 kursi.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan nama Fahri masih mungkin menjadi caleg PKS apabila ada putusan pengadilan yang bersifat tetap dan mengikat tentang pembatalan pemecatan Fahri sebagai kader partai. "Jika sudah berkekuatan tetap dan misal proses peradilan memenangkan Pak Fahri, tentu beliau berhak untuk mendapatkan haknya baik mencalonkan atau dicalonkan," kata Mardani saat dihubungi Tirto.
Sampai saat ini, status Fahri dianggap sebagai status quo. Hal itu terjadi karena masih ada perbedaan tafsir antara partai dan Fahri dalam pemecatan pria berumur 46 tahun itu. Selama status hukum belum inkracht, DPP PKS tetap memastikan pria yang menjadi Wakil Ketua DPR sejak tahun 2014 itu bukan lagi kader partai. Keputusan tersebut akan diperkuat bila pengadilan memenangkan DPP PKS. "Jika keputusan peradilan memenangkan partai, maka keputusan partai yang akan dijalankan," kata Mardani.
Mardani mengaku, PKS tidak takut kehilangan Fahri. Ia mengingatkan, kesuksesan Fahri melenggang ke Senayan dengan 125 ribu lebih suara tidak hanya faktor figur, tetapi juga faktor kerja kader. Mereka pun tidak masalah akan kehilangan suara di NTB karena semua merupakan ketentuan partai. "Kalau sudah keputusan partai, kita semua taat dan yakin dengan kebersamaan kami," kata Mardani.
Sampai saat ini, Mardani belum mengetahui siapa nama kader yang akan menggantikan Fahri bila Wakil Ketua DPR itu tidak maju lagi dalam Pileg 2019. Ia belum mendapat informasi siapa nama pengganti Fahri.
"Saya belum cek siapa yang dimasukkan di NTB," kata Mardani.
Fahri menilai pemecatan dirinya dan penghapusan namanya dari caleg PKS sebagai konsekuensi berpartai. "Buat saya, apa yang saya alami sekarang ini harus jadi pelajaran besar bagi kita, terutama teman teman di PKS tentang arti kita berpartai," kata Fahri.
Anggota DPR RI Dapil Nusa Tenggara Barat ini memang saat ini masih berkonflik dengan PKS. Statusnya di PKS masih dipecat meskipun dalam dua keputusan pengadilan, PN Jaksel pada 2016 dan Pengadilan Ttinggi DKI Jakarta pada 2017 telah memenangkannya. Alih-alih menyerah, DPP PKS justru akan mengajukan kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan tetap keukeuh mencopot Fahri dari posisi wakil ketua DPR.
Meski begitu Fahri hingga saat ini masih bersetia dengan PKS. Ia mengaku tetap akan menjadi kader PKS apa pun statusnya, meskipun klaimnya Golkar, PDIP, Gerindra, Nasdem, PAN, dan Hanura pernah menawarinya untuk menjadi kader.
Fahri beralasan keputusannya bertahan untuk membesarkan PKS sesuai dengan dasar ideologi partai berlambang bulan dan kapas tersebut. "Niat saya kan ingin partai itu pimpinannya mau berdiskusi jangan otoriter, jangan bertindak tidak adil karena nama partainya partai keadilan," kata Fahri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Jay Akbar