tirto.id - Pimpinan DPR memastikan akan membahas surat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait pergantian Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR setelah masa reses. Sebelumnya, surat bernomor 09/EXT-FPKS/DPRRI/XII/2017 perihal pencopotan politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu telah dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR, pada Senin, 11 Desember lalu.
Dua Pimpinan DPR RI, Fadli Zon dan Agus Hermanto memastikan pihaknya akan membahas surat tersebut sesuai dengan mekanisme pergantian Pimpinan DPR yang diatur dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) dan Peraturan DPR RI No 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Jika mengacu pada dua aturan tersebut, surat permohonan Fraksi PKS untuk mengganti Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua DPR, serta mencopotnya sebagai anggota legislatif dapat diproses. Pasal 87 ayat (1) UU MD3 dan Pasal 34 Tata Tertib DPR, misalnya, mengatur bahwa pimpinan DPR dapat berhenti dari jabatannya dengan tiga cara, salah satunya karena diberhentikan.
Turunan dari pemberhentian ini dijelaskan secara rinci dalam poin-poin pada Pasal 87 ayat (2) UU MD3. Salah satunya, Pimpinan DPR dapat diberhentikan apabila partai politik sesuai dengan perundang-undangan mengusulkan pergantian tersebut.
Atau bisa juga “ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya,” demikian bunyi poin e Pasal 87 ayat (2) UU MD3.
“Saya mengharapkan keputusan ini akan membuka mata para pimpinan PKS sekarang bahwa cara mereka melihat persoalan hukum itu keliru. Kader bukan hak milik,” kata Fahri, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis kemarin.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti memberikan catatan khusus terkait polemik upaya pergantian Fahri Hamzah sebagai pimpinan DPR. Perempuan yang pernah menjadi Staf Ahli untuk Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2007 ini mengatakan, kasus ini cukup pelik karena ada dua hal yang harus dilihat.
Di satu sisi, kata Bivitri, ada UU MD3 yang secara jelas mengatur soal kewenangan partai politik dalam pergantian Pimpinan DPR. Akan tetapi, di sisi lain ada putusan pengadilan PN Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengabulkan tuntutan Fahri Hamzah kepada DPP PKS.
Karena itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) periode 2003-2007 ini menyarankan agar melihatnya dari aspek ketatanegaraan yang lebih luas. “Seharusnya ini adalah ranah politik yang tidak bisa begitu saja dilihat dalam konteks kesalahan prosedural, seperti yang diperkarakan di pengadilan,” kata Bivitri kepada Tirto, pada Jumat (15/12/2017).
Menurut Bivitri, dari aspek "moral politik" seharunya Fahri Hamzah tidak “ngotot” mempertahankan posisinya sebagai Wakil Ketua DPR. Bivitri beralasan, secara ketatanegaraan, Fahri Hamzah menjadi pimpinan DPR karena mewakili partainya.
“Ini terkait dengan sistem pemilihan kita yang proporsional,” kata dia.
“Jadi dalam logika ketatanegaraan, dia [Fahri Hamzah] harus menerima keputusan partai. Tapi memang ada loophole [celah] dalam hukum yang bisa dia manfaatkan seperti sekarang ini,” kata Pengajar Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini menambahkan.
Namun demikian, kata Bivitri, karena masih ada proses kasasi yang diajukan Fraksi PKS, sebaiknya Pimpinan DPR menunggu terlebih dahulu untuk memproses pergantian Fahri. Hal ini mengacu pada Pasal 15 ayat (1) dan (2) Tata Tertib DPR.
“Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf g dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” demikian Pasal 15 ayat (1) Tata Tertib DPR.
Sementara Pasal 15 ayat (2) berbunyi “Dalam hal belum ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR tidak menindaklanjuti usulan partai politik atas pemberhentian anggota kepada Presiden.”
Konflik PKS dengan Fahri Hamzah ini berawal dari evaluasi Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) PKS terhadap kinerja Fahri sebagai pimpinan DPR setelah beberapa kader PKS mengadu merasa terganggu atas sikap Fahri yang dinilai cenderung membela politikus Golkar Setya Novanto selama tersandung kasus "Papa minta saham". Mereka mendesak Fahri agar mundur dari posisi wakil ketua DPR.
Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini saat itu sempat menegur Fahri agar tidak terlalu banyak berkomentar di media. Namun, Fahri Hamzah berdalih sebuah stasiun televisi swasta terus mengulang pernyataannya, padahal dia sudah diam.
Namun, konflik kembali berlanjut setelah Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016 memutuskan memecat Fahri Hamzah dari seluruh jenjang jabatan di kepartaian. Pada 1 April 2016, Presiden PKS Sohibul Iman menandatangani SK DPP terkait keputusan Majelis Tahkim tersebut.
Fahri Hamzah tidak terima atas keputusan PKS, lalu melawan lewat jalur hukum. Ia menuntut PKS ke PN Jaksel agar membayar ganti rugi materiil Rp1,6 juta dan imateriil senilai lebih dari Rp500 miliar. Fahri juga menuntut PKS untuk mengembalikan nama baiknya.
Kemudian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian mengabulkan tuntutan Fahri Hamzah kepada DPP PKS. “Dengan ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sementara permohonan penggugat,” kata Ketua Majelis Hakim Made Sutrisna di ruang sidang V, Jakarta Selatan, Senin (16/5/2016).
Atas putusan itu, kata Made, untuk sementara, posisi Fahri Hamzah akan dikembalikan sebagai kader PKS dan tetap menjalani tugasnya sebagai Wakil Ketua DPR RI. “Ya, sekarang untuk putusannya memulihkan sementara penggugat (Fahri Hamzah) sebagai kader PKS sampai putusan inkracht,” kata Made.
Sementara itu, Ketua Bidang Hukum DPP PKS, Zainudin Paru bersikukuh bahwa Fahri harus mundur dari jabatan wakil ketua DPR. Sebab, menurutnya, sesuai UU MD3 PKS berhak melakukan itu. “Sebenarnya pimpinan tidak ada alasan untuk tidak memproses surat kami. UU MD3 harus dipatuhi, dong,” kata Zainudin melalui telepon, Jumat (15/12/2017).
Zainudin pun menyatakan apabila Pimpinan DPR tidak memproses, maka menyalahi UU MD3. Sebab, menurutnya, antara proses hukum dan mekanisme di DPR berbeda. “Kalau di DPR dasarnya adalah partai. UU MD3 bilang kalau partai meminta ganti, ya dia berhenti," kata Zainudin.
Fraksi PKS mengirimkan surat ke Pimpinan DPR untuk mengganti Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR pada Senin (11/12/2017) lalu. Surat itu kemudian dibacakan di Paripurna DPR di hari yang sama. Dalam surat itu dikatakan Fahri akan diganti dengan Leidia Hanifa.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani