tirto.id - Trah Cendana berupaya muncul kembali untuk merebut kekuasaan. Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto digadang-gadang menjadi calon presiden 2019-2024.
Sejauh ini sudah ada Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo) yang bersedia mengusung Tommy. Parsindo menjadi partai yang didirikan untuk mendukung Tommy. Hal ini terpampang dalam profil singkat Parsindo dalam situsweb resminya. Ketika Tommy dituding menjadi donatur makar terhadap Presiden Jokowi, Parsindo buru-buru membentenginya.
Parsindo masih terus berkonsolidasi dengan Partai Beringin Karya (Berkarya) untuk memperbesar dukungan kepada Tommy. Pada Partai Berkarya, Tommy menjadi ketua dewan pembina partai. Hingga kini tak jelas statusnya apakah masih menjadi kader Partai Golkar. Kiprah terakhir Tommy di Golkar saat urung mencalonkan diri menjadi ketua umum pada Munaslub Bali 2016.
Meski hampir tak pernah menyampaikan pendapatnya secara langsung melalui media, Tommy perlahan melakukan upaya safari. Awalnya Tommy muncul di Peringatan HUT ke-63 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, yang berlangsung meriah pada Rabu, 29 April 2015.
Tommy duduk di bangku undangan berjajar dengan Guruh Soekarnoputra. Kala itu petinggi militer yang hadir di antaranya Panglima TNI Jenderal Moeldoko, KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Danjen Kopassus Mayjend Doni Monardo.
Belakangan trah Soeharto semakin berani unjuk diri. Sabtu kemarin, 11 Maret 2017, Tommy dan kakak perempuannya, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, menghadiri peringatan ke-51 Supersemar. Agenda yang bertujuan mengenang dan memuja Orde Baru ini dihadiri pula oleh Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra dan mantan suami Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.
Ada pula calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang lolos putaran II, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, serta Djarot Saiful Hidayat yang pulang dengan lontaran kecaman dari beberapa peserta peringatan di Masjid At-Tin, Jakarta Timur itu. Beberapa tokoh juga hadir di antaranya Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar, dan Rizieq Shihab.
Di balik kemunculan Tommy, ada segudang permasalahan hukum yang sempat menjeratnya. Putra bungsu Soeharto ini mendekam di penjara lebih dari 5 tahun.
Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Puri Kencana Putri, berpendapat bahwa pejabat publik seharusnya orang yang memiliki rekam jejak bersih. Sedangkan masa lalu Tommy sudah cemar.
“Tommy Soeharto dengan rekam jejak yang panjang: korupsi, terlibat pembunuhan yang nuansanya politik, namanya juga berbahaya. Artinya, track record-nya tidak bersih," kata Puri.
"Belum lagi kejahatan-kejahatan keluarga besar Soeharto yang tidak hanya pelanggaran HAM serius, tapi juga kejahatan-kejahatan model BLBI, korupsi, pengemplang pajak, dan sebagainya. Meskipun Tommy seakan cuci tangan dengan ikut tax amnesty,” tambah Puri.
Puri menilai, belakangan trah Soeharto semakin berani unjuk diri di lingkar politik. Ia menyebutnya sebagai nostalgia Orde Baru. Wujudnya beragam, dari menjaring agenda keagamaan hingga manipulasi kesadaran generasi muda berupa mitos gelap bahwa Orde Baru mewakili zaman emas.
“Padahal Indonesia memiliki sejarah kediktatoran panjang, otoritarianisme yang khas, perpaduan kroni keluarga dan kekuatan kelompok militer. Harus ada upaya negara untuk menjamin bahwa kejahatan yang dilakukan keluarga besar Cendana tidak akan terulang di hari ini dan masa depan. Kita tidak mau pencapaian 19 tahun reformasi nanti dibajak dengan nostalgia Orde Baru,” ungkap Puri.
Tommy Membunuh Hakim Agung
Memang Tommy memiliki sisi gelap di masa lalunya. Dia tergolong gemar bermain dengan hukum Indonesia. Perusahaannya sempat terlibat persoalan korupsi. Kala itu sehari setelah terpilih sebagai Kepala Bulog, Beddu Amang membuat MoU dengan PT Goro Batara Sakti (GBS).
Tommy merupakan komisaris utama PT GBS sebagai pemilik saham 80 persen. Sementara Ricardo Gelael menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut yang mengantongi saham 20 persen. Mereka terlibat perjanian tukar guling atau ruislag dengan Bulog pada 17 Februari 1995 silam.
Lahan milik Bulog berupa bidang tanah, gedung, kantor, dan gudang di Kompleks Pergudangan Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Lahan seluas sekitar 50 hektar tersebut akan ditukarkan dengan lahan seluas sekitar 125 hektar di kawasan Marunda, Jakarta Utara berupa rawa-rawa yang disiapkan Tommy. Kasus tersebut muncul ke permukaan setelah diketahui tak ada proses lelang, melainkan melalui penunjukkan langsung atas kuasa ayah Tommy. Diperkirakan ada kerugian negara sebesar Rp 9,5 miliar atas kasus ruislag itu.
Semula di pengadilan tingkat pertama, yaitu PN Jakarta Selatan Beddu, Tommy, dan Gelael divonis bebas, pada 19 April 1999. Sebabnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Soehardjono batal demi hukum, karena tidak lengkap, tidak jelas, dan disusun secara tidak cermat.
Tapi perkara tak selesai sampai di situ. Jaksa meminta banding dan di tingkat kasasi MA Tommy divonis bersalah. Ketua Majelis Hakim saat itu, Syaifuddin Kartasasmita, menjatuhkan hukuman berupa wajib bayar ganti rugi Rp 30 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara, pada 22 September 2000 silam.
Namun bukannya langsung ditahan, Tommy justru bebas bertemu Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 5 Oktober 2000. Keduanya bertemu kembali pada 31 Oktober 2000 di Hotel Regent, Jakarta. Hal tersebut dia lakukan untuk melobi agar mantan presiden yang akrab dipanggil Gus Dur menerima permohonan grasinya. Sambil lalu, Tommy juga berupaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. PK Tommy dikabulkan oleh MA pada 1 Oktober 2001, ia dinyatakan tidak bersalah dalam kasus tukar guling.
Perintah Tembak Tommy di Tempat
Sebelum PK Tommy dikabulkan MA, ia sudah lebih dulu mengajukan grasi kepada Presiden Gus Dur. Namun Gus Dur menolak permohonan grasi Tommy melalui Keputusan Presiden Nomor 176/G/2000 yang dirilis pada 3 November 2000. Inilah situasi yang membuat Tommy akhirnya kabur.
Hingga pada 10 November 2000, Polri melayangkan surat ke Interpol meminta bantuan mencari Tommy. Sedangkan Polda Metro Jaya membentuk tim khusus pemburu Tommy, bernama Tim Kobra yang diketuai Tito Karnavian yang kini menjadi Kapolri.
Misteri keberadaan Tommy tak kunjung terjawab. Malah hakim Agung Syarifuddin yang mengadili perkaranya ditemukan tewas dibunuh dengan senjata api, pada 26 Juli 2001. Saat digeledah pada 6 Agustus 2001, di rumah Tommy ditemukan senjata api, bahan peledak, dan dinamit. Polda Metro Jaya lantas menetapkan Tommy sebagai tersangka pembunuh Syafiuddin yang saat itu sedang menjabat sebagai Hakim Agung MA.
Kasus pembunuhan tersebut mulai muncul titik terang setelah Mulawarman dan Noval Hadad, dua tersangka penembak Hakim Agung Syafiuddin ditangkap. Keduanya mengaku membunuh atas perintah Tommy. Dua hari setelahnya, yakni 9 Agustus 2001, jangka waktu agar Tommy segera menyerahkan diri telah habis. Polda Metro Jaya mengumumkan perintah tembak di tempat jika memergoki Tommy.
Pada 15 September 2001, Kapolda Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb berunding dengan Siti Hardiyanti Hastuti di Rumah Cendana. Hingga pihak kepolisian membongkar lantai rumah Tommy di Jalan Cendana 12, Jakarta. Saat itu diketahui ada bunker berukuran 4x4 dengan kedalaman 3 meter di bawah lantai tersebut. Tapi Tommy tak sedang bersembunyi di bunker itu.
Setelah menjadi buronan selama 1 tahun lebih 22 hari, pencarian Tommy berakhir ketika polisi menyergapnya di sebuah rumah Jalan Maleo II No.9, Bintaro Jaya, Tangerang. Pada 28 November 2001, Tommy ditangkap saat tengah tertidur lelap.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya memvonis Tommy 15 tahun penjara. Sebab Tommy terbukti memiliki senjata api, memiliki amunisi, membunuh Hakim Agung Syafiudin, serta melarikan diri dari jerat hukum. Tapi pada Juni 2005, MA memangkas hukuman Tommy dari 15 menjadi 10 tahun.
Setahun setelahnya, tepatnya pada Oktober 2006, Tommy dihadiahi remisi 31 bulan. Hukuman 10 tahun yang seharusnya akan diselesaikan pada tahun 2011, ternyata didiskon lagi. Belum genap sampai 6 tahun dibui, Tommy bebas bersyarat dari masa tahanan, pada 30 Oktober 2006.
Mustahil Tommy Menjadi Presiden
Siapa pun berhak bermimpi menjadi presiden. Tetapi khusus bagi Tommy, atau para pendukungnya, mimpi menjadi presiden tampaknya harus dikubur sejak jauh-jauh hari. Ada banyak syarat yang mesti dipenuhi bagi siapa pun yang ingin menjadi presiden, dan Tommy tidak memenuhi syarat itu.
Pada 2003, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 6 dalam UU itu memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh siapa pun yang ingin mencalonkan diri. Ada 20 syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah: tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Syarat-syarat itulah yang sudah pasti akan mengganjal peluang Tommy menjadi presiden atau wakil presiden. Sebesar apa pun hasrat dan dukungan yang ia miliki, Tommy tidak memenuhi persyaratan di atas.
Ia pernah divonis bersalah bersalah 15 tahun (kemudian dikurangi menjadi 10 tahun) dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Fakta hukum itu membuatnya gagal memenuhi syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara lebih dari lima tahun. Syarat yang sudah tepat karena akan sangat menyedihkan jika negara dipimpin oleh seorang kriminil.
Selama UU Nomer 23 tahun 2003 tidak diamandemen, atau "direvisi" oleh Mahkamah Kontitusi, pintu menuju Istana Negara sudah tertutup rapat bagi Sang Putra Cendana.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS