tirto.id - Mugiyanto tersenyum. Wajahnya datar ketika mendengar bahwa empat perwira anggota Tim Mawar yang dulu menculiknya, kini telah menjadi jenderal. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini aktif di Infid (International NGO Forum on Indonesian Development ) itu mengaku tak kaget.
“Sebenarnya saya tidak kaget dengan kenaikan pangkat yang mereka alami. Mengapa tidak heran dan kaget? Karena dari awal pengadilan militer yang menghukum Tim Mawar bukan benar-benar pengadilan yang fair dan terbuka,” kata Mugiyanto kepada tirto.id, saat ditemui di Komnas Perempuan, pada Kamis (25/8/2016).
Mugiyanto diculik di Rumah Susun Klender, pada 13 Maret 1998. Ia adalah satu dari sembilan korban penculikan yang dilepaskan. Mereka adalah Desmond J Mahesa, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugiyanto, Andi Arief, dan Haryanto Taslam (alm).
Menurut Mugiyanto, Pengadilan Militer bukanlah tempat yang tepat untuk mengadili kasus pelanggaran HAM. “Bahkan informasi yang kami dapat, mereka yang divonis 22 bulan atau 24 bulan tidak benar-benar menjalani hukumannya di penjara,” ujarnya.
Mugiyanto memang sudah menduga sejak awal, jika pengungkapan pelaku penculikan para aktivis 1998 tidak dilakukan dengan serius. Apalagi putusan vonis Pengadilan Militer kala itu benar-benar tak sesuai dengan yang diharapkan banyak orang. Termasuk soal dalang penculikan yang belum pernah diadili. Mereka hanya menjalani proses peradilan di Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Terkait penculiknya, Mugi bahkan mengetahui bahwa Fausani Syahrial Multhazar pernah menjadi Komandan Kodim di Jepara, Jawa Tengah. Hal yang paling dia ingat adalah sosok Djaka Budi Utama. Perwira Akmil angkatan 1990 itu, katanya, pernah menjabat Komandan Korem di Aceh.
Ingatannya memang masih sangat kuat terhadap sosok Djaka. Pada saat terjadi penculikan, Mugi dibawa ke Kormil. “Pada awalnya Djaka itu saya kira juga korban salah tangkap. Dia duduk di sebelah kanan saya dan langsung diinterogasi. Djaka marah-marah karena ditangkap. Dia mengaku tidak tahu apa-apa. Saya harus dilepaskan, jika tidak, saya akan lapor ke keluarga saya pimpinan ABRI,” kata Djaka.
Mendengar jawaban tersebut, Jaka langsung ditendang oleh penyidik. “Setelah melalui proses itu, saya baru tahu kalau berbagai satuan memperebutkan saya, tetapi yang mendapatkan saya adalah Djaka Budi Utama,” kata Mugi.
Menolak Berhubungan dengan Tim Mawar
Sebagai mantan korban penculikan, Mugiyanto menolak berhubungan dengan para penculiknya. Jika beberapa aktivis lain memilih “berdamai” dengan bergabung dan berkawan dengan para penculik, Mugiyanto tetap enggan berkomunikasi atau diajak berkomunikasi dengan mereka. Sejak dibebaskan, dia mengaku belum pernah ditemui atau ada bekas anggota Tim Mawar yang mencoba menghubunginya.
“Sejak saya diculik dan dilepaskan tahun 1998, salah satu hal yang saya lakukan adalah sebisa mungkin menutup peluang untuk dihubungi atau berkomunikasi. Apalagi bekerja sama dengan mereka,” ujarnya.
Menurutnya, ada dua kemungkinan yang terjadi jika membuka komunikasi. Pertama, dia khawatir ada iming-iming. Kedua, ancaman. Ia khawatir jika upaya terus mempertanyakan keberadaan 13 aktivis prodemokrasi yang masih hilang bakal sia-sia. Sebab, kemungkinan besar mereka bisa meminta untuk menghentikan pencarian para korban penculikan.
Sebenarnya hingga kini, sebanyak 13 aktivis prodemokrasi korban penculikan lainnya memang tidak diketahui keberadaannya. Mereka adalah Wiji Thukul, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
“Berdamai” dengan Penculik
Jika Mugiyanto lebih memilih mendampingi para keluarga korban penghilangan paksa, beberapa dari sembilan korban penculikan memilih jalan berbeda. Sebut saja Desmon Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, (alm) Haryanto Taslam, Aan Rusdianto, juga Andi Arief.
Desmond J Mahesa, pria kelahiran Banjarmasin itu saat diculik 18 tahun lalu menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara. Setelah sempat malang-melintang sebagai pengacara profesional pasca reformasi, kini Desmond menjadi politisi.
Desmod menjadi anggota DPR dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan Prabowo Subianto. Kini, Desmond duduk di Komisi III DPR. Karir politiknya dimulai dengan menjadi menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Dan berlanjut hingga kini.
Selanjutnya Pius Lustrilanang yang pernah membuat pengakuan di depan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebelum kemudian terbang ke Belanda. Kini, lelaki berkuit hitam dan berambut tipis itu juga dikenal sebagai politisi Partai Gerindra.
Tidak hanya Pius dan Desmond yang merapat ke Partai Gerindra, mendiang Haryanto Taslam dan Aan Rusdianto juga bergabung dengan Gerindra. Saat diculik, Hartas --panggilan akrabnya-- adalah Wakil Sekretariat Jenderal DPP PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri. Pascareformasi, Hartas menjadi anggota DPR periode 1999-2004 dari PDI Perjuangan.
Pada 2009, Hartas memilih meninggalkan PDIP dan bergabung dengan Partai Gerindra. Pada 2012, Hartas menjadi Dewan Pembina di partai besutan Prabowo Subianto itu. Kepindahannya ke Gerindra sempat menjadi perbincangan hangat, apalagi Hartas sebelumnya dikenal bermusuhan dengan Prabowo.
Aan Rusdianto, mantan aktivis PRD itu, juga memilih bergabung dengan Partai Gerindra. Pada Pemilu 2014, Aan maju sebagai caleg dari Partai Gerindra untuk daerah pemilihan Jawa Tengah IX dengan nomor urut 2. Namun belakangan emilih mundur dari Partai Gerindra dan saat ini menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Internal Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Sementara Andi Arief, memilih merapat ke Partai Demokrat dan pernah menjabat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Andi diculik oleh anggota Kopassus sebagai Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Pada Pilpres 2014, Andi mendukung Prabowo Subianto.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti