tirto.id - Perlunya revisi UU Peradilan Militer dilontarkan oleh Al Araf, peneliti militer dari Imparsial. “Peradilan militer justru sering sekali menjadi sarana impunitas. Maka wajar jika mereka yang pernah sidang di peradilan militer justru mendapat ruang baru dalam promosi dan karier,” katanya kepada Reja Hidayat dari tirto.id, pada Minggu (21/8/2016).
Lalu bagaimana agar revisi terhadap UU Peradilan Militer bisa segera dilakukan? Bagaimana seharusnya Panglima TNI memberikan promosi bagi para ptrajuritnya? Berikut wawancaranya:
Mengapa seorang prajruit TNI yang pernah 'bermasalah' di masa lalu masih bisa terus berkarier?
Sebab memang sistem peradilan militer belum bisa memberikan keadilan dalam menghukum seorang pelaku yang melakukan tindak pidana. Peradilan militer justru sering sekali menjadi sarana impunitas. Maka wajar jika mereka yang pernah sidang di peradilan militer justru mendapat ruang baru dalam promosi dan karier.
Jadi apa hal penting terkait peradilan militer?
Permasalahan utama kita adalah bagaimana mereformasi peradilan militer. Melalui revisi UU nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kita berharap agar di masa datang mereka-mereka yang terlibat pelanggaran HAM dihukum melalui mekanisme peradilan yang adil dan benar. Pangkal persoalannya ada di situ, revisi peradilan militer yang belum tuntas.
Apakah tidak ada peraturan yang mengatur jenjang karier bagi prajurit yang terbukti bersalah?
Seharusnya pimpinan TNI bisa menilai bahwa orang yang pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM atau dugaan korupsi, tidak layak dipromosikan dalam jabatan-jabatan strategis. Sudah sepantasnya mereka yang berkarier dan dapat promosi adalah mereka-mereka yang punya prestasi baik dan tidak memiliki persoalan dengan kasus kekerasan, pelanggaran HAM dan korupsi.
Sepertinya proses peradilan dan pelaksanaan hukuman menjadi tidak transparan?
Iya, itu juga persoalan dari sistem peradilan militer kita. Memang tidak memberi ruang transparansi dan akuntabilitas yang baik, sehingga mereka yang dihukum di peradilan militer cenderung hukumannya tidak dirasakan berkeadilan bagi korban. Ini yang menjadi persoalan.
Lalu mereka yang pernah melakukan kekerasan, sering kali mendapatkan promosi dan reward. Tetapi semua itu, sekali lagi, disebabkan sistem peradilan militer yang belum berubah. Makanya perlu diubah melalui revisi UU Nomor 31 tahun 1997. Kemudian persoalan sistem promosi seharusnya menghormati persoalan HAM
Apakah pemberian promosi di luar struktur resmi TNI dibolehkan?
Boleh-boleh saja karena BIN masih ada hubungannya dengan TNI. Tapi secara etik tidak baik. Mereka yang pernah dihukum, tidak sepantasnya mendapat promosi dari pimpinan.
Mengapa keempat anggota Tim Mawar tetap bisa meniti karier dan bahkan menjadi jenderal?
Itu ada dua problem. Pertama dari sisi peradilan militer menjadi impunitas. Kedua, karena sistem promosi dan adil belum secara penuh menghormati nilai-nilai HAM. Bahkan kariernya bisa lebih cepat dari teman seangkatannya.
Menurut Anda bagaimana solusi agar peradilan militer bisa memberi keadilan bagi korban?
Solusi pertama, DPR sesegera mungkin melakukan revisi UU Nomor 31 tahun 1997. Dengan reformasi peradilan militer itulah, kita bisa menghukum mereka yang pernah melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM. Perubahan sistem peradilan militer secepat mungkin dilakukan, sehingga mereka tidak mendapatkan promosi ketika sudah mendapat hukuman. Sama halnya seperti sistem peradilan umum.
Kedua, pemerintah juga harus menyamakan langkah dengan DPR untuk merefomasi peradilan militer. Kemudian, Presiden bisa meminta kepada Panglima TNI untuk tidak merekomendasikan anggotanya yang terlibat kekerasan, pelanggaran HAM dan dugaan korupsi untuk tidak dipromosi demi kehormatan Indonesia.
Siapa yang bisa diharapkan segera dilakukan reformasi dunia peradilan?
Semua ada di tangan presiden.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho