tirto.id - Hari ini, 23 tahun lalu, aku tiba di Semarang setelah menempuh perjalanan semalam penuh dari Jakarta menggunakan bus. Aku turun di Tambak Haji, di daerah Mangkang. Sesuai pesan kawan-kawan, aku dilarang langsung memasuki Kota Semarang.
Tambak Haji terletak di antara perbatasan Kota Kendal dan Semarang. Daerah ini konsentrasi pabrik, basis utama pengorganisasian Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) cabang Semarang.
Sambil menunggu jemputan kurir, aku mampir di sebuah warung mi instan. Menyeruput kopi dan mengisap kretek, lamunanku mengembara saat aku masih beraktivitas di Semarang.
Teringat wajah Irmadi, Boy, Oskar, Supri, Bambang—kawan buruh yang pertama diorganisir sekitar tahun 1991 di Mangkang. Pertama kali yang mengorganisir adalah Sugeng Bahagijo dari Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Setelah berdiri Solidaritas Mahasiswa Semarang, hasil pengorganisasian Sugeng diserahkan ke kawan-kawan Semarang. Ignatius Pranowo alias Wowok adalah salah satu kader mahasiswa di Solidaritas yang diterjunkan ke basis buruh. Wowok adalah mahasiswa IKIP PGRI Semarang, pengelola majalah mahasiswa Vokal.
Tak banyak mahasiswa yang mau ditempatkan di basis buruh karena enggan tercerabut dari kampus. Salah satu syarat menjadi organiser buruh harus fokus ke basis, harus setop dulu beraktivitas di kampus. Tujuannya melindungi basis pengorganisasian buruh, yang harus dilakukan secara tertutup, karena masih tahap awal.
Wowok, pemuda bertubuh kecil berkacamata, mengerjakan tugasnya dengan tekun. Selain memimpin kolektif buruh Semarang, ia bertugas mengorganisir buruh pabrik di daerah Ungaran sampai kawasan industri sekitar Pabrik Jamu Jago.
PPBI berdiri pada 23 Oktober 1994 dalam Kongres Buruh di Bandungan, Jawa Tengah. Wowok dan para organiser buruh di Semarang menjadi peserta kongres itu.
Dua bulan sebelumnya, 3 Agustus 1994, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) terbentuk melalui sebuah kongres yang dihadiri Solidaritas Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Ikatan Mahasiswa Solo, Solidaritas Mahasiswa Surabaya, Solidaritas Mahasiswa Jakarta, Solidaritas Mahasiswa Salatiga, dan Solidaritas Mahasiswa Manado.
Aku terpilih menjadi pengurus pusat sebagai ketua departemen pengembangan organisasi. Kemudian, awal tahun 1995, dalam Dewan Nasional SMID di Solo, aku terpilih menjadi sekretaris jenderal.
Setelah gerakan buruh di Semarang membesar, PPBI Semarang dan SMID cabang Semarang mengusulkan Aksi Aliansi Mahasiswa dan Buruh untuk merayakan May Day (Hari Buruh Internasional). Aksinya bersifat nasional, dengan menggerakkan seluruh cabang SMID.
Aku mewakili SMID bertemu Dita Indah Sari, Ketua Umum Pusat Perjuangan Buruh Indonesia. Diputuskanlah aksi 1 Mei di Jakarta, dengan mendatangi kantor Departemen Tenaga Kerja, serta di Semarang. Isu yang kami angkat, di antara hal lain, adalah upah minimum nasional Rp7.000 per hari.
Kami berpendapat bahwa perlawanan kaum buruh adalah pondasi yang paling mungkin untuk diraih dan diorganisir dalam perjuangan demokratik. Jumlah massa yang semakin besar, kesetiaan perlawanan, dan makna strategisnya bagi perekonomian kapitalisme Orde Baru, akan membuat kaum buruh mampu menjadi benteng demokrasi di masa kini dan masa depan. Salah satu kelompok di luar PPBI yang melakukan perlawanan adalah Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Muchtar Pakpahan, Ketua SBSI, bahkan dipenjara.
Dalam persiapan aksi May Day di Semarang, aku telah membuat surat instruksi kepada semua cabang untuk melakukan mobilisasi nasional. Anggota SMID cabang harus dimobilisasi ke Semarang, satu hari menjelang aksi.
Rapat Persiapan Aksi
Di rumah Momok, sapaan Radjimo, sudah ada Bimo Petrus dan Sardiyoko dari SMID Surabaya. Ada juga kawan-kawan dari SMID Semarang: Aan Rusdianto, Ari Trismana, Dody Ardiansyah, Fransica Ria Susanti, Nurul Qoiriyah, Rivani Noer, Sulaiman Akbar, dan Wirayanti. SMID Solo diwakili Prijo Warsono dan Sindu. SMID Yogyakarta mengutus Afandi, Jayadi, Nezar Patria, dan Samsul Prihatmo. Garda Sembiring dan Ardian Fadilah mewakili Jakarta. Para organiser buruh yang datang antara lain Ignatius Pranowo, Hari Sutanta, Indah Tri Arifah, dan Yahya Gunawan.
Sekitar pukul dua siang, kami mulai rapat. Para organiser buruh di Semarang melaporkan kondisi massa yang dimobilisasi dan cara membawanya ke kampus Undip. Dari laporan ke pengurus pusat SMID dan PPBI, pengorganisasian buruh sudah disiapkan tiga bulan sebelumnya.
Ada dua kawasan industri yang digarap: kawasan Mangkang dan Semarang Barat (dari pabrik Jamu Jago sampai ke Ungaran). Di Mangkang ada beberapa pabrik: PT Wira Petra Plastindo, PT Murti Plastindo, PT Surya Indah Garmindo, PT Kreasi Plastik Utama, dan satu pabrik roti. Organisernya Irmadi, Boy, Oscar, dibantu Indah Tri Arifah dan Yahya Gunawan.
Di Semarang Barat: PT Queen Ceramic Setiabudi, sebuah pabrik plastik di seberang Markas Kodam VII/Diponegoro (kini berganti Kodam IV), dan perkampungan buruh di sekitar Markas Brimob Semarang. Organisernya Ignatius Pranowo, Rivani Noer, Hari Sutanta, Bambang, dan Jemek.
“Kami kekurangan kurir yang akan mendampingi buruh menuju kampus. Kendala lain tidak semua buruh memahami tempat start awal di Fakultas Sastra Undip. Agar tak tersesat, sebaiknya ada beberapa titik kumpul yang mudah dikenali buruh. Mereka akan menunggu di titik tersebut untuk bergabung dengan barisan massa yang akan melewati mereka,” ujar Ignatius Pranowo alias Wowok.
Forum rapat menunjuk Ari Trismana bertugas di titik kumpul di Jalan Airlangga. Aan Rusdianto ditunjuk menjadi kurir di titik Matahari Mall di Simpang Lima, jantung Kota Semarang.
Aku menjelaskan bahwa aparat akan melakukan kekerasan untuk menghentikan aksi karena kita berani mengambil tema peringatan hari buruh sedunia. Belum pernah sekalipun hari buruh sedunia diperingati sejak Soeharto berkuasa.
Rezim Orde Baru mengharamkan peringatan 1 Mei dan selalu berpropaganda bahwa Hari Buruh 1 Mei "berbau komunis." Gantinya, Presiden Soeharto menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional sejak 1973, merujuk pada hari lahir Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), wadah tunggal bagi organisasi buruh di masa Orde Baru—sebagaimana pemerintah Soeharto membuat saluran tunggal lain pada banyak organisasi politik dan profesi.
“Selain akan dituduh komunis, aksi reli ini akan mengundang sikap represif aparat,” ujarku.
Kami memutuskan bahwa Lukman Hakim, pengurus pusat PPBI, dan Aan Rusdianto harus siap menghadapi hal paling buruk. Bila ada peserta aksi yang tertangkap, demi perlindungan, mereka harus mengatakan penanggung jawab utama aksi adalah Sekjen SMID. Kartu identitas harus ditinggal, dan harus memakai nama palsu.
Perangkat keamanan akan dikoordinasi oleh Sulaiman Akbar, dibantu kurir dalam dan kurir luar. Yang harus selamat untuk nantinya melanjutkan kepemimpinan SMID di Jakarta adalah Nurul Qoiriyah (Ketua SMID Semarang) dan Andi Arief (Ketua SMID Yogyakarta).
Nezar Patria dan Wirayanti bertugas membuat catatan kronologi peristiwa bila aksi berujung kekerasan, untuk disampaikan ke sejumlah pihak termasuk ke kantor redaksi media massa. Mereka tidak boleh bergabung dalam barisan massa.
Fransisca Ria Susanti dan Rivani Noer juga harus di luar barisan massa, dengan tugas utama membagi rilis kepada awak media.
Peringatan: 1 Mei 1995
“Bung, lebih dari seratus buruh baru saja masuk ke kampus Sastra. Aku dan Rivani yang membawanya keluar dari pabrik,” ujar Gombloh, panggilan akrab Hari Sutanta.Teman kuliah satu angkatan pun menceritakan bahwa sejak pagi tentara sudah berjaga di depan pabrik.
“Rivani berhasil mengeluarkan seratus lebih buruh untuk ikut aksi, walau diadang dan direpresi militer. Sayangnya, yang diadang dan dicegah untuk aksi juga banyak,” ujarnya.
Ignatius Pranowo alias Wowok mengatakan sejak pagi para organiser sudah memobilisasi buruh di pabrik untuk mengikuti aksi hari ini. Beberapa di antaranya sudah tiba di Jalan Airlangga Timur dan di Jalan Ahmad Yani, dekat Simpang Lima.
Tepat pukul 10.00, Sardiyoko dari SMID Surabaya sebagai komando lapangan berseru agar para mahasiswa dan buruh segera merapat dan bersiap diri. Ia naik ke sebuah panggung dan mulai membakar semangat peserta aksi lewat pelantang suara.
Di barisan depan terbentang sejumlah spanduk dan poster. Isinya seruan: Peringatan Hari Buruh Se-dunia. Upah Minimum Nasional 7000 Sekarang Juga! Bebaskan Buruh Berorganisasi. SPSI No Way. Kami Emoh SPSI. Buruh Terisap, Rakyat Melarat. Stop Intervensi Militer dalam Kasus Perburuhan. Cabut 5 UU Politik.
Setelah keluar dari Fakultas Sastra, kami berbelok melewati Universitas Semarang menuju Jalan Airlangga Timur, yang sudah dipadati puluhan buruh. Dari sana kami menuju Jalan Ahmad Yani. Tepat di dekat Matahari Mall, Simpang Lima Semarang, kami pun berhenti dan melakukan orasi. Ratusan buruh kemudian bergabung.
“Buruh dan mahasiswa harus berjuang bersama. Bila bersatu, semakin mudah kita merebut demokrasi,” ujarku saat berorasi.
Pelantang suara lalu kuserahkan ke Bimo Petrus dan Lukman Hakim; keduanya bertugas menjadi dinamisator lapangan.
Dalam skenario aksi, 30 menit dipakai untuk orasi di Simpang Lima. Namun, tiba-tiba, barisan belakang sudah berteriak-teriak meminta agar kami segera reli.
Sulaiman Akbar sibuk mengoordinasi perangkat keamanan agar menghalau pihak di luar peserta aksi, yang berusaha merangsek ke barisan. Barisan massa sudah dibatasi dengan tali rafia.
Ketika massa bergerak, sepanjang sisi kanan barisan banyak pedagang bergerobak mengikuti kami. Jalanan lebih sepi dari biasanya. Barisan aksi tetap berjalan, meski polisi memerintahkan massa agar berhenti melalui pengeras suara.
Ketika kami memasuki Jalan Pahlawan, terlihat polisi sudah mengadang di Bundaran Air Mancur—terletak di persimpangan Jalan Pahlawan dan Jalan Imam Barjo serta Jalan Menteri Supeno.
Ada yang mengendarai motor trail, ada yang membawa pentungan. Kapoltabes Semarang saat itu, Adang Rismanto, dan Komandan Kodim 0733/Semarang saat itu, Letkol Putu Satra, memimpin anak buahnya untuk menghadang barisan massa.
Kekerasan
Rubaidah, organister tani, dan aku melakukan negosiasi dengan polisi. Sardiyoko dan para dinamisator aksi menggelar mimbar bebas, tepat di sebelah Bundaran Air Mancur, sekitar 200 meter dari kantor DPRD Jawa Tengah.
“Sebaiknya kami diberi jalan untuk lewat. Kami hanya mau menyampaikan aspirasi kepada anggota DPRD I Jateng. Setelah itu kami akan bubar,” ujarku.
Aparat keamanan bersikeras agar kami bubar saat itu. Terdengar suara Letda Imam Saputra, perwira polisi dari Poltabes Semarang melalui pengeras suara di mobil patroli, meminta kami segera membubarkan barisan.
Tiba-tiba pedagang bergerobak, yang sejak dari Simpang Lima mengikuti kami, mendorong massa paling belakang dan merebut beberapa poster. Mereka juga berusaha menarik massa keluar dari barisan. Suasana menjadi kacau. Kami terdesak ke trotoar, ke seberang Bundaran Air Mancur.
Sardiyoko berusaha menenangkan massa. Samsul Prihatmo, David Kris, Heru, dan beberapa mahasiswa lain membuat pagar hidup dengan cara bergandengan tangan agar massa tetap solid.
Di suatu tempat terdengar raungan motor trail. Dua di antaranya ditabrakkan kepada massa paling depan. Kawan-kawan kami terpental dan roboh ke jalan beraspal.
Mengabaikan kecaman kami, aparat berseragam dan berpakaian preman merangsek ke barisan massa. Dengan tongkat, mereka menghajar secara membabibuta; merebut spanduk dan poster. Terdengar tangisan dan jeritan.
Sardiyoko, yang berusaha menenangkan massa, dipukul hingga roboh kemudian ditangkap.
Bagian belakang kepala Anom Astika, ketua departemen agitasi dan propaganda SMID, terkena pukulan, tapi ia berhasil lolos dari penangkapan polisi.
Fransisca Ria Susanti, yang berada di luar barisan, berteriak histeris ketika menyaksikan polisi menginjak-injak kepala Ardian Fadilah alias Ardi. Kamera yang dibawa Ardi jatuh. Lensa lepas dari bodi kamera. Dalam keadaan pingsan, tubuh Ardi diseret lalu dinaikkan ke truk.
Ari Trismana, mahasiswa bertubuh kerempeng dan berkacamata, menendang motor trail yang mencoba menabrak barisan massa dari sisi trotoar. Tak lama ia diringkus dan diseret ke truk polisi.
Peristiwa kekerasan itu secepat kilat. Aku menyaksikan sekilas lalu aku terjatuh dan terkapar di jalan. Seorang aparat mendorong tubuhku. Belum sempat bangkit, sudah ada dua orang yang memegang kedua tanganku. Ketika berdiri, sebuah pukulan keras menghantam rahang kiriku. Aku diseret ke mobil Daihatsu Hijet, lalu diseret ke bagian depan mobil itu. Ternyata di situ sudah ada Kapoltabe Semarang Adang Rismanto.
“Kalian ini komunis. Kalian memperingati hari kemenangan komunis,” bentaknya dengan murka.
Aku berkata balik bahwa anak buahnya biadab, bertindak brutal, menabrak massa seenaknya dengan motor trail.
"Kami tidak terima,” ujarku, geram. “Kami akan membawa kasus ini ke Komnas HAM. Kami juga akan mengampanyekan kekerasan yang kalian lakukan ke dunia internasional.”
Adang Rismanto, dengan muka marah, meninggalkan aku sendirian di mobil. Lantas ia memimpin kembali operasi kekerasan yang dilancarkan anak buahnya.
Aku sempat melihat detik-detik terakhir kawan-kawan bertahan. Teriakan dan tangisan memilukan. Pukulan tongkat bertubi-tubi. Kawan-kawan yang menyelamatkan nyawa menuju kampus utama Undip.
Aku melihat Nia Damayanti berlari kencang mengejar mobil bak terbuka. Dari kejauhan, aku melihat Nia bersama David Kris, Heru, dan Icha—semuanya anggota SMID cabang Surabaya—akhirnya berhasil menumpang mobil itu, meninggalkan kejaran aparat.
Interogasi
“Aku bukan polisi yang berurusan dengan aksi mahasiswa. Aku bagian kriminal. Kalau kamu tidak diam, aku tusuk kamu! Aku tidak ada urusan dengan politik,” ancamnya.
Sejak awal interogasi, aku berkata bahwa aku yang bertanggungjawab atas aksi 1 Mei 1995.
“Silakan saya dijadikan tersangka. Lepaskan buruh yang tertangkap,” ujarku kepada dua polisi yang memeriksaku.
Proses berita acara pemeriksaan berjalan cepat karena aku lancar menjawab. Beda dari setahun lalu ketika aku tertangkap dan harus memakai nama palsu, harus berbohong. Kini, setelah Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi menyatakan diri sebagai organisasi yang terbuka dan terang-terangan melawan Soeharto, pengurus pusat harus berani pasang badan.
Saat interogasi, aku mendengar kamar sebelah gaduh. Ada suara bentakan saat Lukman Hakim tak bisa menghafalkan Pancasila. Mungkin penyidik menghajarnya.
Ketika interogasi dihentikan, Nurul Qoiriyah dan Aan Rusdianto serta pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang datang. Mereka ingin memastikan kami dalam keadaan baik.
“Kenapa kamu ke sini? Kamu menyalahi keputusan rapat. Kamu harus bersembunyi. Bila terjadi sesuatu dengan pengurus pusat, kamu yang harus menggantikan kepemimpinan kami,” ujarku dengan nada marah kepada Nurul.
Nurul menjelaskan, karena tidak ada orang, ia dan Aan terpaksa mendatangi kami di kantor Poltabes Semarang.
“LBH Semarang hanya mau datang kemari bila ada pengurus SMID Semarang yang mendampingi mereka,” ujarnya dengan tersenyum.
Setelah Nurul pergi, aku melihat Lukman Hakim berlari menuju parkiran mobil. Ia segera masuk ke mobil operasional LBH Semarang, langsung keluar areal kantor kepolisian. Mungkin, saat itu, tak ada polisi yang berjaga di ruang pemeriksaannya.
Sore hari kami dikumpulkan di aula. Ada 15 orang yang tertangkap. Afandi, Ardian Fadilah, Ari Trismana, Bimo Petrus, Garda Sembiring, Fanani (mahasiswa Sastra Undip), Rivani Noer, Sardiyoko, dan beberapa kawan buruh.
“Mengapa kamu bisa tertangkap?” ujarku kepada Rivani.
“Memang seharusnya aku tidak boleh tertangkap. Tetapi Santi (Fransisca Ria Susanti) menjerit histeris sambil memegang tanganku. Padahal setingnya kita berdua tidak saling kenal,” ucapnya dengan tawa.
“Tapi tenang, mereka tetap susah mengetahui identitasku. Sepanjang jalan menuju ke sini, aku berhasil melukai sidik jariku. Walau mereka mengambil sidik jariku, pasti kabur dan tidak akurat,” ujar Rivani.
Ardian Fadilah bercerita ketika siuman sudah dalam truk. “Karena aku mengaku wartawan foto dan kebetulan aku membawa kartu nama seorang fotografer sebuah majalah, kamera yang mereka ambil dikembalikan. Itu kameranya Santi. Bagaimana aku harus mengatakannya nanti? Kameranya rusak, dan ketika terjatuh terlihat berantakan.” Muka Ardi terlihat biru, bekas dihajar aparat.
Ari Trismana, setiba di kantor kepolisian, langsung dimasukkan ke sel bercampur tahanan kriminal. “Aku sempat diperas untuk beli makan siang. Untungnya, satu jam berikutnya Bimo Petrus ikut nyusul. Ketakutanku berkurang. Mungkin karena aku menendang motor trail, ya?”
Saat itu kami belum melihat Garda Sembiring. Kata kawan-kawan, Garda bertengkar dengan penyidik sejak pertanyaan pertama saat interogasi.
Dibebaskan
Di sana sudah ada Aan Rusdianto dan beberapa anggota Forum Komunikasi Lembaga Kemahasiswaan (FKLK), antara lain Asmono Wikan, Ikwan, dan Iswardani. Saat kami ditangkap, mereka melakukan advokasi dengan mendatangi DPRD I, bertemu dengan E. Susilo, Sekretaris Komisi E Bidang Kesra.
Mendadak muncul Nur Hidayat, Ketua Senat Mahasiwa (Sema) Undip. Dengan suara tinggi, ia memarahi anggota Forum.
“Sema Undip tidak mengakui FKLK. Jangan bawa nama kelembagaan mahasiswa Undip. Hanya ada Sema Undip sebagai institusi resmi di sini. Sema menolak kampus dijadikan tempat aksi SMID dan buruh,” kecamnya.
Sikap Sema sudah dapat kami duga. Forum Komunikasi Lembaga Kemahasiswaan baru terbentuk kemarin karena institusi kampus memang mandul. Itulah keberhasilan rezim Soeharto menerapkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kampus dilarang berpolitik secara kritis. Lembaga mahasiswa dibatasi hanya untuk menyalurkan minat dan bakat.
Sore itu juga aku baru mendengar ada penangkapan saat peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta, yang dipimpin oleh Dita Indah Sari, Ketua Umum Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI). Dita dan beberapa aktivis PPBI ditangkap setelah mendatangi Kantor Departemen Tenaga Kerja.
Sudah ada sekitar 60 buruh PPBI mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Baharudin Lopa, anggota Komnas HAM (1993-1998), menerima tuntutan kawan-kawan agar aktivis SMID dan PPBI, baik yang di Jakarta dan Semarang, segera dibebaskan.
Mereka juga mengadukan telah terjadi pelanggaran HAM dalam aksi di Semarang. Selain ditangkap, beberapa massa buruh dan mahasiswa terluka karena ditabrak motor trail, dipukul dan dihajar dengan pentungan. Beberapa di antaranya harus dirawat di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah, Semarang.
Epilog: Kejatuhan Soeharto
Mesin Orde Baru dibikin sangat represif terhadap gerakan buruh. Buruh dilarang membangun organisasinya sendiri. Hukum melarang pendirian serikat buruh. Hanya ada satu serikat buruh yang boleh berdiri, yakni Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Di luar itu, gerakan buruh dibonsai.
Buruh yang berani melawan sistem terpusat mesin Orde Baru akan menghadapi militer sejak di tingkat pabrik. Aparat militer dan paramiliter tak segan memenjarakan pimpinan serikat buruh yang dianggap ilegal dan berani melawan, seperti terjadi pada Muchtar Pakpahan karena mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Bahkan, tentara-tentara Orde Baru telah membunuh salah satu aktivis buruh perempuan yang pemberani seperti Marsinah pada 1993.
Tahun-tahun berikutnya menjelang kerontokan pemerintahan Soeharto, gerakan buruh sudah tidak dapat dibendung. Kaum buruh menemukan kawan sejatinya—gerakan mahasiswa yang progresif. Bersama-sama, kedua elemen ini saling menumbuhkan kesadaran perlawanan. Bersama-sama, mereka membangun kemampuan teknik mogok, melancarkan aksi, dan menyusun tuntutan politik sejati.
Buntutnya adalah tiga tahun kemudian. Disaksikan dan dirayakan oleh lautan massa di seluruh negeri, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Penulis: Petrus Hariyanto
Editor: Fahri Salam