tirto.id - Usai lima tahun revolusi, mulai 1950 pemerintah Indonesia berupaya membangun perekonomian nasional yang stabil. Namun, upaya ini berjalan lambat dan salah satu golongan yang terimbas adalah buruh. Persoalannya klasik, upah rendah yang sulit bagi mereka memenuhi kebutuhan harian.
Keadaan ini mendorong beberapa pemogokan buruh menuntut kenaikan upah. Pemogokan buruh yang cukup menonjol tahun itu terjadi di Pelabuhan Belawan, Sumatera Timur. Di Belawan, para buruh menuntut kenaikan upah sebesar 50 persen. Mereka juga meminta kuota beras untuk Sumatera Timur diperbanyak. Pemogokan besar menuntut kenaikan upah juga terjadi Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Menurut Puji Suwasono dalam karya skripsinya, Sarekat Buruh Islam Indonesia 1947-1960 (2002), tuntutan para buruh soal kenaikan upah akhirnya dikabulkan oleh pemerintah. Namun, aksi mogok itu membuat aktivitas bongkar muat terhenti dan menimbulkan kelangkaan barang.
“Hal tersebut telah mengakibatkan naiknya harga beras dan harga barang-barang lain. Pada bulan Januari 1950, harga barang-barang di Sumatera Timur masih sama dengan harga barang di Jakarta. Namun, setelah terjadi pemogokan, harga barang-barang menjadi lebih mahal dibandingkan dengan di Jakarta,” tulis Suwasono (hlm. 44-45).
Kejadian ini mendapat komentar negatif dari Sarekat Buruh Islam Indonesia (SBII). Bukan memperbaiki nasib, pemogokan itu disebut SBII malah membikin buruh kian susah. Secara nominal upah mereka memang naik, tapi tak ada gunanya karena harga barang juga naik, demikian pendapat SBII.
Karena itu, ketika pemerintah menerbitkan aturan larangan mogok pada Februari 1951, SBII sangat mendukungnya. Sikap SBII itu lantas dikecam oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Organisasi buruh yang punya ikatan kuat dengan PKI ini menuduh SBII sebagai pembela majikan (hlm. 51).
SBII menyerang balik kecaman SOBSI. Melalui majalah Suara Partai Masyumi edisi Maret-April 1951, pimpinan SBII menyatakan bahwa bagi orang-orang komunis, pemogokan hanyalah alat politik. Kaum komunis dianggap hanya ingin mengacau, alih-alih memperjuangkan hak.
“Jika ekonomi sudah kacau maka penderitaan rakyat akan bertambah dan stabilitas dalam negara tidak akan terwujud. Penderitaan rakyat akibat kekacauan ekonomi merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya komunisme,” kutip Suwasono dalam penelitiannya (hlm. 49).
Pertarungan Ideologis
Polarisasi semacam itu adalah hal lazim di Indonesia selama dekade 1950-an. Sumbernya tak lain adalah perbedaan ideologi. Asal-usulnya dapat ditelusuri sejak revolusi kemerdekaan.
SOBSI dibentuk pada November 1946 sebagai penggabungan dari Gabungan Sentral Buruh Vertikal (GSBV) dan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI). Sejak awal, SOBSI menyatakan bahwa gerakannya berdasarkan pada teori Marxisme. Sebagian besar pengurusnya pun adalah aktivis PKI. Kecenderungan kiri itu semakin nyata saat SOBSI terlibat dalam Pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.
Djumadi dalam Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia (2005, hlm. 23) menulis, “Peristiwa Madiun tersebut sangat memengaruhi persatuan organisasi perburuhan di Indonesia, yang berakibat terbaginya berbagai golongan dan pengotak-ngotakan organisasi buruh yang lebih parah.”
Menjelang Peristiwa Madiun, SOBSI cukup gencar mengadakan pemogokan di sekitar Surakarta. Saat itu belum ada organisasi buruh muslim yang cukup kuat. Yang berhadapan langsung dengan SOBSI adalah Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang berafiliasi dengan Masyumi.
Menurut Onghokham dalam Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965 (2009, hlm. 141) STII berperan aktif sebagai pendukung pemerintah menghadapi pemogokan SOBSI. STII cukup berhasil membendung gerakan SOBSI serta organisasi-organisasi kiri lain.
“Mereka menduduki kebun-kebun kapas, menyerang kedudukan SOBSI dan Sarbupri (sarekat-sarekat buruh kiri) dari desa-desa di sekitar Solo dan bertempur dengan laskar Lembaga Buruh Tani (LBT). Peranan STII dan Masjumi semakin diperluas dengan peristiwa-peristiwa di Madiun,” terang Onghokham.
Usai geger Madiun, barulah Masyumi melebarkan sayap di ranah perburuhan. Pada November 1948, SBII dibentuk. Tujuannya secara spesifik adalah memerangi pengaruh SOBSI.
Karenanya, teori gerakan SBII sangat bertolak belakang dari SOBSI. Iskandar Tedjasukmana dalam The Political Character of the Indonesian Trade Union Movement (2009) menjelaskan SBII menolak teori pertentangan kelas ala kaum komunis. SBII menekankan gerakannya pada kerja sama antara buruh dan majikan dalam menyelesaikan persoalan perburuhan.
“Konsepsi kerja sama buruh-majikan itu tampak sangat mirip dengan konsep ‘prinsip solidaritas’ yang diadvokasi oleh gerakan buruh religius di Eropa Barat,” tulis Iskandar (hlm. 60).
Saling Serang antara SOBSI & SBII
Penerapan atas konsep kerja sama ala SBII itu terlihat dari pilihannya mendukung larangan mogok oleh pemerintah pada 1951. Kendati demikian, dukungan itu punya latar politis juga karena yang jadi perdana menteri saat itu adalah Sukiman—pemimpin Masyumi yang jadi partai induknya.
Semasa Demokrasi Parlementer, SOBSI dan SBII termasuk dalam empat besar organisasi buruh dengan jumlah anggota terbanyak. Iskandar Tedjakusuma mencatat pada 1956, SOBSI punya 2,6 juta anggota. Sedangkan SBII sebanyak 275.000 anggota. Organisasi buruh lain yang terbesar adalah Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) dengan 735.100 anggota dan Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) dengan 94.477 anggota (hlm. 38-39).
Segera terlihat SOBSI adalah yang terbesar. Secara kuantitas barangkali SBII terlihat sulit menyaingi rival komunisnya itu. Akan tetapi, SBII bukan organisasi semenjana yang lantas kalah pamor. Sebagaimana partai induknya, Masyumi, SBII tak ragu dalam beroposisi dengan SOBSI.
Soal larangan mogok pada 1951 itu bukan satu-satunya momen SOBSI dan SBII saling serang.
Puji Suwasono mencatat pada 1955 SBII pernah mengutuk SOBSI sebagai pemeras anggotanya. Di Jambi, SBII mendapati bahwa selain dimintai iuran wajib, anggota SOBSI juga diharuskan menyetor 30 rupiah dari penghasilannya (hlm. 53).
SOBSI sekali lagi menyerang SBII secara terbuka pada September 1957. Muasalnya pernyataan pimpinan SBII Komisariat Deli Serdang, Hasyim Zakaria, ketika meresmikan SBII Kring (pengurusan tingkat desa) Sei Mencirim. Selain para buruh, manajemen perkebunan Sei Mencirim ikut hadir dalam acara peresmian itu.
Dalam acara itu Hasyim Zakaria menyatakan SBII bersedia bekerja sama dengan manajemen perkebunan. Ini ditegaskan oleh pimpinan SBII Konsulat Sumatera Utara Abdul Majid. Abdul Majid bahkan berpesan kepada para buruh agar jangan bekerja dengan menipu majikan.
Pernyataan itu dikecam oleh SOBSI. Melalui Harian Rakjat—koran resmi PKI, SOBSI menyebut bahwa pernyataan pimpinan SBII itu telah mencederai kaum buruh. Diulang pula tuduhan yang sama bahwa SBII adalah pendukung majikan (hlm. 52-53).
Perseteruan kedua organisasi ini pernah pula menimbulkan korban jiwa. Di Langsa, Aceh, seorang anggota Sarbupri—sayap SOBSI—ditangkap karena menikam dua orang buruh anggota SBII. Kasus lain terjadi di Perkebunan Parakan Salak, Sukabumi. Anggota SBII terlibat bentrokan dengan anggota Sarbupri yang merasa tersaingi. Kedua peristiwa itu terjadi pada 1951 (hlm. 57).
“Pertentangan SBII dengan SOBSI terus terjadi bersamaan pertentangan kedua induk organisasi mereka, yaitu PKI dan Partai Masyumi. Pertentangan ini berakhir tahun 1960 ketika akhirnya Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA,” tulis Puji Suwasono.
Editor: Fahri Salam