Menuju konten utama

Mei 1923: Aksi Mogok Buruh Kereta Api yang Bikin Sewot Pemerintah

Pemerintah kolonial dibikin pusing dan bertindak represif atas aksi mogok serempak buruh kereta api pada 1923.

Mei 1923: Aksi Mogok Buruh Kereta Api yang Bikin Sewot Pemerintah
Ilustrasi: Pemogokan buruh kereta api pada 1923 yang diorganisir oleh Semaoen. Tirto/Hafitz

tirto.id - Sebagai wakil Serikat Buruh Kereta Api dan Trem, alias Vereniging van Spoor‐en Tramwegpersoneel (VSTP), Thomas Najoan dan Semaoen hadir sewaktu rapat 19 Februari 1923. Tak hanya dari kalangan buruh kereta api, rapat itu dihadiri kalangan guru dari Perhimpoenan Goeroe Hindia Belanda (PGHB).

Rapat membahas kenaikan upah buruh. Mereka menolak upah murah yang ditetapkan pemerintah kolonial. Sikap ngotot pemerintah lewat upah rendah membuat kaum buruh gelisah.

Jangankan buruh kereta api, polisi saja sudah mogok pada awal tahun. Suratkabar Kaoem Moeda edisi 2 Februari 1923 mengabarkan polisi-polisi rendahan di Bandung mogok kerja demi menuntut pencabutan aturan yang membahas duurtetoeslag (tunjangan) mereka.

Aksi opsir bawahan itu bikin murka atasan mereka. Kepala polisi Bandung memberikan hukuman, mengerahkan 30 Veldpolitie (polisi lapangan) lalu menahan polisi rendahan yang ikut aksi mogok.

Pemberitaan Kaoem Moeda edisi 7 Maret 1923 mengisahkan bahwa pada awal Maret, buruh kereta api di Surabaya telah bergerak. Itu direspons Batalyon Infanteri KNIL ke-13 dari Malang dengan mengirimkan 125 anggotanya, di bawah komando Kapten Reeman, ke Surabaya pada 2 Maret 1923.

Pada rapat pengurus pusat Persatuan Vakbonden Hindia (PVH) di Surabaya, tanggal 29-30 April 1923, dan rapat VSTP di Semarang pada 6 Mei 1923, Semaoen menyatakan bahwa pemogokan harus dimulai saat ia dan pemimpin-pemimpin VSTP lainnya ditangkap (Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah, 1977; hlm. 59).

Benar saja, pada 8 Mei 1923, dua hari setelah pernyataan tersebut, Semaoen ditangkap oleh polisi di rumahnya di Tegalwareng, Semarang. Menurut kabar Darmo Kondo edisi 9 Mei 1923, penangkapan Semaoen terkait pemogokan buruh kereta api. Ia ditangkap ketika istrinya tengah melahirkan anaknya. Setelah Semaoen tertangkap, pemogokan besar pun terjadi di seluruh Jawa.

Sikap Represif Pemerintah Kolonial

Aksi mogok juga terjadi di Kertosono pada pada 9 Mei 1923. Residen Madiun, yang membawahi Kertosono, meminta bantuan keamanan. Jawatan Kereta Api alias Staatsspoor juga memberi ancaman keras berupa pemecatan bagi para buruh yang mogok.

Di tengah pemogokan besar-besaran itu, sebagaimana diberitakan Kaoem Moeda (12/05/1923), hampir seluruh personel militer Batalyon ke-13 di Malang dikerahkan. Jalur-jalur kereta api dijaga.

Tak hanya dari KNIL—yang kerap disebut kumpeni, legiun Mangkunegaran bahkan dikerahkan. Jika Batalyon ke-13 dikirim ke Surabaya, legiun Mangkunegaran sebanyak dua kompi dikerahkan ke Tulungagung, menurut koran Darmo Kondo (09/05/1923).

Cerita pemogokan pada 1923 diwarnai penangkapan, yang terjadi di Jember pada 11 Mei 1923. Di Surabaya, seorang bernama Darsoeki ditangkap.

Sebuah rapat umum para kusir dokar di Semarang bahkan dibubarkan oleh polisi kolonial karena dinilai tanpa izin. Pemberita Makassar edisi 29 Mei 1923 mencatat polisi yang membubarkan rapat umum itu bikin kesal massa hingga dilempari petasan. Pemimpin rapat Soemantri dan Haji Oesman serta seorang kusir ditahan polisi.

Pada hari yang sama, di Karesidenan Pekalongan, seorang warga Tegal bernama Salimoen ditangkap karena ikut mogok. Esoknya, di Sidoarjo, polisi menangkap Soekarto, yang memimpin aksi mogok.

Di Surabaya, ketua VSTP Kartaatmadja juga ditangkap atas perintah Asisten Residen Surabaya. Di Bandung, Mohamad Sanoesi, pemimpin Sarekat Islam (SI) cabang Priangan, juga ditangkap polisi karena menulis surat yang isinya menghasut untuk pemogokan. Begitupun Joedohadinoto, Ketua VSTP Bandung.

Koran Sin Po edisi 28 Mei 1923 menulis pemogokan pada bulan itu melibatkan sekitar 8.000 buruh kereta api, dan 500 di antaranya adalah masinis, setengah dari seluruh masinis pada 1923. Aksi mogok ini mengancam lalu lintas jaringan kereta api di Jawa.

Selain di Jawa, buruh di Atjehtrem juga mogok pada 12 Mei 1923. Para buruh kereta api di Medan pun melakukan mogok pada Juli 1923. Menurut Pemberita Makassar (11/07/1923), aksi mogok itu karena pengurangan gaji sebesar 5 sen sehari. Pada 8 Juli 1923, pemogokan buruh terjadi di Perkebunan Nemoetrasi milik Deli Maatschappij, Sumatera Timur. Para pemogok adalah buruh Tionghoa. Polisi lapangan alias veldpolitie lagi-lagi dikerahkan untuk membubarkan mereka.

Infografik HL Indepth May Day

Semaoen Dibuang

Pemogokan buruh kereta api besar-besaran di Jawa setidaknya membuat dua orang penting dalam gerakan komunisme di Hindia Belanda terusir.

Oetoesan Melajoe-Perobahan edisi 9 Agustus 1923 menulis soal keputusan pemerintah kolonial yang hendak mengasingkan Semaoen ke Kefamaranoe di Kepulauan Timor. Belakangan, seperti ditulis Darmo Kondo (15/08/1923), Semaoen meminta kepada pemerintah untuk dibuang ke Belanda. Permintaan ini diluluskan.

Pagi hari, 18 Agustus 1923, Semaoen dibawa ke Pelabuhan Tanjung Priok. Ia dikawal oleh beberapa polisi. Istri Semaoen, yang baru melahirkan, tak ikut ke negeri Belanda. Selain istrinya, hanya kawan seperjuangannya, Darsono, yang diizinkan menemui Semaoen. Menurut pemberitaan Darmo Kondo (22/08/1923), Semaoen naik kapal Koningin de Nederlander.

"Semaoen diusir dari tanah air karena dianggap sebagai anasir yang membahayakan keamanan umum,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Volume I (2008, hlm. 174). Semaoen belakangan pergi ke Uni Soviet, dan menyambi kerja sebagai penerjemah dan pengajar bahasa Indonesia. Kepemimpinan partai pun beralih ke Darsono.

Anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dari golongan sosialis bernama Stokvis mengajukan keberatan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Begitu juga kawan Semaoen di Semarang bernama Soekindar, yang meminta pemerintah meninjau kembali pembuangan Semaoen.

Tak hanya Semaoen yang dijauhkan dari Jawa. Pada 7 Juli 1923, seperti diberitakan Oetoesan Melajoe-Perubahan (18/07/ 1923), Nyonya Sneevliet dipulangkan ke Belanda. Henk Sneevliet, suaminya, sudah dibuang sekitar enam tahun sebelumnya.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam