Menuju konten utama
8 Mei 1993

Pembunuhan Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Aparat Orde Baru

Detik arloji.
Berdetak dan abadi
masih berbunyi.

Pembunuhan Buruh Marsinah dan Riwayat Kekejian Aparat Orde Baru
Ilustrasi Marsinah (1969-1993). tirto/Sabit.

tirto.id - Marsinah. Ia aktivis buruh berlidah tajam dan organisator terpelajar. Marsinah melawan saat kekerasan aparat negara menjalar lebih cepat daripada wabah flu. Buruh perempuan yang rajin mengkliping berita koran itu nyala kritisnya dipetangkan rezim otoriter. Ia dibunuh di usia yang masih teramat muda, 24 tahun.

Pembunuhannya membawa kesuraman semakin akrab. Seolah-olah negara tak perlu melindungi hak hidup warganya, tapi justru berwenang merecoki hajat hidup mereka.

Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri pertemuan Hak Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto menyatakan RUU Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa diterapkan di negara-negara Asia. Jenderal tangan besi itu menjelaskan, di Asia warga tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya, beda dengan budaya Barat.

Soeharto juga menekankan bahwa warga negara wajib menunjukkan rasa hormat pada pemimpin mereka, sebagaimana anggota keluarga pada kepala keluarga. Hal itu diuraikan Leena Avonius and Damien Kingsbury dalam “From Marsinah to Munir: Grounding Human Rights in Indonesia” yang terbit tahun 2008.

Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur protes buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986. Jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak memediasi adalah militer. Tak heran, para pekerja yang kritis dan mencolok harus kuat menghadapi intimidasi dan penangkapan.

Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Buruh PT CPS digaji Rp1.700 per bulan. Padahal berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen.

Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS. Bianto, rekan Marsinah, menuturkan manajemen PT CPS hanya mau mengakomodasi kenaikan upah dalam tunjangan, bukan upah pokok. Permasalahannya, jika buruh tak masuk kerja karena alasan sakit atau melahirkan, tunjangannya akan dipotong.

Negosiasi antara buruh dengan perusahaan mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh PT CPS menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Ada 150 dari 200 buruh perusahaan itu yang mogok kerja.

Seperti diungkap dalam laporan investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bertajuk Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah (1995), pengorganisasian para buruh sebenarnya sudah matang beberapa hari menjelang mogok kerja.

"Tidak usah kerja. Teman-teman tidak usah masuk. Biar Pak Yudi sendiri yang bekerja," kata Marsinah, sebagaimana tercatat dalam Elegi Penegakan Hukum: Kisah Sum Kuning, Prita, Hingga Janda Pahlawan (2010). Yudi yang dimaksud adalah Direktur PT CPS, Yudi Susanto.

Mereka membawa 12 tuntutan (lihat infografik). Mulai dari menuntut hak kenaikan upah 20 persen hingga membubarkan organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di tingkat pabrik. SPSI adalah satu-satunya organisasi buruh yang dinyatakan legal oleh rezim otoriter Soeharto. Bianto menjelaskan bahwa kala itu reputasi SPSI buruk dan nyaris selalu berseberangan dengan kebutuhan kolektif buruh.

“Sementara bagi SPSI, serikat buruh adalah mitra bagi perusahaan. Satu kondisi yang sebenarnya terjadi karena SPSI disetir oleh kekuasaan Orde Baru,” ujar Bianto dalam wawancara dengan kabarburuh.com tiga tahun lalu.

Marsinah Ambil Alih Komando

Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong. Ketegangan perlahan mulai mengalir deras.

Dia diinterogasi karena telah mengorganisasi pemogokan dan dituduh melakukan protes dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sorenya, Prakoso kembali ke pabrik karena dipaksa aparat Koramil.

Mogok kerja di hari pertama itu tak mempan. Prakoso disibukkan dengan pemanggilan oleh aparat militer. Akhirnya Marsinah yang memegang kendali memimpin protes para buruh.

Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kerja kembali digelar. Pihak manajemen PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh. Dalam perundingan, hadir pula petugas dari Dinas Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil. Pelibatan aparat negara dalam perundingan itu menimbulkan kecanggungan.

Meski begitu, semua tuntutan akhirnya dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di tingkat pabrik. Pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan internal SPSI.

Namun di hari itu juga, berdasarkan kronologi yang dirangkai Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM), Yudo Prakoso, buruh yang dianggap dalang pemogokan, mendapat surat panggilan dari Koramil Porong. Dalam surat bernomor B/1011V/1993 itu, Prakoso diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Surat itu ditandatangani Pasi Intel Kodim Sidoarjo Kapten Sugeng.

Di Kodim Sidoarjo, Prakoso juga diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.

Esoknya, 12 buruh mendapat surat yang sama. Mereka diminta hadir ke kantor Kodim Sidoarjo, menghadap Pasi Intel Kapten Sugeng. Tapi surat panggilan itu berasal dari kantor Kelurahan Siring yang ditandatangani sekretaris desa bernama Abdul Rozak.

Tiga belas buruh itu dikumpulkan di ruang data Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tanpa basa-basi, Kamadi meminta Prakoso dan 12 buruh lain mengundurkan diri dari PT CPS. Alasannya, tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.

Kamadi dan Sugeng menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 13 buruh itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja. Mereka dianggap telah menghasut buruh lainnya untuk ikut protes. Berada dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri. PHK itu tak dilakukan pihak perusahaan melainkan oleh aparat Kodim Sidoarjo.

Berdasarkan laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), emosi Marsinah memuncak ketika tahu rekannya dipaksa mengundurkan diri. Dia meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS. Sebab dalam surat kesepakatan itu, 12 tuntutan buruh diterima termasuk poin tentang pengusaha dilarang melakukan mutasi, intimidasi, dan melakukan PHK karyawan setelah aksi mogok kerja

"Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya,” kata Marsinah merujuk koleganya yang bekerja di Kejaksaan Surabaya.

6 Mei 1993, sehari setelah para buruh dipanggil ke Kodim, adalah libur nasional untuk memperingati Hari Raya Waisak. Esoknya buruh kembali bekerja, tapi tak ada satupun yang melihat Marsinah. Beberapa rekannya mengira Marsinah pulang kampung ke Nganjuk.

Pada 8 Mei 1993, tepat hari ini 25 tahun lalu, Marsinah ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Jenazahnya divisum Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk pimpinan Dr. Jekti Wibowo.

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga perut.