tirto.id - Pagi hari, tanggal 10 Oktober 1996, suasana di Pengadilan Negeri Situbondo dipadati ratusan orang. Mereka mengikuti pembacaan vonis terhadap pemuda bernama Saleh. Ia diadili atas kasus penodaan agama dan dituntut lima tahun penjara.
Dalam sidang sebelumnya pada 3 Oktober, Saleh membantah tuduhan penodaan agama. Sama seperti sidang dengan agenda vonis, ratusan orang menyaksikan. Media-media saat itu menulis massa datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus. Suasana sempat tegang saat mereka melontarkan ekspresi menolak tuntutan lima tahun penjara kepada Saleh.
“Seusai sidang, teriakan ‘Bunuh Saleh’ terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas ke tahanan PN Situbondo," tulis majalah D&R (edisi 961019).
"Massa yang sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam sel,” lanjut majalah yang sudah gulung tikar tersebut.
Persidangan yang menyedot perhatian itu membuat Komando Distrik Militer Situbondo, satuan ABRI (nama saat itu untuk TNI) di tingkat kabupaten, menurunkan 100 personel guna menjaga sidang pembacaan vonis. Hari itu hakim memutus Saleh bersalah dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa. Massa tak puas. Meski begitu, suasana masih bisa dikendalikan oleh aparat keamanan.
Kericuhan baru pecah usai sidang. Massa melempari gedung pengadilan dengan batu. Aparat keamanan dari Kodim terdesak dan terpaksa mengungsikan Saleh lewat pintu belakang pengadilan.
Harian Kompas (12 Oktober 1996) melaporkan "massa yang tak terkendali" itu merusakpintu gerbang pengadilan. Mereka merusak mobil dan motor yang terparkir di halaman pengadilan. Lima unit bangunan dalam kompleks pengadilan dibakar.
Entah datang dari mana, terdengar teriakan bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion. Massa bergerak ke sana. Tak lama kemudian gereja itu dilalap api. Sejak itu massa dilaporkan tak bisa dikendalikan dan aparat keamanan kewalahan.
Menjalar Menjadi Kekerasan Berbalut Agama
Perkara yang lebih genting dan mengapa kasus Saleh itu berbalut politis ketika Kota Situbondo diselimuti kerusuhan, beberapa jam setelahnya. Massa menyerbu dan membakar gedung-gedung lain di beberapa titik kota. Menyasar gereja, sejumlah sekolah Kristen, dan klenteng.
Seperti dilaporkan majalah D&R, bangunan sekolah Katolik dan Gereja Maria Bintang Samudra dibakar. Di dekatnya, Gereja Kristen Jawi Wetan dan sekolah Kristen Immanuel jadi sasaran amuk massa.
Sebagian massa menyisir gereja-gereja lain di Jalan Ahmad Yani. Beberapa rumah makan dan kompleks pertokoan Tanjungsari dirusak. Sementara di Kampung Mimba’an, massa membakar Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Bahtera Kasih sekaligus rumah pendetanya, menewaskan lima penghuni.
“Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun,” tulis majalah D&R. "Juga ada keponakan mereka, Nova Samuel dan Rita Karyawati, yang sedang magang pendeta. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar."
Selepas amuk itu, konsentrasi massa terpecah.
Menurut pengakuan saksi mata, sebagian massa melaju ke arah timur kota dengan tiga truk. Sebagian lain menyebar ke Jalan Argopuro dan pertokoan Mimba’an Baru di depan Terminal Situbondo. Di sana sebuah rumah biliar dan gedung bioskop dirusak.
Kekerasan di Kota Situbondo ini baru bisa "dikendalikan" pada pada pukul 15.00 oleh tentara dari Batalyon Infanteri 514 yang dikerahkan dari Bondowoso, sekitar 1,5 jam dari Situbondo. Namun hal itu cuma bertahan sejenak. Kerusuhan-kerusuhan lain menjalar ke beberapa kecamatan di sekitar Kota Situbondo, yaitu Besuki, Asembagus, Panarukan, dan Banyuputih. Massa mengincar sasaran yang sama: gereja.
“Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang magrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang,” tulis majalah D&R.
Dugaan Rekayasa untuk Membungkam Oposisi
Empat hari selepas kerusuhan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid meminta maaf kepada masyarakat Situbondo. Gus Dur menilai NU ikut bertanggung jawab secara moral atas musibah itu karena pelaku kerusuhan adalah warga NU.
“Kepada Allah jugalah saya memohon ampun bagi mereka yang melakukan hal itu tanpa mengetahui akibat-akibat serius bagi masyarakat, bangsa, dan negara,” ujar Gus Dur, dikutip Kompas (14 Oktober 1996).
Meskipun begitu, Gus Dur menengarai kekerasan itu direkayasa. Tujuannya untuk mendiskreditkan dirinya karena tak mampu mengontrol pengikutnya. Sama belaka dengan teror yang menimpa Megawati saat meletus kerusuhan 27 Juli atau bisa disebut Kudatuli.
Robert W. Hefner dalam Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (2001, hlm. 317) menulis, “Pada bulan Agustus dan September 1996, Abdurrahman menerima laporan dari penasihat intelijen bahwa ia menjadi sasaran serangan pemerintah yang lain. [...] Laporan itu hanya mengatakan, dengan tersingkirnya Mega, rezim mulai memprovokasi umat Islam untuk mendiskreditkan klaim Abdurrahman berbicara atas nama umat Islam.”
Meletusnya kerusuhan di Kota Situbondo dan daerah sekitarnya itu memang janggal.
Kota kecil di ujung timur laut Jawa itu tak punya riwayat konflik berbalut etnis, suku, dan agama. Islam, tentu saja, adalah agama mayoritas. Penduduknya, selain etnis Jawa, sebagian adalah pendatang dari Madura. Orang-orang Madura sangat loyal terhadap NU.
Menurut Kiai Zaini, tokoh muslim Situbondo yang melaporkan Saleh ke polisi atas tuduhan penodaan agama, insiden perusakan sejumlah gereja dan pertokoan milik etnis Tionghoa itu "di luar prasangka." Selama ini tak pernah ada masalah hubungan antaragama di daerahnya.
"Tidak ada pertentangan agama. Mereka hidup rukun di sini," ujar Kiai Zaini dikutip Kompas (17 Oktober 1996).
Hal senada diungkapkan Uskup Pandoyo Putro dari Keuskupan Malang. Hubungan antarpemuka agama Islam dan Kristen di kota-kota ujung timur Jawa—seperti Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo—juga baik-baik saja.
"Justru yang menjadi pertanyaan, mengapa gereja di Situbondo yang terkena sasaran? Kami perlu merefleksi diri apakah umat kami menyinggung perasaan orang lain," kata Uskup Pandoyo, dikutip Kompas.
Lalu, mengapa kota yang kehidupan sosialnya nisbi harmonis bisa diguncang insiden kekerasan berbalut sentimen agama?
Ketiadaan modus yang kuat membuat makin santer dugaan bahwa kerusuhan itu adalah rekayasa. Menilik laporan-laporan wartawan yang meliput peristiwa tersebut, Robert Hefner menyatakan para perusuh umumnya bukanlah warga Situbondo.
“Gampangnya masyarakat terprovokasi, diangkutnya para demonstran dengan truk (yang tampak setelah kerusuhan terjadi) dan begitu gampangnya para perusuh menyebar ke pinggiran kota, menimbulkan kecurigaan bahwa kerusuhan itu direkayasa,” tulis profesor antropologi dari Boston University itu dalam bukunya (hlm. 319).
Sejauh mana dugaan kerusuhan itu direkayasa untuk mendiskreditkan Gus Dur sebagai pemimpin NU sukar dibuktikan. Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2017), Gus Dur menerima banyak ejekan ketika melontarkan dugaan itu. Tetapi, pendukungnya di Jawa Timur memercayai kemungkinan tersebut.
Beberapa hari setelah kerusuhan, Gus Dur mendatangi Situbondo untuk meninjau dampak kekerasan tersebut. Ia secara khusus meminta maaf kepada umat Kristen. Ia mendorong masyarakat Kristen dan Islam untuk berkomunikasi lebih intensif guna mencegah kerusuhan serupa terjadi lagi.
“Anda kehilangan sejumlah gereja yang indah tapi Anda memperoleh sesuatu yang lebih berharga, yaitu hubungan yang kalian punyai antara satu sama lain,” pesan Gus Dur kepada pemuka Islam dan Kristen Situbondo (hlm. 288).
Editor: Fahri Salam