Menuju konten utama

Cermin Penodaan Agama di Pakistan Hantui Indonesia

Meski (masih) dalam skala terbatas, Indonesia tengah menapaki problem yang dihadapi Pakistan: naiknya kekerasan sektarian berbau agama.

Sejumlah wanita menangisi peti jenazah kerabat mereka yang tewas dalam ledakan di makam Shah Noorani di Balochistan saat pemakaman di Karachi, Pakistan, Minggu (13/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Akhtar Soomro/djo/16

tirto.id - Seorang gubernur ditembak mati pengawalnya sendiri di Punjab, Pakistan. Si pengawal, setelah berhari-hari menghilang, ditangkap dan diadili. Lima tahun kemudian, pada 2016, si pengawal dihukum gantung. Selepas eksekusi, ribuan warga turun ke jalan menyambutnya sebagai syahid.

Beberapa bulan sebelum dibunuh, Salman Taseer, si Gubernur Punjab itu, mengajukan petisi menuntut pembatalan hukuman mati terhadap Asia Bibi, seorang perempuan yang didakwa atas kasus penodaan agama. Sebelum Taseer, seorang menteri Kristen bernama Shahbaz Bhatti mati diberondong peluru. Tehrik-i-Taliban Pakistan, kelompok sempalan Taliban di Afganistan yang beroperasi di Pakistan utara, mengklaim sebagai pelaku. Motif pembunuhannya: Bhatti dituding ikut menista agama karena membela Asia Bibi.

Pangkal masalahnya ternyata sepele. Suatu hari ketika rehat bersama para pekerja lain, Bibi diminta mengambil air minum dari sumur. Seorang tetangga, yang pernah cekcok dengan keluarga Bibi, menyaksikan Bibi minum dari cawan logam yang sama yang dipakai orang Islam. Yang lain menimpali, cawan itu najis, karena sudah dipakai seorang Kristen.

Setelah terlibat adu mulut, Bibi dituduh mengeluarkan pernyataan yang dinilai menghina Nabi Muhammad. Kemudian warga merusak rumahnya dan memukuli keluarga Bibi.

Bibi, sebagaimana banyak miskin Punjab lainnya, adalah penganut Kristen. Hingga hari ini hukumannya ditangguhkan. Namun kejadian kecil, drama persidangan, dan pembunuhan yang menyertainya telah menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Selama bertahun-tahun.

Pasal Karet Penodaan Agama

Pasal 295C dalam KUHP Pakistan menyebutkan: “Barangsiapa yang dengan kata-kata, baik lisan maupun tulisan, atau dengan representasi visual atau dengan rujukan, sindiran, atau insinuasi apa pun, langsung atau tidak langsung, menghina Nabi Besar Muhammad SAW, akan dihukum mati atau dipenjarakan seumur hidup dan dikenakan denda.”

Pasal ini ialah modifikasi dari hukum kolonial Inggris di India tahun 1927 yang memidanakan "tindakan kebencian yang disengaja, yang dimaksudkan untuk melukai perasaan religius dari setiap kelas dengan cara menghina keyakinan agama".

Ketika memisahkan diri dari India, Pakistan mewarisinya. Korbannya banyak. Hingga 2014, BBC mencatat, sudah ada 633 warga muslim, 494 Ahmadiyah, 187 Kristen, dan 21 Hindu telah didakwa menghujat agama sejak 1987. Sampai kini tercatat 4.000 kasus penistaan agama telah dilaporkan ke polisi. (Di Pakistan, penganut Ahmadiyah digolongkan non-muslim sejak 1974)

Delapan puluh satu persen umat Kristen Pakistan tinggal di Punjab, mayoritas di perdesaan. Dikutip dari Dawn, koran Pakistan berbahasa Inggris, kasus terbanyak penodaan agama terjadi di tujuh distrik: Faisalabad, Gujranwala, Kasur, Lahore, Sheikhupura, Sialkot, dan Toba Tek Singh. Total penduduk di 7 distrik ini 25 juta, lima persennya minoritas Kristen, yang menyumbang 50% dari jumlah umat Kristen di seluruh Pakistan.

Antara 1927 dan 1986, jumlah kasus penodaan agama yang dilaporkan sangat sedikit, kurang dari 10. Jumlah ini melonjak sejak 1986 hingga 2015 dengan 4.000 kasus—dua pertiganya terjadi di Punjab. Dari 1988 hingga 2015, otoritas Pakistan mendakwa 647 orang, lebih dari 50 persen adalah non-muslim, sebagai pelaku penodaan agama.

Pasal-pasal penodaan agama juga telah merenggut 20 korban jiwa, melalui pengadilan resmi maupun pengadilan jalanan. Menurut laporan PBB pada 2016, 40 orang sedang menanti hukuman mati akibat kasus tersebut.

Kasus-kasus penodaan agama di Pakistan umumnya menyasar minoritas, membungkam kebebasan berpendapat, dan digunakan untuk mendiskreditkan pihak-pihak yang tidak disukai.

Kisah Bibi sangat lazim terjadi. Laporan Amnesty International menyebutkan kasus serupa yang menimpa seorang perempuan Kristen yang ingin mengembalikan mentega ke sebuah toko milik muslim. Si pemilik toko menolak, dengan alasan mentega itu dikembalikan dengan panci yang telah digunakan orang Kristen. Lagi-lagi, cekcok terjadi dan si pembeli mentega dituduh menghina Nabi Muhammad.

Kasus terbaru terjadi pada 13 April silam. Marshal Khan, mahasiswa Abdul Wali Khan University, tewas dianiaya secara massal dan ditembak lantaran dituduh membuat pernyataan yang dianggap menghina agama lewat medium internet.

Al Jazeera menyebutkan, sejak 1990, kelompok-kelompok sayap kanan telah main hakim sendiri dengan membunuh sedikitnya 69 orang. Korban aksi-aksi liar ini tidak saja meliputi individu yang dianggap menghina agama, melainkan menyasar pengacara, kerabat, hakim yang mengadakan gelar pendapat kasus mereka, hingga tetangga.

Memanipulasi Umat, Merebut Perhatian Barat

Apa yang menyebabkan angka kasus ini meroket sejak 1986?

Di bawah kepemimpinan diktator Zia ul-Haq, pasal penodaan agama diamandemen pada 1986 sehingga memuat pasal yang lebih spesifik. Isinya, siapa pun yang (bahkan secara tersirat) menunjukkan sikap tidak menghormati Nabi, keluarga dan sahabat Nabi, serta simbol-simbol Islam, dapat dihukum penjara atau denda, atau kedua-duanya. Lebih jauh, amandemen ini memuat pasal-pasal yang secara khusus melarang penganut Ahmadiyah mendaku diri sebagai muslim, menyebarkan ajaran, serta "menyalahgunakan" simbol-simbol Islam.

Pada pemilu 1997, partai Zulfikar Ali Bhutto memenangkan mayoritas kursi di majelis nasional. Oposisi menuduh curang dan memancing kerusuhan. Jenderal Zia-ul-Haq, anak macan yang dipelihara Bhutto sejak ditunjuk sebagai Kepala Staf Angkatan Darat setahun sebelumnya, sergap mengambil alih kekuasaan, menangguhkan konstitusi, mengumumkan darurat militer.

Bhutto didakwa berkhianat dan digantung. Pada 1984, Republik Islam Pakistan seolah berubah menjadi "negara Islam" ketika Zia ul-Haq melakukan Islamisasi besar-besaran yang dimulai dengan mendudukkan 10.000 aktivis Islamis di jabatan-jabatan strategis. Para aktivis ini berasal dari partai Islamis bernama Jamaat-e-Islami, yang sejak semula anti-Bhutto dan mendukung kudeta Zia ul-Haq.

Proses Islamisasi di bawah Bhutto berkaitan erat dengan konteks geopolitik 1980-an, yakni peperangan antara Uni Soviet dan Afganistan, selain konflik menahun antara Pakistan dan India. Zia menginginkan perluasan pengaruh politik Pakistan hingga ke Afganistan untuk menandingi India.

Ketika AS memutuskan untuk mendukung para mujahidin Afgan, Pakistan membuka pintu lebar-lebar bagi muslim dalam negeri untuk terjun ke medan perang Afganistan, salah satunya dengan menjadikan kampus dan madrasah (yang telah dipegang oleh orang-orang Zia) sebagai sarana rekrutmen mujahidin.

Hasilnya adalah dua keuntungan strategis bagi Zia. Pertama, ia mendapat amunisi untuk membungkam oposisi pro-Bhutto, kalangan liberal, maupun kelompok-kelompok manapun yang kritis terhadap rezim. Kedua, dengan memasok tenaga militer ke Afganistan, Zia mengharapkan hubungan lebih erat dengan Amerika Serikat.

Di bawah Nixon dan penerusnya, Gerald Ford, hubungan AS dan India sempat dingin. Pada perang India-Pakistan tahun 1971, AS mendukung Islamabad. Kesuksesan percobaan nuklir India pada 1974 pun ikut menambah ketegangan kedua negara.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/10/Infografik-indonesia-menuju-pakistan--rangga.jpg" width="860" alt="Infografik Indonesia Menuju Pakistan ?" /

Pasca-Zia ul-Haq

Kematian Zia ul-Haq pada 1991 dalam kecelakaan pesawat sedikit sekali mengubah wajah politisasi agama di Pakistan.

Situasi geopolitik Asia Selatan dan Asia Tengah yang tak pernah sepi dari kontak senjata memantapkan posisi Pakistan sebagai jalur lalu lintas jihadis. Kelompok-kelompok Islamis pun makin berkembang. Apalagi situasi politik Pakistan yang rentan dimanipulasi oleh elit-elit militer dengan pengalaman angkatan bersenjata telah tiga kali menggulingkan kekuasaan sipil dan terlibat dalam beberapa percobaan kudeta yang gagal. Pendeknya, penghapusan pasal-pasal penodaan agama bak mimpi siang bolong.

Sesudah penyerangan Menara Kembar World Trade Center di New York City pada 2001, yang disusul invasi AS ke Afganistan, organisasi Hizbut Tahrir (HT) cabang setempat semakin banjir peminat. Agitasi anti-AS semakin digalakkan media-media HT.

Kendati mengklaim menolak kekerasan, retorika HT dianggap menjustifikasi pembunuhan dan aksi-aksi berdarah. Pada 2004, pemerintah mengumumkan pembubaran HT, keputusan yang dicabut setahun kemudian melalui mekanisme pengadilan. Pada 2012, tiga perwira tinggi militer didakwa terlibat dalam HT. Sejak itu, aparat Pakistan melakukan pembubaran aktivitas-aktivitas HT yang memuncak pada awal 2016.

Di sisi lain, kelompok-kelompok Islamis-sektarian tetap beroperasi. Yang tak tersentuh adalah bekas rekanan loyal Zia ul-Haq: Partai Jamaat-e-Islami (JI).

Pada 1950-an, JI mulai secara agresif mengampanyekan kaum Ahmadi untuk menyatakan diri keluar dari Islam. Sepanjang 1970-an, mereka menggoyang pemerintahan populis Bhutto lewat tuduhan komunis dan perusak moral.

Perang di Afganistan pada 1980-an membuat JI terkoneksi dengan banyak kelompok Islamis militan seperti Taliban dan al-Qaeda. Pada 2013, polisi Lahore menangkap enam orang militan al-Qaeda yang tengah merencanakan aksi bom bunuh diri. Salah satunya dicokok dalam persembunyian di bawah anggota Islami Jamiat Talaba (IJT), organisasi sayap pelajar JI yang terkenal dengan aksi-aksi kekerasan di kampus.

Gambaran kekerasan terhadap minoritas Ahmadiyah misalnya terjadi pada 2010. Pada Mei tahun itu, kaum militan Islam menyerang dua masjid Ahmadiyah di Kota Lahore, dengan senjata, granat, dan bom bunuh diri. Ia menewaskan 94 orang dan lebih dari seratus orang luka berat. Tehrike-Taliban Pakistan, kawan dari kaum Taliban Pakistan di Punjab, mengaku sebagai pelakunya.

Sejak 2008, imbas dari kekuatan Taliban di Afganistan dan koneksinya dengan pelbagai kelompok militan Sunni Pakistan, kekerasan sektarian menyasar warga muslim Syiah, menewaskan ribuan orang Syiah di seluruh Pakistan. Penganut Syiah dianggap pelaku penodaaan Islam.

Pelbagai kekerasan sektarian terhadap kaum minoritas agama di Pakistan membuat seorang penulis menjuluki negeri itu “kuil para pembunuh penista agama.”

Bercermin dari Pakistan

Bagaimana dengan Indonesia?

Beleid penodaan agama telah memakan korban. Sejak 2005, lebih dari selusin individu dihukum atas pasal ini. Dari pemuka Syiah di Sampang hingga yang terbaru Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama. Ini belum termasuk individu lain sebelum 2015 seperti kritikus sastra HB Jassin pada 1968 dan penulis Arswendo Atmowiloto pada 1990. (Baca: Upaya Menghapus Pasal Penodaan Agama)

Dengan aturan yang sama setingkat menteri pada 2008, yang melarang minoritas Ahmadiyah di Indonesia menyebarkan "kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam," tiga penganutnya dibunuh pada 2011, jemaah mereka diusir, masjid-masjid mereka disegel, dan beberapa individunya dihukum pidana. Hal sama menyerang pengikut Syiah yang diusir dari Sampang ke Sidoarjo. Begitu pula komunitas Baha'i dan kongregasi Kristen. (Baca: Laporan Komnas HAM 2016: Intoleransi Masih Tinggi)

Kasus terbaru menimpa kelompok keyakinan Milah Abraham atau Gafatar. Pada akhir Maret lalu, tiga pemuka mereka divonis 5 hingga 3 tahun penjara lewat pasal 156a KUHP penodaan agama, pasal yang sama yang menjerat vonis 2 tahun untuk Ahok. (Baca: Memenjarakan Gafatar)

Baik Indonesia dan Pakistan mewarisi pasal pidana zaman lampau yang dulu digunakan para penjajah untuk membelenggu aktivis-aktivis kemerdekaan. Kedua negara ini telah dan sedang gaduh dalam politisasi agama yang membelah masyarakat. Dan di kedua negeri ini pula, jalan menuju penghapusan pasal karet penodaan agama kelihatan tak berujung.

Pertanyannya: Apakah kita sedang banting setir ke rute kuil para pembunuh?

Baca juga artikel terkait PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Fahri Salam