Menuju konten utama

Memenjarakan Gafatar

Tahun lalu, kelompok keyakinan Milah Abraham (eks-Gafatar) diberitakan membangun lahan pertanian di Kalimantan. Para pemimpinnya kemudian diseret ke meja pengadilan dan akhirnya divonis 5 dan 3 tahun penjara.

Memenjarakan Gafatar
Tiga terdakwa yang merupakan petinggi Gafatar (dari kiri), Andri Cahya, Ahmad Musadeq, dan Mahful Muis Tumanurung menjalani sidang vonis terkait kasus makar dan penodaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa, (7/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - "Damai sejahtera!"

Salam itu terucap dari mulut Ahmad Mushaddeq pembimbing spiritual Milah Abraham begitu ia memasuki ruang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa 7 Maret 2017 siang.

Mushaddeq masuk beriringan bersama Mahful Muis Tumanurung dan Andry Cahya. Ketiganya adalah terdakwa penistaan agama dan makar dalam kasus Milah Abraham dan Gerakan Fajar Nusantara. Mereka kompak mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam.

Para pengikut Milah Abraham yang hadir dalam sidang berdiri menyambut Mushaddeq yang melambaikan tangan. "Damai sejahtera!" jawab mereka serentak.

Ketiganya lalu duduk menunggu hakim datang. Tidak sampai sepuluh menit, tiga orang hakim masuk ke ruangan. Muhammad Sirad hakim ketua duduk di tengah, Arumningsih dan Gede Ariawan hakim anggota duduk di kanan dan kiri Sirad.

“Tolong ini jangan ada yang jalan-jalan saat keputusan sedang dibacakan, wartawan yang mau mengambil foto mohon jangan menggunakan flash,” kata Sirad sebelum mulai membacakan putusan vonis persidangan.

Sidang yang dimulai pukul 14.00 wib itu berakhir dengan isak tangis para pengikut Milah Abraham. Mushaddeq dan Mahful divonis 5 tahun penjara, sedangkan Andry 3 tahun penjara. Mereka diputus bersalah karena melanggar pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama.

“….bersalah karena melakukan tindak kejahatan dengan sengaja di muka umum melakukan perbuatan yang menyebabkan penodaan salah satu agama yang diakui di Indonesia,” kata Sirad.

Sementara itu, dakwaan makar yang dilakukan Gafatar dengan membentuk Negara Karunia Tuhan Semesta Alam dinyatakan tidak terbukti oleh hakim ketua. Tidak terbuktinya dakwaan inilah yang membuat hukuman ketiganya jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa: 12 tahun penjara untuk Mushaddeq dan Mahful, serta 10 tahun untuk Andry.

Pada Mulanya adalah Dokter Rica

Vonis yang diterima ketiganya bermula dari berita hilangnya dokter Rica Tri Handayani di Yogyakarta. Rica dilaporkan hilang oleh keluarganya ke Polda DI Yogyakarta setelah pergi dengan meninggalkan sepucuk surat untuk ibu dan suaminya pada Desember 2015. Tak berselang lama, laporan kehilangan anggota keluarga pun bertambah.

Pencarian Rica berbuah pada terpublikasinya permukiman mantan anggota Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat. Polisi mendapati orang-orang yang dilaporkan hilang lainnya juga berada di sana. Keberadaan orang “hilang” itu lantas disangkutkan dengan Gafatar yang oleh Majelis Ulama Indonesia disebut aliran sesat.

Gafatar sendiri merupakan sebuah organisasi sosial yang anggotanya didominasi penganut ajaran Milah Abraham, salah satu sekte dalam Islam. Gafatar didirikan pada tahun Agustus 2011 dan membubarkan diri pada Agustus 2015.

Tudingan sesat itu pun berbuntut panjang. Permukiman para penganut Milah Abraham itu dibakar oleh sekelompok orang yang mengaku warga. Mereka kemudian dipulangkan paksa ke daerah asal oleh pemerintah. Sebelum dipaksa kembali ke keluarganya masing-masing, mereka dikumpulkan di penampungan dan dideradikalisasi oleh pemerintah.

Setelah pengusiran massal terjadi, pada 3 Februari 2016 MUI mengeluarkan fatwa sesat untuk Gafatar. Padahal, sebelum fatwa itu dikeluarkan, Gafatar sudah membubarkan diri.

Kriminalisasi Penganut Milah Abraham

Sebelum tudingan sesat terhadap Gafatar dilayangkan oleh MUI, Gafatar sudah menjadi target kriminalisasi. Di Aceh, enam pengurus Gafatar diseret ke meja hijau karena tudingan penistaan agama pada 7 April 2014. T. Abdul Fatah ketua Gafatar Aceh divonis 4 tahun penjara oleh PN Banda Aceh. Lima pengurus lainnya yakni M. Althat Mauliyul Islam, Musliadi, Fuadi Mardhatillah, Ayu Ariestyana, dan Rida Hidayat dihukum masing-masing tiga tahun penjara.

Kriminalisasi terhadap pengurus Gafatar di Aceh itu pun bermula tudingan sesat dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Setelah keenam pengurus dibawa ke pengadilan, MPU mengeluarkan fatwa sesat terhadap Gafatar. Fatwa sesat yang diterbitkan 22 Februari 2015 itu sekaligus mengakhiri keberadaan Gafatar di Aceh. Fatwa yang menyatakan Gafatar sesat itu memicu warga melakukan penolakan terhadap Gafatar.

Dari Aceh, penolakan Gafatar pun menyebar luas di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa cabang Gafatar akhirnya tiarap lantaran beberapa di antaranya ditolak oleh pemerintah dan Surat Keterangan Terdaftar di Kantor Kesatuan Bangsa dicabut. Atas penolakan yang makin meluas itulah Gafatar menggelar kongres luar biasa pada 11 Agustus 2015. Hasil kongres menyepakati dua hal: membubarkan Gafatar dan melanjutkan program kedaulatan pangan, pindah ke Kalimantan.

Kriminalisasi terhadap penganut Milah Abraham tidak hanya dilakukan dengan pola fatwa sesat lalu ke penjara. Dalam kasus dokter Rica, dua anggota Gafatar yakni Eko Purnomo dan Veni Orinanda yang merupakan kerabat Rica dijerat dengan tuduhan penculikan Rica dan bayinya.

Pada September 2016 Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan vonis 2 tahun penjara untuk Eko dan Veni 1 tahun penjara karena dianggap melanggar Pasal 332 ayat 1 KUHP tentang melarikan perempuan di bawah umur. Padahal Rica sendiri sudah dewasa dan pergi atas keyakinannya terhadap Milah Abraham.

Jauh sebelum itu, Mushaddeq sendiri pernah mengalami kriminalisasi seperti yang dialaminya kini. Pada tahun 2009 Mushaddeq juga pernah dipenjara karena tudingan serupa. Para pengikutnya yang dianggap sesat pun ditobatkan masal pada tahun 2007.

Infografik Perjalanan Gafatar

Penodaan Kebebasan Berkeyakinan

Rentetan kriminalisasi terhadap pengikut Milah Abraham menambah daftar penodaan terhadap kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Padahal jaminan bagi warga negara untuk memilih dan memeluk agama dan keyakinannya jelas termaktub dalam pasal 28 E ayat 1 dan 2 UUD.

Namun dalam kasus pengikut Milah Abraham, jaminan itu tidak berarti apa-apa. Fatwa Majelis Ulama Indonesia dianggap lebih sahih dari pasal dalam UUD tersebut.

Dalam kasus kriminalisasi terhadap pengurus Gafatar di Aceh dimulai dengan tudingan sesat lalu disusul dengan fatwa sesat. Pembakaran pemukiman, pengusiran dan pemaksaan pulang ke daerah yang dialami oleh pengikut Milah Abraham juga sama, didahului tudingan sesat, lalu disusul fatwa sesat. Pola yang juga dialami Ahmadiyah.

Fatwa yang dikeluarkan ulama itu menjadi rujukan kepolisian dalam penyelidikan. Padahal, fatwa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana undang-undang di Indonesia.

Dampaknya tidak hanya pada saat terjadi pengusiran dan kriminalisasi saja. Mereka yang masih meyakini Milah Abraham sebagai agamanya dikucilkan dari masyarakat. Beberapa di antara mereka mendapatkan diskriminasi karena keyakinan mereka itu.

Salah satunya dialami oleh Parwanto, seorang pengikut Milah Abraham, warga Trenggalek. Saat meminta surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), Parwanto mendapat catatan sebagai “Pernah terlibat dalam kegiatan kriminal seperti tercantum dalam pasal (Ex Gafatar)”.

SKCK itu dikeluarkan Polres Trenggalek pada 18 April 2016, selang dua bulan setelah pemulangan paksa dari Kalimantan oleh pemerintah.

Di sisi lain, polisi sama sekali tidak pernah mengusut kasus kekerasan, penjarahan, pembakaran pemukiman penganut Milah Abraham di Mempawah, Kalimantan Barat. Sampai sekarang, tidak ada satu pun tersangka yang diseret polisi ke meja hijau.

Mushaddeq, Mahful, dan Andry yang mempertahankan keyakinan mereka justru harus tetap tinggal di bui. Meski begitu, Mushaddeq masih bisa tersenyum usai pembacaan vonis. Sebelum meninggalkan ruangan dia lantang berkata, “Damai Sejahtera!”

Baca juga artikel terkait GAFATAR atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Maulida Sri Handayani