tirto.id - Para nabi yang telah pensiun dari tugas-tugasnya merasa bosan tinggal terus-menerus di surga. Mereka ingin diberi cuti untuk bergiliran turba ke bumi. Oleh karena itulah mereka kemudian membuat petisi kepada Tuhan.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti,” begitu keluhannya.
Menanggapi hal tersebut, Tuhan hanya geleng-geleng kepala. Tak paham apa lagi yang diinginkan manusia, para nabi yang bosan itu. Maka dipanggillah Muhammad, penandatangan petisi pertama. Ditanyakan kepadanya, apakah kiranya surga selama ini kurang memberi kesenangan. Ternyata bukan itu penyebabnya, sebab surga adalah puncak kelimpahan nikmat yang tiada tara.
Lalu Tuhan bertanya lagi. Menyelidik apa kiranya alasan Muhammad ingin turba ke bumi.
“Hamba ingin mengadakan riset […] Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga,” jawab Muhammad.
Setelah melanjutkan percakapan, dan izin sudah dikantongi, maka Muhammad bersiap turun ke bumi.
“Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat,” kata Tuhan.
Di surga acara pelepasan cukup meriah. Muhammad naik ke punggung buroq dan meluncur ke bumi, diikuti Jibril yang terengah-engah di belakang.
Di bumi, mereka turun di Jakarta. Aduhai kota berjuta masalah. Orang-orang sakit. Harga barang-barang melonjak. Kemiskinan. Pelacuran. Situasi politik berderak-derak. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi yang sudah menjadi nabi palsu tengah mengobarkan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komonisme). Ia juga hendak mengganyang negara tetangga yang dianggap antek Nekolim.
Istana penuh pesta. Pengemis-pengemis di luar pagar menyesali diri kenapa menjadi manusia, bukan menjadi anjing yang kekenyangan di dalam istana.
Stasiun Senen dipenuhi kecabulan yang jorok dan jijik. Dari atas atap seng, Muhammad dan Jibril yang mengubah dirinya menjadi sepasang burung elang menyaksikan kekumuhan itu.
“Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang—lagi palang merah, kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah […] Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot,” begitu keadaannya.
Presiden banyak omong dan banyak bohong. Namun Muhammad dan Jibril melihat rakyat biasa saja. Tak heran dan tak marah. Mereka seperti sudah terbiasa menghadapi presiden yang buka mulut seenaknya. Rakyat itu begitu pemaaf dan baik hati. Kebobrokan pemimpin selalu diterima dengan lapang dada.
Siapa Menabur Angin, Dia Menuai Badai
Kisah tersebut berjudul Langit Makin Mendung, ditulis oleh Kipanjikusmin dalam majalah Sastra Th. VI No. 8, Agustus 1968, yang dipimpin oleh H.B. Jassin. Dalam beberapa catatan, penulisan nama pengarang cerpen ini cukup beragam: Ki Pandji Kusmin, Ki Panji Kusmin, Kipandjikusmin, dan Kipanjikusmin. Saya mengacu pada penulisan yang ada dalam pledoi Jassin, yaitu Kipanjikusmin.
Cerita ini tentu saja meledakkan amarah umat Islam yang menganggap cerita itu menghina Tuhan, malaikat dan nabi. Kipanjikusmin dan redaktur Sastra dikecam. Kantor majalah pun dirusak oleh massa yang muntab. 4 Februari 1970, Jassin diseret ke pengadilan. Sementara Kipanjikusmin (nama pena), dirahasiakan oleh Jassin. Paus sastra itu maju sebagai martir.
Agus Rois dalam Teror, Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016) menerangkan bahwa pasca Orde Lama runtuh, situasi Jakarta sudah tidak panas. Tak ada lagi teriakan “ganyang setan-setan kota”, “seret kabir, gantung pencoleng, dan koruptor ke pengadilan terbuka”, atau teriakan “hidup Nasakom”.
Namun, ketika Jassin maju ke muka pengadilan, suasana Jakarta kembali menghangat. Ibu-ibu yang sabar mengantre beras karena demokrasi terpimpin bangkrut, sibuk juga oleh kasus Langit Makin Mendung. Orang-orang marah tak menerima nabinya olok-olok oleh si kurang ajar.
Di persidangan, pengunjung menyesaki ruangan. Mereka geram terhadap terdakwa, dan hendak mengetahui hukuman apa yang kiranya akan dijatuhkan kepada si penista agama itu.
“Sidangnya dibuka dengan satu ketukan palu. Tapi, lima menit kemudian sidang ditutup suara koor pengunjung. Persoalannya sepele, pembela Jassin belum kelar membaca berkas perkara. Sidang dilanjutkan enam hari kemudian,” tulisnya.
Agus menambahkan, pada sidang selanjutnya ruangan penuh sesak oleh tukang ojek, dosen, mahasiswa, sastrawan, wartawan, serta ulama. Jassin duduk tenang di kursi pesakitan. Sementara beberapa juru foto tak hentinya mengarahkan kamera ke arah terdakwa.
Sebagian lainnya yang menghadiri persidangan tertahan di luar karena gedung telah sesak. Mereka membentangkan poster dan berteriak-teriak.
“Jassin, seorang penulis yang gagah berani, hari itu selama beberapa puluh menit dicecar hakim,” tulis Agus.
Pembelaan Jassin
Setelah menghaturkan hormat kepada hakim dan pengadilan, Jassin kemudian membuka pledoinya dengan tenang. Menurutnya, inilah kesempatan baginya untuk menjelaskan sesuatu yang penting bagi pengarang Indonesia dan masyarakat umum yang menanggapinya.
“Saya merasa gembira pula, karena inilah yang pertama kali suatu peristiwa sastra mendapat kehormatan bersejarah berdiri di tengah-tengah perhatian, sekalipun sebagai terdakwa di depan forum pengadilan,” ujarnya.
Jassin menjelaskan kenapa ia berani maju mempertanggungjawabkan naskah yang ia terbitkan di majalah Sastra. Selain karena memang kewajibannya, juga hendak menerangkan hal-hal yang kiranya dapat menjadi perhitungan hakim dalam mengambil keputusan.
Ia tak takut ancaman dan cemoohan. Meskipun katanya ada sebagian orang yang menasihatinya untuk tidak berpanjang lebar apalagi membela pendirian, sebab konon hal tersebut berbahaya dan akan kena ganyang, tapi Jassin tak gentar. Ia malah menyerang balik orang-orang tersebut dengan sinis.
“Demikianlah Saudara Hakim situasi di negara kita ini, sebagian orang masih hidup dalam semangat berkelompok seperti serigala, menyerbu beramai-ramai, tak berani bertanggung jawab sendiri. Sebagian orang masih mendasarkan pendiriannya pada ketakutan dan keselamatan diri, bukan pada apa yang dianggapnya kebenaran dan keadilan,” kata Jassin.
Sebelum masuk ke pokok persoalan dakwaan, Jassin terlebih dulu mempersoalkan urusan status hukum dirinya. Dua hal yang ia pertanyakan.
Pertama, cerpen Langit Makin Mendung yang terbit pada Agustus 1968, sudah dicabut oleh si pengarang dalam surat permohonan maafnya pada 22 Oktober 1968, dan ia meminta cerpen tersebut dianggap tidak ada saja.
“Maka bagaimanakah kita bisa bicara tentang suatu hal yang tidak ada lagi dan malahan menuntut orang yang sudah mencabut sumber perkara itu?” ujarnya.
Kedua, berdasarkan KUHP Pasal 78, Jassin menganggap perkara ini sudah kadaluwarsa. Sebab cerpen ini terbit pada Agustus 1968, sementara penuntutan ke muka pengadilan baru diajukan 17 bulan kemudian. Padahal dalam pasal tersebut, jangka waktu kadaluwarsa untuk pelanggaran dengan barang cetakan adalah 12 bulan.
Setelah mengemukakan dua soal tersebut, barulah Jassin masuk ke pokok masalah Langit Makin Mendung, cerpen yang ia bela.
Ia menyebutkan bahwa yang diadili bukanlah dirinya, bukan pula Kipanjikusmin si pengarang cerpen tersebut, yang diadili adalah imajinasi milik seniman Indonesia. Dan pemilik hasil imajinasi itu adalah masyarakat Indonesia.
“Saudara sedang mengadili imajinasi kreatif yang sedang menuntut kebebasannya, hendak melepaskan segala belenggunya, demi kemajuan seni dan pemikiran di Indonesia,” tambahnya.
Titik tolak Jassin untuk membantah segala tuduhan Penuntut Umum dan Saksi Pemberat adalah bahwa ada perbedaan yang mendasar antara dunia imajinasi dengan dunia historis. Langit Makin Mendung, tambah Jassin, adalah karya fiksi, dunia imajinasi. Bukan sejarah, bukan kenyataan objektif, oleh karenanya akan sia-sia jika berbicara dari dunia yang berlainan ini.
Menurut pengamatannya selama persidangan, hukum positif tidak mengandung aturan-aturan yang menampung alam dunia imajinasi seniman. Sehingga alam dunia imajinasi seniman ditanggapi seolah-olah menanggapi dunia hukum positif.
“Dengan demikian para seniman senantiasa terancam bahaya rongrongan sebagai penjahat-penjahat yang selalu mau merusak hukum-hukum positif dengan dunianya yang imajiner,” tambah Jassin.
Jassin menyebut seluruh spekulasi manusia tentang Ketuhanan, hanyalah satu pembuktian dari ketidakmampuan manusia menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat manusia, yang memakai alat-alat komunikasi manusia.
“Maka apa gunanya kita menghebohkan seorang Kipanjikusmin yang menggambarkan Tuhan sebagai seorang tua yang berkaca emas model kuno dan menggeleng-geleng memikirkan tingkah laku manusia? Apakah Kipanjikusmin telah membikin penemuan baru yang memutlakkan kebenarannya tentang Zat Tuhan? Ataukah dia pun hanya seorang dari kita manusia yang membuktikan ketidakmampuannya merangkum Zat Tuhan? Kipanjikusman tahu dan setiap orang pun tahu bahwa rupa yag digambarkannya itu bukanlah Tuhan yang sesungguhnya,” terang Jassin.
Dalam konteks seni, menurut Jassin, imajinasi seperti itu diperlukan, sebab tak ada seni tanpa imajinasi. Tak ada penghayatan estetis oleh peminat. Seni akan kering, tak hidup. Maka jika seniman, pengarang, mengadakan orang atau peristiwa atau keadaan yag tidak ada dalam sejarah, tambahnya, itu bukan karena mau mengada-ngada, tapi supaya lukisan dalam karyanya menjadi hidup dan mengesan kepada peminat.
Panjang lebar Jassin menjelaskan hal ini dalam pembelaannya. Pledoi yang dibacanya kemudian dihimpun dalam bagian akhir buku Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983) halaman 96 sampai 182.
Namun hal tersebut tak menyelamatkannya dari hukuman. Tanggal 28 Oktober 1970, Jassin dijebloskan ke penjara dengan hukuman satu tahun penjara dan dua tahun percobaan.
Siapa Sebenarnya Kipanjikusmin?
Sikap Jassin yang teguh tak mengungkap identitas Kipanjikusmin membuat masyarakat bertanya-tanya, siapa sesungguhnya penulis celaka itu. Donny Anggoro dalam “36 Tahun Kontroversi Kusmin”, Sinar Harapan, 26 Juni 2004, menjelaskan bahwa sikap Jassin didasari pada UU Pers Tahun 1966 yang menyatakan: “Bila sang pengarang tidak membuka identitasnya, redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya.”
Sementara catatan Agus Rois dalam Teror, Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016), menceritakan bahwa ketidakpastian ini membuat orang menebak-nebak. Ada yang menebak-nebak Kipansjikusmin adalah satu di antara Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Arifin C. Noer, dan Slamet Sukirnanto, yang sama-sama lahir pada tahun 1941 (tahun kelahiran Kipanjikusmin).
Sebagian masyarakat ada juga yang menebak-nebak Kipanjikusmin sebagai W.S. Rendra. Meski Rendra kelahiran 1935, tapi mereka menebaknya dari puisi “Bersatulah Para Pelacur Jakarta” dalam buku Blues untuk Bonnie (1971), yang katanya isi puisi tersebut sama dengan yang diceritakan Kipanjikusmin dalam Langit Makin Mendung.
Namun hal ini kemudian menemui titik terang saat majalah Ekspres, lewat Usamah (Redaktur Pelaksana) berhasil mewawancarai dirinya. Nama asli si pengarang ternyata Soedihartono. Hal ini dibenarkan oleh Jassin dalam pembelaannya yang menceritakan saat dia bertemu dengan orangtua Kipanjikusmin.
Dari cerita orangtuanya, Kipanjikusmin adalah seorang yang pendiam dan pemalu, tidak pandai bergaul, dan suka menyisihkan diri. Tidak memperhatikan pakaian, dan suka merenung serta menulis. Ia lahir pada 1941, sekolah sampai selesai di Akademi Pelayaran, dan sempat bekerja sebagai mualim.
Sifat pemalu dan tak suka menonjolkan diri itu sudah terlihat oleh Jassin saat pertama kali menerima naskahnya. Setiap naskah pengarang yang lolos dalam majalah Sastra, Jassin mengiriminya formulir biografi pengarang untuk dokumentasi.
“Saya baru mulai, Pak. Belum sepatutnya saya memberikan biografi saya. Nantilah apabila saya telah maju dalam karang-mengarang, akan saya kirimkan,” jawab Kipanjikusmin.
Komentar terhadap Langit Makin Mendung
A.A. Navis dalam pengantar buku kumpulan cerpennya, Bertanya Kerbau pada Pedati (2004), menyebut kasus cerpen ini sebagai “bobroknya kadar pemikiran kebudayaan kita”.
“Kantor majalah Sastra diobrak-abrik, H.B. Jassin dihukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Padahal kalau masih ada kebebasan berpolemik, masyarakat akan lebih tahu betapa buruknya cerpen itu. Akibat teror tersebut penerbit menjadi insan penakut, masyarakat cerdas berhenti untuk berpikir dan menyatakan pendapat,” tulisnya.
Sementara Bahrum Rangkuti dalam “Imajinasi, Observasi dan Intuisi pada cerpen Langit Makin Mendung”, Merdeka, Th. XXIV No. 6915, 25 Februari 1970, menyebut si pangarang hendak mensucikan Islam dari racun-racun paham baru yang menyesatkan (Nasakom).
“Sehingga banyak dari pengikut-pengikutnya [Islam] dengan sadar ataupun tidak memperpincang dan melumpuhkan Islam. Iman dan Islam menjadi permainan bibir semata-mata,” tambah Rangkuti.
Menteri Agama waktu itu berkomentar keras, “Tulisan Langit Makin Mendung itu berusaha untuk melenyapkan agama dari muka bumi Indonesia, yang berarti berusaha juga untuk mentorpedir Pancasila dan UUD 45.”
Dan Ali Audah, seperti dikutip Jassin dalam pleidoinya, menyebut Langit Makin Mendung sebagai cerita yang tak akan mempengaruhi keimanan seseorang, betapapun lemah imannya.
Komentar-komentar lain berseliweran. Pro dan kontra. Mendesak-desak cerpen ini hingga menjadi kehebohan di lapangan sastra saat itu. Kisah diadili, Jassin jadi terdakwa dan masuk penjara.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS