Menuju konten utama
16 Februari 1970

Amal Sastra Armijn Pane dan Kegelisahannya

Percik pikiran.
Galau kebudayaan
di tubir zaman.

Ilustrasi Armijn Pane. tirto.id/Sabit

tirto.id - Saat kesadaran nasional mulai tumbuh, para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia berhimpun untuk membicarakan cita-cita kesatuan bangsa, termasuk masa depan bahasa dan sastra Indonesia. Pada Kongres Pemuda Indonesia yang pertama tahun 1926 di Jakarta, Muhammad Yamin menyampaikan ceramah dalam bahasa Belanda mengenai Kemungkinan Bahasa dan Sastra Indonesia di Masa Depan.

Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991) mencatat bahwa pada 1930 semua gerakan pemuda kedaerahan secara resmi mengesampingkan perbedaan identitas kedaerahannya masing-masing dan bergabung dalam persatuan gerakan pemuda, Indonesia Muda.

“Sejak itu bahasa persatuan dinamakan ‘Bahasa Indonesia’, puisi baru yang diperkenalkan Yamin disebut ‘Kesusastraan Indonesia’, hanya saja sebelum Pujangga Baru tampil belum ada suatu kesadaran diri untuk menjelaskan gagasan budaya yang selaras dengan kesadaran politik yang baru itu,” tambah Foulcher.

Semangat Pembaruan

Kelahiran Poedjangga Baroe sebagai representasi semangat anyar dalam kesusastraan Indonesia adalah hasil pergulatan yang intens antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Armijn Pane melalui halaman-halaman majalah Pandji Poestaka. Mulai Maret 1932, majalah tersebut menyediakan rubrik bernama "Memadjoekan Kesoesastraan" yang ditujukan sebagai saluran bagi munculnya gaya penulisan non-tradisional.

Rubrik tersebut diasuh Sutan Takdir Alisjahbana yang menjabat sebagai staf pada Balai Pustaka sejak 1930. Pada Agustus 1932, Armijn Pane mulai menampilkan sajak-sajaknya di ruang asuhan Takdir tersebut.

“Padanya (Armijn Pane), Takdir niscaya melihat ciri tentang pengarang yang cocok dengan pandangannya tentang seniman Indonesia modern. Berlainan dengan sajak-sajak lain yang dimuat dalam ‘Memajukan Kesusastraan’ yang tampak dibuat-buat dan penuh retorika tiruan, puisi Armijn Pane kelihatan sederhana dan langsung, namun dengan susunan bahasa dan eksperimen teknis yang rapi,” tulis Foulcher.

Takdir dan Armijn kemudian berkomunikasi secara intens membicarakan masa depan kesusastraan Indonesia. Kekecewaan Takdir yang kerap menerima tumpukan naskah sajak dari seluruh Indonesia di Pandji Poestaka dengan mutu syair model kuno, dan keinginan Armijn untuk memiliki majalah mandiri, serta kehadiran Amir Hamzah yang menaruh perhatian dan antusiasme terhadap perkembangan tradisi kesusastraan baru, akhirnya melahirkan majalah Poedjangga Baroe pada Juli 1933.

Semula Takdir hendak mengedepankan pembentukan organisasi pengarang, namun Armijn tidak setuju. Menurutnya, perkumpulan tanpa media atau penyambung lidah akan kecil sekali peluangnya untuk mencapai tujuan.

“Pada pemandangan saya yang lebih penting daripada kedua hal itu (perkumpulan/majalah) ialah soal majalah itu. Kalau sudah ada majalah itu, akan adalah pertambatan pujangga semuanya, sedang kalau ada perkumpulan dan tiada majalahnya, maka maksud perkumpulan itu tiada akan banyak tercapai,” tulis Armijn.

Pemilihan kata "pujangga" dari Armijn Pane, menurut Maman S. Mahayana dalam Kitab Kritik Sastra (2015), adalah semangat pembaruan dan hendak memosisikan sastra sebagai seni yang dekat dengan rakyat, bukan malah sebaliknya.

“Istilah pujangga yang ditawarkan Armijn Pane—yang lalu melekat menjadi nama majalah Poedjangga Baroe, secara tegas dimaksudkan untuk membedakannya dengan bujangga, sastrawan atau seniman keraton yang mendapat tempat khusus di depan raja dan masyarakat,” tulis Maman.

Sementara Armijn Pane menjelaskan hal ini dalam artikelnya yang dimuat Soeara Oemoem pada 3 Mei 1933, “Kami tidak menyebut diri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.”

Menurut Maman S. Mahayana, pujangga juga dimaksudkan sebagai sastrawan-seniman yang sudah meninggalkan semangat pantun atau syair, semangat lama dari zaman pra-Indonesia.

Semangat pembaruan inilah yang menjadi pijakan Armijn Pane dengan majalah Poedjangga Baroe-nya, yang dalam puisi Roestam Effendi digambarkan sebagai “Sarat saraf saya mungkiri / Untai rangkaian seloka lama / Beta buang beta singkiri / Sebab laguku menurut sukma.”

Selain soal kebaruan, menurut Harry Aveling dalam Rumah Sastra Indonesia (2002), kecenderungan sastrawan pada dekade 1930-an adalah mereka takut menyisih dari masyarakat.

“Bukan abdi seni yang hanya bersifat seni untuk seni semata-mata, tetapi abdi seni yang sebagai salah satu alat masyarakat harus mengabdikan diri kepada masyarakat,” tulis Aveling mengutip pernyataan Armijn Pane.

Mendobrak Belenggu Zaman

Meski menulis puisi ("Gamelan Djiwa", "Djiwa Berdjiwa"), cerpen ("Kisah Antara Manusia"), drama ("Ratna", "Antara Bumi dan Langit"), dan lain-lain, karya Armijn Pane yang paling populer dan dianggap paling berhasil adalah Belenggu. Roman percintaan yang dibumbui semangat emansipasi yang dianggap tabu di zamannya ini, menurut Ajip Rosidi, merupakan roman terbaik yang ditulis orang Indonesia pada masa sebelum perang.

Lewat tokoh Tini, Armijn mencoba melawan ketidakberpihakan zaman dan masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada masa itu, mereka terbelenggu oleh perkawinan paksa dan tiada pilihan lain yang berhak ditempuh.

“Yu, waktu sekarang dua buah jalan yang dapat ditempuh oleh anak gadis bangsa kita. Dahulu cuma sebuah saja, ialah jalan kawin. Dan barang siapa yang menyimpang jalan raya itu yang sebenarnya sempit—diejek orang, orang berbisik-bisik kalau dia lalu: ‘tidak laku’. Dan kalau ada juga seorang yang berani menyimpang, pergi melalui jalan kedua, memang Yu Ni, sampai sekarang belum ada juga, Yu, si berani itu akan selalu didesak-desak, sampai terdesak juga ke jalan raya: dia kawin juga. Tetapi sekarang Yu, sudah tiba waktunya. Kalau mesti aku rela binasa” (Belenggu, hlm. 70).

Menanggapi karya Armijn Pane yang berani menyampaikan masalah kesetaraan gender di zaman itu, H.B. Jassin dalam Poedjangga Baroe tahun 1940 menulis, “Lukisan Armijn Pane tentang masa pancaroba ini tepat, bukan untuk ditiru, melainkan untuk diperlihatkan kepada angkatan yang akan datang, betapa besar kesusahan yang telah diderita oleh nenek moyangnya dalam perjuangannya mencapai kemajuan di zaman ini.”

Namun Belenggu juga bukannya tanpa kritik. Pada satu artikel panjang bertajuk "Ditunggu: Kehadiran Novel Polifonik", yang dihimpun dalam buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (2010), Tito Suwondo menyebut bahwa dalam novel itu “terlihat ada usaha mengobjektivikasi atau melemahkan keberadaan suara/gagasan perempuan.”

Istilah novel polifonik dalam telaah Suwondo berasal dari Mikhail Bakhtin, seorang ahli sastra Rusia yang aktif pada awal 1920-an. Istilah ini—sering juga disebut "poliglosia" atau "polivalen"—muncul ketika Bakhtin menelaah prosa-prosa Fyodor Dostoyevsky.

Suwondo menambahkan bahwa sebagai sebuah genre sastra, novel polifonik tidak berhubungan dengan tema, bentuk, isi, atau sesuatu yang memberi tahu tentang realitas, tetapi hanya berhubungan dengan pengertian sosial yang dimiliki oleh teknik wacana.

Melalui pendekatan inilah Suwondo menyebut bahwa Belenggu menjadi salah satu indikasi akan hadirnya novel polifonik. Sebab di dalam novel ini ada upaya untuk mengedepankan berbagai perilaku karnaval, di antaranya dalam bentuk petualangan, berbagai adegan skandal, utopia sosial, dan perilaku tokoh yang tidak biasa.

“Hanya saja, karena di sepanjang plot suara/gagasan pengarang begitu dominan, yakni suara/gagasan (keinginan) untuk menyamakan hak laki-laki dan perempuan, tokoh-tokohnya pun (Tono, Tini, dan Yah) akhirnya hanya menjadi boneka, menjadi wayang, dan mulut mereka sepenuhnya menjadi corong suara pengarang,” tambahnya.

Sebagai contoh, Suwondo menyoroti sikap Tini yang binal dan eksentrik. Hal ini menurutnya digunakan Armijn semata-mata sebagai alat untuk mengoposisi dominasi dan superioritas laki-laki. Terlebih, lantaran Armijn Pane sebagai pengarang Belenggu adalah laki-laki yang membantu perempuan memperjuangkan hak-haknya dengan cara menulis novel ini, mempertegas ada upaya melemahkan keberadaan suara perempuan.

“Dengan kata lain, disadari atau tidak, lewat novel ini Armijn Pane justru semakin mengukuhkan (melegitimasi) bias atau ketidakadilan gender,” ujar Suwondo.

Kegelisahan dan Hari Tua

Armijn Pane adalah Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama-nama pena itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Selain itu, ia juga masih punya nama samaran lain, yaitu Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono.

Sastrawan kelahiran 18 Agustus 1908 di Muarasipongi, Tapanuli Selatan ini adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya, Sutan Panguraban Pane, adalah seniman daerah yang membukukan cerita daerah berjudul Tolbok Haleoan. Sutan juga aktivis pergerakan nasional di Palembang. Armijn pernah kecewa kepada ayahnya karena persoalan rumah tangga. Kekecewaan ini barangkali memengaruhi Armijn dalam keputusan-keputusannya, dan membuat ia kerap gelisah.

“Armijn seperti yang saya kenal dahulu memberikan kesan kegelisahan selalu, yang mirip pada ketakstabilan jiwa. Meskipun ketika itu usianya sudah hampir setengah abad dan saya sendiri masih 16 jalan 17 tahun, namun kesan itu sangat terasa,” tulis Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain (2010).

Meski Ajip mengakui bahwa kesannya itu entah memang benar, objektif, atau hanya akibat dari kegelisahan jiwanya sendiri yang masih diamuk pancaroba remaja, namun ia menawarkan riwayat Armijn Pane yang menurutnya bisa digunakan untuk meraba pedalaman pengarang Belenggu tersebut.

“Tapi kalau kita teliti riwayat hidupnya Armijn memang menunjukkan adanya kegelisahan jiwa itu: yang juga nampak dalam karangan-karangannya, dalam kalimat-kalimatnya, dan dalam jalan pikirannya yang sering dianggap oleh sebagian peneliti sastra Indonesia sebagai 'meloncat-loncat semaunya saja', sulit diikuti,” tambah Ajip.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/15/infografik-mozaik-armijn-pane_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Mozaik Armijn Pane" /

Penggagas Hadiah Sastra Rancage itu bahkan menganggap riwayat pendidikan dan karier Armijn yang loncat-loncat sebagai potret kegelisahan jiwa itu.

Armijn mula-mula sekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda untuk bumiputra) di Padangsidempuan dan Tanjungbalai, kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS, sekolah dasar untuk orang Eropa dan elit pribumi) di Sibolga dan Bukittinggi. Pendidikan menengahnya dilanjutkan ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA, sekolah kedokteran) di Batavia, tapi segera pindah ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menegah umum untuk bumiputra dan timur asing) di Surakarta dan mengambil jurusan sastra klasik Barat.

Dalam hal karier, Armijn juga tak pernah menetap. Ia pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932), lalu mingguan Penindjaoean (1934), kemudian surat kabar Bintang Timoer (1935). Setelah itu, Arimijn menjadi wartawan lepas.

Di Poedjangga Baroe, ia juga tidak lama. Sempat pergi, tapi kemudian kembali lagi meski tidak menetap. Ia juga sempat menjadi pamong Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur dan menjelang Jepang masuk ke tanah air ia pernah duduk sebagai redaktur Balai Pustaka.

Saat pendudukan Jepang, Armijn Pane beserta Sanusi Pane bekerja di Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan). Bersama Usmar Ismail, Idrus, Cornel Simandjuntak, dan lain-lain, ia menulis sandiwara-sandiwara dan lagu-lagu yang sesuai dengan kebutuhan propaganda Jepang. Golongan ini bersimpang jalan dengan para pengarang muda seperti Amal Hamzah dan Chairil Anwar. Drama satire "Tuan Amin" karangan Amal Hamzah yang dimuat di Pembebasan Pertama konon merupakan karikatur Armijn Pane.

Di tahun-tahun akhir masa hayatnya, Armijn masih mengerjakan beberapa karya. Menurut penuturannya kepada Ajip saat bertemu di pengujung 1969, ia tengah mengerjakan tiga buah roman: sebuah tentang kehidupan tahun 1927-an, yang kedua tentang kehidupan tahun 1935-an, dan yang satu lagi tentang keadaan sekarang.

“Bagian akhirnya sudah siap. Tinggal tengahnya, karena saya menyusun roman selalu dari ujung dahulu. Kalau bagian akhir sudah siap, baru saya mulai mengerjakan awalnya. Kemudian kedua ujung itu saya cari titik pertemuannya di tengah,” kata Armijn pada pertemuan mereka berikutnya.

Ketika hayatnya pungkas pada 16 Februari 1970, tepat hari ini 48 tahun silam, dalam usia 62, karya yang dibicarakan Armijn itu belum selesai. Seperti diungkap dalam laman Badan Bahasa, Armijn dikabarkan mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari.

Armijn Pane dimakamkan di Karet, Jakarta. Pusaranya berdampingan dengan makam sang kakak, Sanusi Pane, yang meninggal dua tahun sebelumnya.

Pembaruan dan pendobrakan belenggu zaman telah ia kerjakan. Di Karet, kegelisahan-kegelisahannya harus berakhir.

Baca juga artikel terkait SASTRA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan