Menuju konten utama

Berkah Ibadah Puisi untuk Joko Pinurbo di Patjarmerah Kecil

Tahun 2019, pertama kali patjarmerah diadakan, Jokpin adalah penyair Indonesia pertama yang mengiyakan ajakan kolaborasi patjarmerah.

Berkah Ibadah Puisi untuk Joko Pinurbo di Patjarmerah Kecil
Patjar Merah. foto/Icha

tirto.id - Ritual “Ibadah Puisi untuk Joko Pinurbo” berlangsung khusyuk, menandai berakhirnya kegiatan festival literasi patjarmerah kecil di Pos Bloc, Jakarta Pusat, Minggu malam (7/7/2024).

Di hadapan seratusan orang yang duduk anteng di area Panggung Patjar, Windy Ariestanty dan Reda Gaudiamo, duo sosok yang mengarsiteki patjarmerah kecil, bercerita soal pertemuan terakhir mereka dengan Jokpin, sapaan Joko Pinurbo.

“Dua hari sebelum Mas Jokpin meninggal, saya dan Mbak Reda mengunjunginya. Selama dua jam kami ngobrol, hanya puisi yang Mas Jokpin bicarakan,” kata Windy.

Windy menerangkan alasan mengapa patjarmerah kecil dipungkas dengan satu sesi khusus buat Jokpin. Tahun 2019, ketika patjarmerah memulai kiprahnya sebagai festival literasi keliling, Jokpin adalah penyair Indonesia pertama yang berkata iya menyambut ajakan kolaborasi patjarmerah.

“Saat itu, Mas Jokpin mengisi workshop bertema menjernihkan puisi, di sebuah bangunan tua, diikuti ratusan orang, berlangsung tiga jam, dan tak seorang pun keluar sampai acara selesai,” ungkap Windy.

Sejak patjarmerah eksis, Jokpin selalu membersamai kegiatan ini sepanjang ia bisa. Maret tahun lalu, ketika patjarmerah diadakan di Solo, Jokpin masih berkenan mengisi workshop. Atas dasar itulah patjarmerah kecil—event yang diselenggarakan khusus buat mengenalkan buku dan literasi kepada anak-anak lewat berbagai suguhan menyenangkan—memberi ruang istimewa buat Jokpin, “Sang Penyair Celana”.

“Ibadah Puisi untuk Joko Pinurbo dibuat sekalian merayakan kelahiran patjarmerah kecil. Kita bersedih kehilangan Jokpin, tapi kita yakin Jokpin sudah bahagia bersenang-senang di atas sana,” pungkas Windy.

Di mata Reda Gaudiamo, Jokpin adalah sosok yang sangat santai, humoris dan hangat, serta percaya bahwa semua persoalan bisa diselesaikan dengan ngobrol. Di sela acara, selain melantunkan puisi “Hatiku Selembar Daun” karya Sapardi Djoko Damono, Reda juga menyanyikan “Tentang Mata” karya Joko Pinurbo.

Bahkan dengan sebuah ukulele yang dipetiknya sendiri, lengking suara Reda tetap saja terasa magis dan membuai, bikin takjub penonton.

“Ibadah Puisi untuk Joko Pinurbo” diisi pembacaan penampilan musik William Sihombing dan Reda Gaudiamo, serta pembacaan puisi oleh Beni Satryo, Yoga Palguna, Muhaimin Nurrizqy, Fariq Alfaruqi, Aldiansyah Azura, Putri Minangsari, dan Theoresia Rumthe.

Semua penampil menyampaikan kesan-kesan mereka terhadap Jokpin. Beni Satryo, penyair yang menurut Windy Ariestanty namanya masih disebut-sebut Jokpin dalam obrolan terakhir, membacakan puisi pendek dari kumpulan Kepada Cium (2007).

Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?

Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan

dari cengkraman luka.

“Puisi ini pendek, tapi lukanya panjang,” kata Beni, dengan suara bergetar.

Yoga Palguna, Fariq Alfaruqi, dan Muhaimin Nurrizqy sependapat bahwa Joko Pinurbo adalah penyair yang sangat akrab dengan bahasa Indonesia. Keterampilan Jokpin memilih diksi sanggup menghasilkan puisi-puisi sederhana yang sarat kejutan. Di tangan Jokpin, kata-kata yang tampak biasa, jauh dari kesan canggih, justru menjadi elemen penting dalam keutuhan semesta puisinya.

“Puisi-puisi Jokpin harus dibaca dan dinikmati dalam bahasa Indonesia. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, nuansa dan sensasinya belum tentu sama,” ungkap Imin, sapaan Muhaimin Nurrizqy, pemenang sayembara manuskrip buku puisi Dewan Kesenian Jakarta 2023.

Selain “Kamus Kecil” yang fenomenal, puisi yang dibacakan Imin juga membuktikan pernyataannya itu.

Dongeng Puisi

Ketika saya lahir, Tuhan sedang menulis puisi

dan minum kopi dan listrik mendadak mati.

Saat itu bahasa Indonesia masih sangat muda

dan pedomaan ejaannya belum sempurna.

“Keren juga ini bahasa,” Tuhan berkata, “dapat

membuat negeri yang rumit menjadi cantik pada waktunya.”

Kata-kata berdatangan dari berbagai penjuru,

awalan ber- dan me- bermunculan pula,

dan Tuhan melihat semua itu asyik adanya.

Di depan kata mengarang Tuhan berseru,

“Di atas karang kudirikan puisiku.

Di atas karang kubakar arang untuk menjerang air kopiku.”

Kemudian gelap. Tuhan meraih kata kopi

dan melemparkannya ke bumi. Listrik menyala.

Hujan kopi lembut berderai di atas rumah saya.

Gestur yang Baik

Penari Putri Minangsari menggarisbawahi sosok Jokpin sebagai penyair besar yang rendah hati. Ingatan Putri akan Jokpin hinggap pada suatu peristiwa ketika ia mengikuti workshop penulisan puisi yang diampu Jokpin di Jakarta.

“Mas Jokpin menyapa saya duluan, sekalipun saya bukan siapa-siapa. Beliau juga berkenan mengomentari puisi-puisi yang saya tulis, kebanyakan dalam bahasa Inggris,” ungkap Putri.

Theoresia Rumthe menyebut Joko Pinurbo sebagai penyair penting dalam perjalanannya menulis puisi, yang dimulai circa 20 tahun lalu.

“Karya-karya Mas Jokpin adalah karya-karya yang harus saya tempatkan dalam pohon silsilah kepenyairan saya,” ungkap Theo, panggilan Theoresia Rumthe. Theo membacakan puisi terakhir yang ditulis Jokpin, dipublikasikan di jurnal Mancis (2024).

Dibanding para penampil lain yang punya pengalaman personal bertemu Jokpin, Aldiansyah Azura adalah anomali: ia belum pernah bersua dengan penyair yang kurus dan kalem itu. Namun begitu, Jokpin dan puisi-puisinya tetap punya ruang tersendiri di hati Aldiansyah.

“Dari teman-teman yang pernah bertemu Mas Jokpin, saya tahu bahwa Mas Jokpin adalah penyair yang sangat terbuka pada anak-anak muda, juga pada berbagai bentuk baru puisi Indonesia. Dari Mas Jokpin pula saya belajar bahwa puisi bisa ditulis dengan santai, dengan tema-tema yang tidak selalu harus serius,” papar Aldiansyah.

Aldiansyah membacakan salah satu puisi Jokpin, lalu satu puisinya sendiri, “Wasiat Calon Mayat Ngondek”. Dengan pembacaan yang cetar tapi tetap natural, tidak lebay, puisi yang termaktub dalam kumpulan Akika Ya Eyke! (Anagram, 2024) tersebut mendapat sambutan meriah dari penonton. Mereka meminta Aldiansyah membacakan puisinya lagi dan lagi.

“Seperti kata Mbak Windy, Mas Jokpin sedang bersenang-senang di atas sana, dan semoga dia turut gembira mendengar puisi saya,” ungkap Aldiansyah, setelah memenuhi permintaan penonton dengan membacakan puisinya yang lain, “Naif”.

Sebagai manusia, Joko Pinurbo boleh meninggal, dan itu wajar. Namun sebagai penyair, namanya abadi. Pesona puisi-puisi Jokpin seperti tak kenal ruang dan waktu. Mereka sanggup menyihir pembaca, bahkan setelah penyairnya tiada. Masuk akal jika pada prosesi pemakamannya, Minggu, 28 April 2024 (bertepatan dengan tanggal kelahiran Chairil Anwar), jenazah Jokpin diantar dan ditangisi banyak orang.

Sebagaimana kali pertama Jokpin mengisi workshop patjarmerah perdana di Yogyakarta, lima tahun lalu, tak satu pun hadirin beranjak meninggalkan tempat duduknya dalam ritual “Ibadah Puisi untuk Joko Pinurbo” yang berlangsung nyaris 2 jam itu.

Sungguh sebuah gestur yang baik—sekaligus sarat penghormatan—bagi kegiatan baca puisi yang tak jarang dianggap publik sebagai aktivitas yang tak jelas faedahnya.

Baca juga artikel terkait PATJARMERAH KECIL 2024 atau tulisan lainnya dari Zulkifli Songyanan

tirto.id - Mild report
Penulis: Zulkifli Songyanan
Editor: Nuran Wibisono