Menuju konten utama
Sains Populer

Manfaat Menimbun Buku Meski Tak Segera Dibaca, Menurut Studi

Menimbun buku nyatanya bukan semata-mata tentang malas membaca, namun juga cara aktif untuk meningkatkan literasi & memperluas wawasan, kata studi.

Manfaat Menimbun Buku Meski Tak Segera Dibaca, Menurut Studi
Ilustrasi PErpustakaan. foto/IStockphoto

tirto.id - Bagi sebagian orang, memiliki banyak buku yang belum sempat dibaca bisa menimbulkan rasa bersalah. Namun, studi terbaru justru menunjukkan bahwa menimbun buku memiliki berbagai manfaat, termasuk dapat menjadi bagian penting dari perjalanan literasi seseorang.

Kebiasaan membeli buku tanpa segera membacanya, yang dikenal dengan istilah tsundoku dalam budaya Jepang, mungkin terdengar seperti perilaku yang tidak produktif bagi sebagian orang.

Namun, kebiasaan ini justru memiliki potensi besar untuk meningkatkan literasi dan memperluas wawasan kita dalam jangka panjang. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi berbagai manfaat tsundoku dalam meningkatkan literasi, serta bagaimana kebiasaan ini dapat memperkaya kehidupan pembacanya.

Apa Itu Tsundoku?

Tsundoku adalah istilah Jepang yang terdiri dari dua kata, yaitu tsunde-oku, yang berarti “membiarkan sesuatu menumpuk,” dan dokusho, yang berarti “membaca buku.”

Secara harfiah, tsundoku menggambarkan kebiasaan seseorang yang membeli buku, namun membiarkannya menumpuk tanpa langsung membacanya.

Profesor Andrew Gerstle, yang mengajar mata kuliah khusus mengenai teks-teks Jepang pra-modern di University of London, juga memberikan penjelasan serupa. Dalam laporan BBC berjudul Tsundoku: The Art of Buying Books and Never Reading, ia menyebutkan bahwa istilah "Tsundoku" muncul di media cetak sekitar tahun 1879, yang menurutnya menunjukkan bahwa kata ini kemungkinan telah digunakan sejak sebelum itu. Di Jepang, istilah ini pada awalnya digunakan sebagai sindiran terhadap guru-guru yang memiliki banyak buku tetapi tidak sempat membacanya.

Namun, dalam perkembangannya, tsundoku tidak lagi memiliki konotasi negatif. Sebaliknya, semakin banyak orang yang mulai melihat nilai dari kebiasaan ini, terutama dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan literasi dan pengetahuan. Menumpuk buku yang belum dibaca sebenarnya dapat menciptakan ruang intelektual yang memungkinkan seseorang untuk terus berkembang dan memperkaya dirinya.

Tsundoku dan Konsep Anti-Perpustakaan

Ilustrasi Perpustakaan

Ilustrasi PErpustakaan. foto/Freepik

Dalam buku The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, penulis dan ahli statistik Nassim Nicholas Taleb memperkenalkan konsep anti-library atau anti-perpustakaan. Konsep anti-library ini menunjukkan bahwa buku-buku yang belum dibaca memiliki nilai yang sangat besar karena mereka mewakili semua hal yang belum kita ketahui. Dengan melihat koleksi buku yang belum dibaca di rak, kita diingatkan akan betapa banyak hal yang belum kita pelajari, sehingga mendorong rasa ingin tahu dan semangat untuk terus belajar.

Taleb menggambarkan bagaimana seorang tokoh terkemuka, Umberto Eco, seorang penulis dan akademisi yang memiliki perpustakaan pribadi dengan lebih dari 30.000 buku, memandang koleksi bukunya bukan sebagai cerminan dari apa yang telah ia ketahui, tetapi sebagai dorongan untuk terus belajar lebih banyak lagi. Buku-buku yang belum dibaca di perpustakaannya berfungsi sebagai pengingat yang terus-menerus akan pengetahuan yang masih harus ia peroleh.

Dengan memadukan konsep tsundoku dan anti-library, kita bisa memahami bahwa kebiasaan menumpuk buku yang belum dibaca tidak perlu dianggap sebagai beban atau sumber rasa bersalah, melainkan sebagai sumber motivasi untuk terus belajar.

Manfaat Tsundoku dalam Meningkatkan Literasi

Memupuk Kebiasaan Literasi Jangka Panjang

Kebiasaan literasi yang baik bukan hanya tentang seberapa cepat kita bisa membaca buku, tetapi juga tentang bagaimana kita mempertahankan minat baca secara konsisten sepanjang hidup. Tsundoku memainkan peran penting dalam hal ini dengan menjaga kehadiran buku di lingkungan kita sehari-hari, meskipun belum dibaca. Kehadiran buku fisik ini menjadi pengingat visual untuk terus membaca dan memperluas pengetahuan.

Penelitian dari Australian National University menunjukkan bahwa tumbuh di rumah penuh buku memiliki dampak signifikan pada literasi, numerasi, dan keterampilan teknologi di masa dewasa. Dengan menganalisis data dari lebih 160.000 orang dewasa di 31 negara, studi ini menemukan bahwa paparan minimal 80 buku selama masa remaja meningkatkan kemampuan kognitif, bahkan melampaui efek pendidikan formal. Remaja dengan perpustakaan rumah yang kaya memiliki keterampilan setara lulusan universitas, meskipun hanya berpendidikan menengah bawah. Buku fisik juga terbukti mendukung kompetensi digital, meski dunia semakin beralih ke budaya digital.

Dengan menumpuk buku di rak, kita juga menciptakan lingkungan yang kaya akan literasi. Buku yang belum dibaca dapat menjadi daya tarik visual yang merangsang rasa ingin tahu dan minat baca. Seseorang yang memiliki koleksi tsundoku akan selalu diingatkan untuk meluangkan waktu untuk membaca, bahkan jika tidak langsung. Ini membangun kebiasaan literasi yang berkelanjutan dan memberikan kesempatan untuk mengejar literasi seumur hidup.

Manfaat Tsundoku dalam Mengatasi Efek Dunning-Kruger

Dalam artikel Why You Should Surround Yourself With More Books Than You'll Ever Have Time to Read, penulisnya,Jessica Stillman menjabarkan apakah antilibrary berfungsi sebagai penangkal efek Dunning-Kruger, yaitu bias kognitif yang membuat orang yang kurang pengetahuan menganggap bahwa pengetahuan atau kemampuan mereka lebih baik daripada yang sebenarnya.

Karena manusia cenderung tidak suka diingatkan tentang ketidaktahuannya, buku-buku yang belum dibaca mendorong mereka untuk, jika tidak mencapai penguasaan, setidaknya memperoleh pemahaman yang semakin luas tentang kompetensi.

"Semua buku yang belum Anda baca memang merupakan tanda ketidaktahuan Anda. Namun, jika Anda tahu seberapa besar ketidaktahuan Anda, Anda jauh lebih unggul dibandingkan sebagian besar orang lain," tulis Stillman.

Meningkatkan Minat Baca dan Keterbukaan terhadap Berbagai Topik

Ilustrasi Perpustakaan

Ilustrasi PErpustakaan. foto/Freepik

Salah satu manfaat utama dari tsundoku adalah kemampuannya untuk memperluas minat baca seseorang. Dengan membeli buku dari berbagai topik dan genre, meskipun belum dibaca, kita memperkaya diri dengan beragam pilihan untuk dipelajari di masa depan. Ketika akhirnya waktu untuk membaca tiba, kita memiliki banyak opsi untuk dipilih sesuai dengan minat yang sedang kita rasakan saat itu. Hal ini dapat mendorong keterbukaan terhadap berbagai bidang pengetahuan yang sebelumnya mungkin tidak kita pertimbangkan.

Misalnya, seseorang yang membeli buku tentang ilmu pengetahuan alam, filsafat, sastra klasik, dan sejarah mungkin tidak akan membaca semuanya sekaligus. Namun, dengan memiliki berbagai buku dari topik yang berbeda, mereka menciptakan kesempatan untuk mengeksplorasi minat baru yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tsundoku memungkinkan kita untuk terus mengejar rasa ingin tahu dan mengembangkan ketertarikan pada topik yang beragam.

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

Salah satu cara tsundoku meningkatkan literasi adalah dengan memberikan paparan terhadap berbagai ide dan perspektif. Ketika kita membeli buku dari berbagai topik, bahkan sebelum membacanya, kita secara tidak langsung memaparkan diri kita pada ide-ide yang beragam. Hal ini membantu kita mengembangkan kemampuan berpikir kritis karena kita mulai terbiasa mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan argumen yang mungkin belum pernah kita pertimbangkan sebelumnya.

Sebagai contoh, seseorang yang memiliki koleksi buku tentang sejarah dunia, sains, dan filsafat akan memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi topik-topik tersebut dari berbagai perspektif yang berbeda. Ketika mereka akhirnya membaca buku-buku tersebut, mereka akan lebih siap untuk menghubungkan informasi yang mereka peroleh dari satu buku dengan buku lain, sehingga memperdalam pemahaman mereka dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Membantu Mengurangi FOMO (Fear of Missing Out)

Bagi banyak orang, tsundoku adalah cara untuk meredakan perasaan cemas yang timbul dari rasa takut ketinggalan (Fear of Missing Out, atau FOMO) terhadap informasi dan pengetahuan. Dengan membeli buku yang belum sempat dibaca, kita memberi diri kita waktu dan ruang untuk mempelajari hal-hal tersebut di masa depan, tanpa merasa terburu-buru untuk mengikuti tren atau informasi terbaru.

Membangun Rasa Rendah Hati Intelektual

Salah satu pelajaran paling penting yang diajarkan oleh tsundoku adalah bahwa semakin banyak kita belajar, semakin kita menyadari betapa banyak hal yang masih belum kita ketahui. Ini adalah konsep yang disebut "kerendahan hati intelektual" — pengakuan bahwa pengetahuan kita terbatas, dan selalu ada lebih banyak hal untuk dipelajari.

Buku-buku yang belum dibaca berfungsi sebagai pengingat akan keterbatasan pengetahuan kita dan memotivasi kita untuk terus belajar. Alih-alih merasa puas dengan apa yang sudah kita ketahui, tsundoku mendorong kita untuk tetap rendah hati dan terbuka terhadap pengetahuan baru. Hal ini menciptakan pola pikir pembelajaran seumur hidup yang sangat penting untuk meningkatkan literasi.

Tsundoku bukanlah tanda kegagalan atau kemalasan dalam membaca, melainkan cara untuk meningkatkan literasi, memperluas wawasan, dan menjaga semangat belajar yang berkelanjutan. Dengan mengadopsi kebiasaan ini, kita tidak hanya memperkaya koleksi buku kita, tetapi juga memperkaya diri kita sendiri dengan berbagai ide, perspektif, dan pengetahuan baru.

Infografik Tsundoku

Infografik Tsundoku. tirto.id/Nadya

Baca juga artikel terkait SAINS POPULER atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Edusains
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Iswara N Raditya