tirto.id - Beberapa tahun lalu, penulis Ceridwen Dovey mendapat hadiah tiket konsultasi terapi dari School of Life. Lembaga yang bermarkas di London ini terkenal karena terapi inovatif untuk membantu orang menghadapi tantangan emosional di kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan terapi psikologi lain, School of Life menyodorkan buku sebagai terapinya.
Meskipun sempat ragu, Dovey memutuskan untuk mencoba. Ia kemudian berkenalan dengan Ella Berthoud, terapis yang akan mendampinginya. Sebagai permulaan Berthoud menyodorkan serangkaian kuesioner. Dovey yang mulanya skeptis menjadi tertarik oleh pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner itu.
Melalui kuesioner, Dovey diminta menjelaskan kebiasaan membaca dan bacaan-bacaannya selama ini. Tak ketinggalan pula tentang bagaimana Dovey memandang kehidupannya kala itu. Juga persoalan apa yang membuatnya galau.
“Aku terkejut dengan pengakuanku sendiri: aku khawatir tak punya daya melawan kesedihan jika kelak kehilangan seseorang yang kucintai. Aku bukan seorang religius, dan tak begitu ingin juga, tapi aku ingin membaca lebih banyak tentang refleksi orang lain tentang keimanan. Begitulah, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu saja cukup membuatku merasa lebih enteng,” ungkap Dovey dalam artikelnya untuk The New Yorker, “Can Reading Make You Happier?”.
Kuesioner itu masih berlanjut dengan beberapa kali percakapan email. Berthoud menggali lebih dalam lagi soal kehidupan keluarga Dovey dan juga ketakutannya pada kesedihan. Ketika sesi tanya-jawab itu beres, Berthoud menyodorkan sebuah daftar bacaan kepada Dovey.
Dalam daftar itu ada novel The Guide karya R.K. Narayan yang dibubuhi catatan: "cerita yang indah tentang seorang pria yang mulanya bekerja sebagai pemandu wisata di sebuah stasiun kereta api di Malgudi, India, tetapi kemudian melewati banyak pekerjaan lain sebelum menemukan takdir yang tak terduga sebagai seorang pembimbing spiritual".
Lalu ada The Gospel According to Jesus Christ karya José Saramago. Lagi-lagi dengan catatan dari Berthoud: "Saramago tidak mengungkapkan pendirian spiritualnya tapi menggambarkan versi paling hidup dan menarik dari cerita yang sudah jamak diketahui”.
Dalam daftar itu masih ada prosa Henderson the Rain King karya Saul Bellow dan Siddhartha karya Hermann Hesse. Berthoud juga menyertakan beberapa nonfiksi macam The Case for God karya Karen Armstrong dan Sum karya neurosaintis David Eagleman.
“Kusuntuki buku-buku itu selama beberapa tahun berikutnya, dengan kecepatan baca saya sendiri—diselingi dengan buku temuanku sendiri [...] Sejauh ini, wawasan dari buku-buku itu membantuku melalui sakit fisik akut selama beberapa bulan,” tulis Dovey.
Sebagian besar orang membaca untuk belajar atau hiburan. Padahal, sebagaimana dikisahkan Dovey, membaca buku juga memiliki efek terapeutik. Dengan pilihan buku yang tepat, membaca dapat menjadi sarana penurun stres dan membantu meringankan depresi.
Sejak Zaman Yunani Kuno
Terapi bacaan alias biblioterapi sebenarnya bukan jenis terapi baru. Penggunaan teks sebagai terapi sudah dipraktikkan setidaknya sejak masa Yunani kuno. Namun, pengembangan terapi ini secara saintifik dimulai pada abad ke-19.
Debbie McCulliss dalam “Bibliotherapy: Historical and Research Perspectives” yang terbit melalui Journal of Poetry Therapy (2012) menyebut bahwa Benjamin Rush, bapak psikiatri Amerika Serikat, adalah yang pertama kali merekomendasikan bacaan sebagai bagian dari terapi untuk pasien gangguan mental pada 1802. Rekomendasinya meliputi buku-buku yang menghibur atau bacaan sains (hlm. 24).
Sejak akhir abad ke-19 rumah sakit di Eropa umumnya telah membangun perpustakaan khusus untuk pasiennya. Di AS, pada 1904, Kathleen Jones, pustakawan Perpustakaan Rumah Sakit McLean, menyarankan agar para pustakawan juga belajar keterampilan untuk membantu pasien memilih bacaan untuk membantu pasiennya melewati masa hospitalisasi.
Namun, istilah biblioterapi sendiri baru muncul pada 1916. Kata tersebut diperkenalkan Samuel McChord Crothers. Dewasa itu, terapi atau konseling bagi penderita gangguan kejiwaan sudah cukup lazim. Definisi formal biblioterapi lalu masuk dalam edisi ke-11 Dorland’s Illustrated Medical Dictionary pada 1941.
Definisi biblioterapi yang baku dan diterima hingga kini adalah definisi yang tercantum dalam Webster’s Third New International Dictionary pada 1961. Di situ disebutkan bahwa biblioterapi adalah penggunaan bahan bacaan terpilih sebagai terapi tambahan dalam kedokteran dan psikiatri. Biblioterapi juga disebut panduan pemecahan masalah pribadi melalui bacaan yang diarahkan (hlm. 23).
Membangun Pikiran Positif
Jenni Ogden, neuropsikolog klinis dan pengajar Universitas Auckland, di laman Psychology Today menyarankan, “Jika Anda sedang bergumul dengan masalah hidup, pertimbangkan ikut sekali sesi biblioterapi lalu teruskan dengan menyuntuki bacaan yang dianjurkan, daripada ikut berbulan-bulan sesi terapi mingguan dengan psikolog kognitif atau psikoterapis.”
Seperti dikisahkan Dovey, biblioterapi diawali dengan diskusi soal masalah yang dihadapi klien dan buku-buku apa yang dekat dengannya. Dari sanalah biblioterapi mengidentifikasi masalah kliennya. Buku-buku yang kemudian dipilih diarahkan untuk membantu klien memahami dirinya, membangun pikiran positif, dan keterampilan menemukan solusi atas masalah psikis yang dihadapi. Seorang biblioterapis akan membantu klien menemukan perspektif baru bagi klien melalui bacaan-bacaan anyar yang relevan dan sebelumnya tak mereka sentuh.
Herlina, Dosen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia, dalam makalah "Biblioterapi Sebagai 'Curative Cure' di Rumah Sakit" (2015, PDF) menyebut bahwa selama terapi klien akan diajak membaca tentang seorang tokoh yang mirip dirinya dari sebuah buku. Dengan membaca konflik-konflik yang dihadapi si tokoh dan penyelesaian yang ditempuhnya, klien akan memperoleh wawasan baru tentang masalah pribadinya.
“Biblioterapi merupakan teknik yang sangat bagus untuk merangsang munculnya diskusi tentang suatu masalah yang mungkin tidak didiskusikan karena adanya rasa takut, bersalah, dan malu. Membaca tentang sebuah karakter dalam fiksi yang mengatasi masalah yang mirip dengan masalah yang dihadapinya menjadikan pasien/klien terbantu mengungkapkan secara lisan perasaannya tentang masalah yang ia hadapi kepada terapis,” tulis Herlina.
Karenanya, biblioterapi lebih banyak menggunakan buku fiksi, meskipun nonfiksi juga kadang direkomendasikan. Fiksi punya efek terapuetik lebih baik daripada nonfiksi karena meningkatkan kemampuan seseorang untuk berempati, mempertajam intuisi, dan memudahkan berefleksi.
“Saat kita menemukan diri kita menangis karena karakter dalam cerita, kita seakan menangisi diri sendiri, itu semacam katarsis. Ketika si karakter menemukan kebahagiaan pada akhirnya, mungkin kita juga bisa. Ketika cerita menjatuhkan kita ke dalam badai, kita belajar dari itu,” terang Ogden.
Bukan Terapi Utama
Meskipun terkesan menyenangkan dan berdampak positif, biblioterapi juga punya keterbatasan. Yang paling mendasar, sebagaimana disebut dalam definisinya, biblioterapi hanyalah terapi tambahan. Ia mengikut pada terapi psikologi utama yang diberikan kepada klien, seperti Cognitive Behavioural Therapy.
Herlina menyebut biblioterapi juga akan sulit diterapkan kepada mereka yang memang sejak awal bukan pecandu buku. Dampaknya bagi kelompok ini pun tak terlampau signifikan. Alih-alih menolong, klien justru akan lebih frustrasi jika biblioterapis gagal memahami kliennya atau keduanya tak menemukan kecocokan.
Biblioterapi paling efektif diterapkan pada klien usia remaja yang suka membaca. Kemampuan kognitif mereka cukup dan pola pikirnya masih bertumbuh. Pada klien yang lebih matang, klien sulit mengidentifikasikan diri dengan karakter dalam buku dan bisa saja memunculkan proyeksi yang justru membuatnya memilih lari dari tanggung jawab mengatasi masalah. Pada klien anak-anak, kesulitannya adalah kemampuan kognitif mereka masih terbatas.
“Biblioterapi tidak dapat mengatasi seluruh masalah, bahkan mungkin meningkatkan rasa takut, defense, dan meningkatkan rasionalisasi atas perubahan. Seseorang harus benar-benar mengingat bahwa biblioterapi bukanlah pengobatan ajaib untuk semua masalah,” tulis Herlina.
Editor: Ivan Aulia Ahsan