tirto.id - Memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang dan kerudung jambon, Sophia Mega menceritakan pengalamannya membaca buku-buku karya Raditya Dika. Perempuan berkacamata ini mengaku sempat tergila-gila dengan penulis tersebut.
“Aku sudah baca karya dia sejak kelas enam SD, umur sebelas tahun, dan sekarang aku udah mau dua puluh satu tahun. [Sudah] sepuluh tahun aku menikmati karya-karyanya, dan hampir selalu menikmati karya-karya lainnya selain buku,” ujarnya.
Setelah itu, ia bercerita tentang buku terbaru karya Raditya Dika yang berjudul Ubur-Ubur Lembur (2018). Sebelum membahas isi buku, Mega terlebih dahulu memperlihatkan buku tersebut, lalu menginformasikan dari mana ia membelinya, harganya berapa, mengomentari sampul buku tersebut dengan membandingkannya dengan buku-buku Raditya Dika yang lain, sampai mengomentari pembatas bukunya.
“Menurutku dia tetep lucu banget, tetep pecah, tapi banyak banget pesan moral, dan spesialnya di buku kali ini kalian gak cuman dapet tentang cinta atau keluarga, tapi ada beberapa hal yang jadinya kayak pengen nangis, gitu lho,” tuturnya.
Di kanal Youtube-nya, ia tak hanya meresensi buku, tetapi juga mengunggah kehadirannya di sejumlah acara peluncuran buku, perjalanannya mengunjungi beberapa toko buku, membuka kiriman-kiriman paket yang berisi buku, dan lain-lain.
Kegemaran Mega membaca buku telah dilakukannya sejak kecil. Setelah beranjak dewasa, meski tak punya target membaca setiap bulan, ia tetap rajin membeli buku. Hal tersebut membuat buku-bukunya yang belum dibaca semakin menumpuk. Agar buku-bukunya tak hanya memenuhi rak, ia akhirnya memotivasi diri untuk mulai meresensi buku. Dengan target itu, tentu saja ia harus membaca buku-bukunya.
Selain memublikasikan resensinya di blog, ia juga terpikir untuk meresensinya di kanal Youtube. Alasannya sederhana, ia sempat tak tahu bahwa di Youtube ada konten tentang buku.
“Kalau ada [konten] tentang make-up, kenapa enggak [bikin] tentang buku? Saat sudah bikin video, ternyata ada beberapa juga yang meresensi di Youtube dan akhirnya semakin semangat bikin konten yang sama,” katanya saat dihubungi Tirto.
Sama dengan Peresensi Lainnya
Dalam Berguru Pada Pesohor: Panduan Wajib Menulis Resensi Buku (2011) karya Diana AV Sasa dan Muhidin M. Dahlan, tema “resensi” dalam bahasa Latin disebut recensere, sementara dalam bahasa Inggris disebut review, dan bahasa Belanda menyebutnya recensie. Semua kata dalam bahasa asing tersebut artinya kurang lebih “melihat kembali, menimbang, atau menilai”. Sementara itu, “resensi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pertimbangan atau pembicaraan; ulasan”.
“Pengertian paling sederhana dari resensi buku adalah sebuah tulisan yang dihasilkan dari usaha seorang pembaca untuk memberikan komentar atas kesan buku yang sudah dibacanya. Komentar itu bisa berupa kritik dan pujian,” tulis mereka.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, resensi buku dianggap penting karena setidaknya memberikan dua manfaat. Pertama, memberi informasi kepada calon pembaca buku. Kedua, sebagai sarana promosi bagi penerbit buku, serta bagi penulis resensi—seperti ditulis Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan, yakni “usaha memperpanjang ingatan yang pendek dan mengabadikan kenangan yang fana”.
Lebih lanjut, kedua penulis ini mengurai keuntungan resensi buku bagi para peresensi. Pertama, keuntungan psikis: apabila resensi disambut pembaca, peresensi akan mendapat kebanggaan tersendiri sebab merasa memberi sesuatu kepada orang lain. Kedua, dari segi jaringan: konsistensi dalam meresensi buku akan menabung nama si peresensi di benak pembaca, dan jaringan pergaulan pun perlahan akan semakin meluas, termasuk dengan para penerbit buku.
Ketiga, secara ekonomis: sejumlah penerbit buku yang merasa bukunya dipromosikan lewat resensi yang dibaca luas oleh pemebaca, biasanya akan memberikan imbalan berupa buku dan sejumlah uang. Keempat, secara keilmuan: meresensi buku tentu saja dilalui dengan terlebih dulu membaca buku. Semakin banyak membaca buku, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat.
Jejak tentang pentingnya resensi buku terpacak dalam sejumlah media di Indonesia yang menyediakan ruang untuk timbangan buku. Sebagai contoh, ada rubrik “Rehal” di majalah Forum, “Pustakaloka” di Kompas, “Buku” dan “Bookaholic” di Jawa Pos, “Buku” dan “Iqra” di majalah Tempo, “Review” di The Jakarta Post, dan “Bookshelf” di radio Eltira.
Seiring makin pesatnya perkembangan teknologi informasi, kini resensi buku tak hanya terdapat di sejumlah media cetak dan radio yang hanya menyajikan teks dan suara, tapi juga di berbagai media sosial yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat.
Selain itu, karena setiap orang dapat memublikasikan karya resensinya tanpa harus melewati saringan meja redaksi, jumlahnya pun semakin membengkak dan gaya penyampaiannya kian beragam. Apa yang dilakukan oleh Sophia Mega di kanal Youtube dengan meresensi buku secara audio visual adalah salah satu contoh dari fenomena tersebut.
Meski media penyampaian berubah, beberapa manfaat yang didapatkan oleh peresensi tetap sama seperti peresensi yang menggunakan media tulis. Mega mengakui dirinya kerap dihubungi oleh penerbit yang meminta dirinya mengunggah video resensi buku terbitan mereka. Sebagai imbalannya, ada beberapa penerbit buku yang secara berkala mengirimkan buku baru kepadanya tanpa minta diresensi.
Begitu pula bagi para calon pembaca. Beberapa video resensi buku yang diunggah oleh mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang ini dikunjungi oleh seribu lebih pemirsa Youtube, yang di antaranya mencari informasi tentang buku-buku yang hendak mereka baca.
Meresensi buku secara audio visual di kanal Youtube tak hanya dilakukan oleh Sophia Mega. Ada banyak peresensilain yang melakukan hal yang sama, salah satunya adalah Dyhn Hanarun. Akun Dhyn sudah punya 1.200 pelanggan, lebih sedikit dari Mega yang diikuti 1.600 akun. Perempuan yang bekerja sebagai copywriter di sebuah agensi marketing digital di Bandung ini mulai mengunggah video resensinya mulai tahun 2014. Ia berangkat dari kebosanan menulis resensi buku di blog pribadinya.
“Awalnya karena mulai tahu tentang Youtube yang isinya ternyata bukan cuma trailer film, musik, video dan lain-lain. Dari situ nemu booktuber luar. […] Terus ternyata konten booktuber itu gak cuma review, masih ada topik lain yang jarang dibahas lewat blog dan kelihatannya lebih asyik kalo diliatin via media audio visual,” tuturnya kepada Tirto.
Di kanal Youtube-nya, Dhyn tak hanya meresensi buku, tapi juga menginformasikan buku apa saja yang ia beli setiap bulan, kehadirannya dalam acara temu pembaca dan penulis, dan mengunggah video game yang ia mainkan dengan cara mengisi beberapa percakapan dari serial Harry Potter karya J.K. Rowling.
Seperti Sophia Mega, aktivitas perbukuannya di kanal audio visual tersebut mengundang sejumlah penerbit yang meminta dirinya untuk mengunggah buku tertentu.
“Biasanya dapat buku yang di-review, uang juga pernah,” ujarnya menerangkan imbalan yang ia dapat saat memenuhi permintaan penerbit.
Meski Sophia Mega dan Dyhn Hanarun cukup rajin mengabarkan aktivitas perbukuannya lewat Youtube sebagai media audio visual menjadi rujukan utama dalam keputusan pembelian buku.
Mega lebih memilih Instagram untuk mencari informasi buku terbaru yang menarik, lalu ia memutuskan untuk melakukan pembelian. Sementara itu, Dhyn, meski terkadang mencari informasi buku lewat Instagram, Twitter, dan Youtube, pilihan utamanya adalah lewat Goodreads.
“Soalnya kan informasi buku yg mau terbit ada di sana [Goodreads] lebih dulu. Untuk buku yang lama juga begitu, biasanya ditambah juga rekomendasi dari teman atau orang lain yang selera bacanya sama dan dijadikan acuan,” kata Dhyn.
Jika dilihat dari media yang dipakai oleh kedua booktuber tersebut, media daring yang berbasis teks ternyata menjadi andalan utama untuk memutuskan pembelian buku, dan dari sana mendorong budaya baca. Kehadiran media yang berbasis audio visual kiranya hanya salah satu pemantik calon pembaca untuk mencari informasi tentang buku.
“Kalau sekarang sih sepertinya segala hal yang daring lebih ngasih pengaruh besar untuk mendorong budaya baca. Cakupannya lebih luas, bentuk promosinya juga bisa sekreatif mungkin,” pungkas Dhyn.
Editor: Maulida Sri Handayani