Menuju konten utama

Tsundoku: Membeli Banyak Buku tapi Tidak Membacanya

Memang ada orang-orang seperti ini. Apakah Anda termasuk salah satunya?

Tsundoku: Membeli Banyak Buku tapi Tidak Membacanya
Ilustrasi Tsundoku. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Anda pasti punya seorang kawan dari kawan dari kawan dari kawan Anda yang lain yang gemar sekali membeli buku. Jika ada sebuah pameran buku, Anda pasti akan menemuinya di sana tengah kepayahan menggotong berdus-dus buku yang baru dibeli. Jika Anda iseng memantau media sosialnya, tampilannya kurang lebih seperti katalog perpustakaan. Anda pun dibetot rasa penasaran: apa mungkin kawan dari kawan dari kawan dari kawan Anda yang lain itu membaca seluruh bukunya?

Anda jelas punya hak untuk penasaran, sebab di dunia ini memang ada orang-orang yang punya “kelainan” betah membeli buku tapi tidak membacanya. Dalam budaya Jepang, hal itu disebut: “Tsundoku”.

Berdasarkan keterangan dari laman Open Culture, istilah “Tsundoku” diketahui berasal dari zaman Meiji (1868-1912). Mulanya ditakik dari sebuah umpatan dalam bahasa Jepang "tsunde-oku" yang merupakan gabungan dari "tsunde-oku" (menumpuk dan meninggal) dan "dokusho" (membaca buku). Seiring berjalannya waktu, kata “oku” (おく) dalam kata “tsunde-oku” berganti menjadi “doku” (読) yang berarti membaca.

Penjelasan yang tak jauh berbeda juga dikemukakan oleh Profesor Andrew Gerstle, pengajar untuk mata kuliah khusus tentang teks-teks Jepang pra-modern di University of London. Dalam laporan BBC berjudul "Tsundoku: The Art of Buying Books and Never Reading", ia mengatakan bahwa istilah “Tsundoku” ditemukan di media cetak sekitar tahun 1879. Baginya, hal itu menandakan bahwa kata tersebut telah digunakan sebelumnya.

Kata "tsun" dalam "Tsundoku", masih seturut penjelasan Profesor Gerstle, berasal dari "tsumu"—sebuah kata yang kurang lebih berarti "menumpuk". Ketika disatukan, istilah "Tsundoku" memiliki arti “membeli bahan bacaan dan menumpuknya”. Ia mengatakan:

"Ungkapan 'Tsundoku Sensei' muncul dalam teks dari tahun 1879 menurut penulis Mori Senzo. (Kalimat) itu cenderung memiliki makna menyindir, yakni tentang seorang guru yang memiliki banyak buku tetapi tidak membacanya." Kendati cenderung satirikal, istilah “Tsundoku” sama sekali tidak menimbulkan stigma apapun di Jepang.

Istilah lain yang memiliki arti kurang lebih sama dengan “Tsundoku” adalah “Bibliomania”. Lorraine Berry, seorang blogger asal Inggris yang bekerja di Manchester City, sempat mengulas istilah “Bibliomania” tersebut dalam artikelnya di TheGuardian tertanggal 26 Januari 2017 yang berjudul "Bibliomania: The Strange History of Compulsive Book Buying".

Dengan menukil isi buku Bibliomania, or Book Madness: A Bibliographical Romance karya bibliografer Inggris Thomas Frognall Dibdin, Berry menyebut pada mulanya kebiasaan mengumpulkan buku merupakan hal biasa yang dilakukan para gentlemen di Inggris. Namun, lambat laun kebiasaan tersebut berubah menjadi semacam sikap obsesif untuk mengumpulkan buku terus-menerus. Seringkali buku-buku itu tidak dibaca atau bahkan dilihat kembali. Nahasnya lagi, penimbunan buku-buku tersebut menjadi cara untuk melarikan diri dari hubungan sekitar yang kurang baik.

Dalam laporan Atlas Obscura, Dibdin membagi pengidap masalah tersebut menjadi beberapa bagian: Mereka yang membeli buku edisi pertama; buku edisi asli; buku edisi “Blackletter” atau “Textura”; buku dengan ukuran kertas yang lebih besar; buku cetakan asli yang ujungnya belum dikenakan alat pengikat; buku dengan ilustrasi bergambar; buku yang cetakannya berlapis sutera; buku yang dicetak menggunakan “vellum” atau kertas dari kulit sapi muda.

Menariknya, Dibdin sendiri merupakan orang yang terobsesi dengan kondisi fisik sebuah buku. Dalam suratnya tahun 1815 yang diterbitkan oleh jurnal The North-American Review and Miscellaneous Vol. 2, No. 4, ia tampak begitu intens dan detil dalam menjelaskan mutu cetakan, kualitas kertas, termasuk rapi tidaknya penjilidan buku terkait. Dibdin bahkan turut meminta para pembaca membantunya menyelesaikan satu set volume The Bibliographical Decameron agar kualitas fisik buku tersebut menjadi jauh lebih indah.

Menyumbangkan 13.000 Buku & Membuang Ratusan Buku

Salah satu kasus penimbunan buku yang cukup menarik pernah diulas dalam artikel Hector Tobar dari Los Angeles Times berjudul "Are You a Book Hoarder? There's a Word for That". Tayang pada 24 Juli 2014, laporan tersebut menyoal kisah seorang lelaki tua di Sacramento, Amerika Serikat, bernama Frank Rose yang memiliki sekitar 13.000 buku.

Rose mulai terbiasa membeli buku sejak ia masih bekerja sebagai pegawai negeri. Hal itu ia lakukan agar setelah pensiun, ia dapat menghabiskan waktu untuk membaca buku sesuka hati. “Saya membeli banyak sekali buku, sehingga saya dapat membacanya ketika saya pensiun,” kata Rose kepada Los Angeles Times.

Hingga kemudian tibalah masa Rose pensiun. Ia kebingungan sendiri dengan buku-bukunya yang ternyata sudah berjumlah ribuan. Maka, Rose pun memberi tahu pihak Friends of the Arden-Dimick Library, salah satu perpustakaan publik di Sacramento, bahwa ia akan menyumbangkan seluruh bukunya tersebut setelah meninggal. Kala itu, usia Rose sudah 85 tahun.

Namun, Rose rupanya tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Ia meminta para relawan dari perpustakaan datang ke rumahnya untuk mengemas buku-buku yang ia miliki. Butuh 500 dus untuk mengemas 13.000 buku tersebut. Sudah tentu jumlah tersebut adalah sumbangan terbesar dalam sejarah perpustakaan Arden-Dimick.

Dalam video yang dilansir akun Youtube surat kabar lokal Sacramento Bee, seorang petugas perpustakaan di sana mengatakan: "Kami senang ia tidak keburu meninggal untuk memberikan koleksinya kepada kami."

Infografik Tsundoku

Infografik Tsundoku. tirto.id/Nadya

Hal serupa juga dialami seorang penulis sekaligus dikenal sebagai salah satu pakar dalam kajian erotika, Rachel Kramer Bussel. Dalam artikelnya di Toast berjudul "You Can Own Too Many Books", Rachel mengungkapkan pengalamannya tersebut.

“Saya berharap saya bisa dengan jujur ​​menjawab pernyataan 'tidak ada yang namanya terlalu banyak buku,' tetapi apa yang saya alami mengatakan bahwa hal itu tidak benar,” tulisnya.

Sebagaimana Rose, Rachel juga “takjub” sendiri melihat betapa banyak koleksi buku yang ia timbun. Ia melakukan berbagai macam cara untuk mengatasinya. Mulai dari mendonasikannya—"Saya menyumbangkan ratusan buku kepada toko buku Strand and Housing Works di New York”, hingga menyewa layanan pembuangan sampah untuk "mengangkut ratusan buku yang dibeli dengan penuh cinta atau diperoleh di pesta-pesta buku atau konferensi" dari dua kamar apartemen tempat ia tinggal selama 13 tahun.

"Bagian yang paling memilukan adalah melihat antologi yang saya sunting, dengan nama saya di sampulnya, disapu ke tong sampah raksasa. Itu cara yang cukup sulit untuk mengatasi masalah ‘Tsundoku’ Anda. Saya tidak akan pernah melempar buku dengan nama saya di sampul ke tempat sampah, karena itu seperti sebuah karma bagi seorang penulis yang buruk,” lanjutnya.

Rachel mengatakan bahwa ia masih memiliki lebih dari 2.000 buku. Namun, menurutnya, jumlah tersebut dianggap masih sangat sedikit bagi para anggota Shelfari Compulsive Book Hoarders. Itu adalah nama sebuah grup penimbun buku di forum Reddit. Apakah di sini ada grup serupa dan Anda menjadi anggotanya?

Baca juga artikel terkait BUKU atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Humaniora
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Maulida Sri Handayani