Menuju konten utama

Filsafat Ampuh Tingkatkan Nilai Matematika dan Literasi Anak

Filsuf dan anak-anak sama-sama memiliki rasa ingin tahu yang besar. 

Filsafat Ampuh Tingkatkan Nilai Matematika dan Literasi Anak
Ilustrasi. Pembelajaran filsafat dasar pada anak. Foto/iStock

tirto.id - Hidup Sofie Admundsen, perempuan 14 tahun asal Norwegia, awalnya biasa-biasa saja. Namun segalanya berubah sejak ia menerima pesan misterius di kotak posnya. berisi dua buah pertanyaan yang tak pernah ia dapat sebelumnya, “Siapakah dirimu? Dari mana asalnya dunia?”.

Tak lama kemudian ia pun menjadi murid dari seorang filsuf berusia kepala lima, Alberto Knox. Barangkali tantangan terbesar Knox adalah membincangkan seluruh pelajarannya dengan sederhana untuk menghindari pemahaman orang awam tentang filsafat itu sendiri: bidang keilmuan yang dikenal teramat kompleks dan bikin pusing kepala.

Beruntung, Knox mampu mengatasi tantangan ini di sepanjang kebersamaannya dengan Sofie dalam novel terkenal karya Jostein Gaardner, Dunia Sofie.

Satu dari sekian banyak dialog yang bermutu dan yang menjadi kekuatan novel ini adalah saat Knox menganalogikan filsuf dengan anak kecil. Dunia dan seisinya, menurut anak-anak, adalah sesuatu yang baru sehingga memunculkan perasaan takjub dan heran.

Hal ini, bagi Knox, tak berlaku bagi orang dewasa sebab orang dewasa telah menerima dunia apa adanya, sebagai hal yang biasa. Filsuf adalah pengecualian sebab filsuf tak pernah merasa cukup dengan dunia ini. Baginya dunia terus untuk nampak sedikit tak masuk akal, membingungkan, bahkan misterius.

“Untuk itulah filsuf dan anak-anak memiliki kesamaan penting. Dalam memandang dunia, modal mereka hanyalah satu: sikap ingin tahu.”

Berangkat dari pemahaman serupa, para ahli pendidikan di dunia telah sejak lama berusaha untuk mengembangkan model pengajaran filsafat bagi anak-anak di bangku sekolah. Tantangan mereka serupa dengan yang dihadapi Knox, yakni bagaimana kompleksitas filsafat sebagai induk dari segala ilmu bisa diajarkan dalam formula yang sesuai bagi para peserta didik. Sifat keingintahuan yang besar dari anak-anak, bagi para ahli, adalah modal yang tak boleh dilewatkan begitu saja.

Usaha ini pernah dilaksanakan oleh lembaga swadaya masyarakat asal Inggris, Education Endowment Foundation (EFF). Lembaga ini dikenal sebagai lembaga yang konsisten dalam mengembangkan model pendidikan yang bisa mengurangi kesenjangan antara prestasi belajar dan latar belakang ekonomi keluarga.

Baru-baru ini, melalui kanal Quartz Media, mereka mempulikasikan penelitian tentang manfaat dari menyisipkan pembelajaran filsafat kepada anak-anak yang dilaksanakan pada tahun 2015. Repondennya adalah 3.000 lebih anak-anak usia 9-10 tahun di Inggris Raya dan berasal dari 48 sekolah.

Satu kelompok besar yang terdiri dari 22 sekolah bertindak sebagai kelompok kontrol. Anak-anak dari 26 sekolah lainnya diminta untuk mengikuti kelas filsafat yang diadakan satu kali per minggu selama 40 menit. Di dalam kelas, mereka belajar berdiskusi dan menambah pengetahuan serta perspektif tentang konsep kebenaran, keadilan, dan pertemanan.

Segalanya berlangsung secara sederhana dan bermula dari keingintahuan si anak. Mereka juga dilatih untuk membuat dan mengungkapkan pertanyaan lalu menimpali ide atau pemikiran teman lain hingga menjadi diskusi besar. Saat kembali ke kelas, peneliti akan mencatat raihan nilai mereka di beberapa mata pelajaran. Totalnya dipakai untuk membandingkan antara pencapaian anak-anak di sekolah dengan kelas filsafat dan yang tidak.

Hasilnya, anak-anak yang mengikuti kelas filsafat jauh lebih unggul dalam mata pelajaran matematika dan literasi. Lebih rinci lagi, nilai matematika dan membaca mereka meningkat, setara dua bulan kelas tambahan pada dua mata pelajaran tersebut. Hasil ini agak mengejutkan, sebab sesungguhnya penelitian EEF ini tak didesain untuk meningkatkan pencapaian nilai siswa dalam berhitung maupun kaitannya dengan bahasa.

Anak-anak dari latar belakang ekonomi dan sosial yang kurang beruntung, tapi menjadi peserta kelas filsafat mingguan juga mendapat manfaat yang jauh lebih besar dalam performa belajar mereka: kemampuan membaca meningkat setara dengan empat bulan kelas tambahan, kemampuan berhitung meningkat setara dengan tiga bulan kelas tambahan, dan kemampuan menulis setara dengan dua bulan kelas tambahan.

Para guru juga dilaporkan terkena dampak positif dari riset ini sebab tingkat kepercayaan diri anak-anak di kelas selama pelajaran berlangsung meningkat tajam. Mereka yang dulunya cenderung pasif dan malu-malu kini tak malu untuk mengeluarkan pendapatnya maupun bertanya tentang segala hal yang mengusik benak mereka. Selain lebih cerewet dan kelas lebih ramai, kemampuan dan kemauan anak-anak dalam mendengarkan pendapat atau sekedar obrolan temannya juga meningkat.

Kevan Collins, kepala riset EEF, menambahkan bahwa manfaat ini bisa awet hingga dua tahun berselang, terbukti dengan kelompok yang mengikuti kelas filsafat terus-menerus menghasilkan nilai ujian yang mengungguli kelompok kontrol bahkan setelah semester berakhir.

“Mereka telah mempelajari cara baru dalam berpikir dan mengekspresikan diri. Mereka berfikir dengan lebih logis dan lebih banyak ide yang terhubung satu sama lainnya,” kata Collins kepada Quartz.

Inggris bukan satu-satunya negara yang bereksperimen mengajari anak-anak filsafat. Dalam riset kali ini EEF menggunakan program bernama P4C (Philosophy for Children) yang diciptakan oleh Profesor Matthew Lippman di New Jersey pada 1970an. Program ini masuk dalam Society for the Advacement of Philosophical Enquiry and Reflection in Education (SAPERE) yang sejak 1992 diberlakukan di Inggris. Hingga saat ini program SAPERE telah diadopsi oleh sekolah-sekolah di 60-an negara di dunia.

SAPERE dikenal efektif dalam memancing jiwa kritis siswa dan membekalinya modal yang baik untuk segala macam pelajaran, termasuk matematika, sains, dan sastra. Namun SAPERE juga bukan mata kuliah ala orang dewasa yang membawakan teks-teks filsuf terkenal dari Sokrates, Plato, atau Imanuel Kant, melainkan mengadopsinya ke dalam cerita, puisi, atau klip film yang mampu memicu diskusi berkaitan dengan isu-isu filsafat.

Tujuannya agar anak-anak mampu berfikir logis, membuat dan melancarkan pertanyaan, berbincang secara konstruktif, dan membangun argumen dengan baik.

Kejam itu Membunuh Rasa Ingin Tahu Anak

Mata kuliah filsafat di Indonesia, Amerika Serikat, dan negara-negara lain di dunia rata-rata dikenalkan pada bangku kuliah, sementara di Eropa sudah dikenalkan sejak bangku sekolah menengah atas. Ini data lebih dari satu dekade lalu. Dalam catatan Stanford Encyclopedia of Philosophy, kini situasinya lebih cair, walaupun filsafat masih dirasa terlalu berat untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah apalagi sekolah dasar.

Penyebabnya ada macam-macam. Dua yang paling populer adalah (1) filsafat membutuhkan pemikiran kognitif yang memadai dan diyakini banyak orang bahwa modal ini belum nampak pada anak usia remaja, atau (2) di sekolah, termasuk di Indonesia, sudah memiliki terlalu banyak materi pelajaran.

Mengenalkan satu elemen tambahan seperti filsafat dikhawatirkan akan mengalihkan perhatian para siswa dari apa yang seharusnya mereka pelajari. Filsafat dikhawatirkan akan membuat para siswa jadi pribadi yang skeptis alih-alih menjadi seorang pembelajar.

Infografik Filsafat Untuk Anak

Filsuf Amerika Serikat Gareth Matthews menantang dua alasan ini. Menurutnya, sekalipun kognitif anak-anak belum terbangun dengan sempurna atau memadai, mereka memiliki modal rasa ingin tahu yang besar, seperti halnya filsuf. Dan dari rasa ingin tahu yang besar ini, jika menemukan kanal yang tepat (orangtua yang sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan aneh anaknya), mereka akan menciptakan pertanyaan-pertanyaan filsafat yang “dalam”.

Matthews menyediakan contoh-contoh nyata dalam beragam situasi yang ia catat dalam buku yang ia kerjakan pada 1980 silam, Philosophy and the Young Child. Tim (6), misalnya, pada suatu saat, sambil menjilati mainannya, bertanya, “Ayah, bagaimana kita bisa yakin bahwa semua ini bukanlah mimpi belaka?”

Lalu Jordan (5) yang sebelum tidur bertanya, “Jika aku pergi tidur pukul delapan malam dan bangun pukul tujuh pagi, bagaimana aku bisa tahu bahwa tangan kecil [jarum] jamku berputar hanya sekali? Apa aku harus bangun semalaman untuk memastikannya? Jika aku berpaling meski hanya sebentar, mungkin jarum jam kecil itu akan berputar dua kali.”

Ada juga John Edgar (4), yang pernah melihat pesawat terbang, kian tinggi, dan pelan-pelan hilang di cakrawala. Suatu kali ia berkesempatan untuk naik pesawat untuk pertama kalinya. Penerbangan berlangsung lancar. Usai tanda melepas sabuk pengaman mati, ekspresi muka Edgar terlihat lega. Lalu dengan intonasi seakan masih bingung, ia berkata pada orang tuanya, “Benda-benda tak benar-benar jadi kecil di pesawat ini saat terbang.”

Edgar rupanya selama ini berpikir bahwa saat pesawat terbang menjauh ukurannya juga benar-benar kian mengecil.

Pertanyaan-pertanyaan ini, bagi Matthews adalah secercah kognisi bahwa anak-anak juga filosofis. Bahkan ia berani menjamin bahwa orang dewasa pun pernah bertanya hal yang sama. Persoalannya, selama ini filsafat selalu dipahami ilmu yang kompleks, terstruktur, dan berat.

Orang-orang lupa bahwa filsafat berawal dari sebuah kegiatan yang anak-anak hingga orang tua lakukan: bertanya-tanya. Filsafat akhirnya menjadi penting untuk diajarkan di segala usia, tinggal disesuaikan metodenya.

Orangtua yang baik tentu saja tak membunuh rasa ingin tahu anaknya. Mereka justru memfasilitasinya, dan merasa senang jika anaknya tumbuh jadi pribadi yang cerewet. Rasa ingin tahu yang besar ini adalah modal yang baik untuk meraih prestasi yang membanggakan saat si anak sudah bersekolah, sebagaimana ragam hasil penelitian para ahli pendidikan di beragam lembaga. Rasa penasaran adalah kunci.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani