Menuju konten utama
Sastra Anak & Lingkungan

Kenapa Buku Cerita tentang Iklim & Lingkungan Penting untuk Anak

Penulisan buku cerita anak kerap diremehkan, padahal hasilnya penting untuk melatih empati dan daya pikir kritis anak, termasuk tentang lingkungan.

Kenapa Buku Cerita tentang Iklim & Lingkungan Penting untuk Anak
Header Diajeng Edukasi perlindungan iklim pada anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Alkisah, serombongan anak-anak SMP dari Jakarta tengah berlibur di salah satu desa di Bantul, Yogyakarta.

Namun ini bukan liburan biasa, melainkan program dari sebuah sanggar belajar untuk memberikan pengalaman edukatif bagi peserta cilik melalui interaksi langsung dengan warga setempat.

Selain menginap di rumah warga, selama satu minggu anak-anak ini mendapatkan tugas menyenangkan: mengikuti induk semangnya menanam padi di sawah.

Celetukan ramai mengisi pagi di hamparan ladang padi tersebut. Rasa penasaran hingga keterkejutan menyatu dalam benak mereka.

Pendatang muda dari kota ini tak menyangka bahwa nasi yang dikonsumsi setiap hari ternyata harus melalui proses yang rumit nan panjang untuk sampai di meja makan.

Mereka sibuk bertanya apa ini dan itu, bagaimana caranya, kenapa begini atau begitu.

Di tengah gemuruh pertanyaan tersebut, kita yang dewasa mungkin malah jadi bertanya-tanya: dari mana energi ingin tahu itu berasal?

Menurut penjelasan psikolog klinis Linda Blair, lontaran pertanyaan itu semua merupakan upaya anak-anak untuk mengaitkan berbagai informasi menjadi pengetahuan utuh.

Betul, inilah masa-masa emas untuk mengenalkan lebih jauh kepada kawan-kawan kecil kita, bahwa beras tidak sekonyong-konyong muncul di dapur untuk diolah jadi nasi. Terkadang, beras langka di pasar karena harga melonjak naik.

“Mengapa harga bisa naik?” begitu desak salah satu anak.

Jawabannya tentu ada banyak. Namun salah duanya bisa dikaitkan dengan tingkat ketergantungan kita yang tinggi pada nasi dan perubahan iklim yang mengancam ketahanan pangan.

Bukan hal mudah untuk menjelaskan bagaimana situasi iklim bisa ikut memengaruhi lauk pauk yang mengisi piring makan. Di lain sisi, edukasi tentang krisis iklim untuk anak-anak sudah mencapai ke level genting.

Laporan American Psychological Association (APA) pada 2023 menunjukkan, perubahan iklim (panas ekstrem, cuaca, dan kualitas udara buruk) telah membatasi gerak fisik anak-anak di luar ruangan yang berpotensi menaikkan angka penderita obesitas, depresi, hingga risiko kardiometabolik di kalangan usia muda.

Sementara itu, remaja berpeluang tinggi mengalami climate anxiety atau kecemasan iklim yang mengarah pada memburuknya kesehatan mental.

Data dari APA mempertegas satu hal penting: jika ada yang paling berhak mengetahui kondisi iklim sekarang, tidak lain adalah anak-anak kita—generasi di bawah kita yang di masa depannya kelak bakal bergulat dengan krisis ini lebih sering.

Jalan Terjal Literasi Iklim Untuk Anak

UNESCO menargetkan 90 persen negara-negara di dunia mengadopsi kurikulum hijau pada tahun 2030. Melansir Deutsche Welle, Italia sudah menginisiasinya sejak tahun 2019, disusul Selandia Baru satu tahun kemudian.

Perihal strategi mengenalkan krisis iklim, kedua negara mengambil langkah yang sama, yaitu melakukan pembaruan materi ajar dan buku-buku yang diperlukan.

Katherine Rundell dalam Why You Should Read Children’s Books, Even Though You Are So Old and Wise (2019) mengingatkan kita mengapa buku cerita anak adalah modal besar untuk menjelaskan apa yang terjadi pada dunia dewasa ini.

Rundell menuliskan, “Mereka yang menulis untuk anak mencoba untuk membekali kawan-kawan kecil di kehidupan mendatang dengan apa yang diyakini benar. Dan mungkin juga untuk membekali orang-orang dewasa dalam melawan kompromi-kompromi dan patah hati yang diperlukan dalam hidup.”

Aktivitas membaca buku dan mendengarkan cerita dapat melatih empati dan daya pikir kritis anak. Itulah alasannya buku-buku literasi iklim menjadi pintu pembuka untuk menjelaskan krisis—tanpa terkesan menakut-nakuti.

Dalam studi berjudul Children and Climate Change (2016) yang diterbitkan oleh Princeton University dan The Brookings Insitution, peneliti bersepakat bahwa memberikan narasi masa depan penuh harapan merupakan teknik yang jauh lebih baik dibandingkan menyuguhkan pesimisme.

Ela Fountain, penulis buku anak yang menerbitkan fiksi tentang krisis iklim berjudul Melt (2021), berkata hal serupa.

“Harapan adalah batu loncatan untuk bertindak. Harapan atas masa depan memberikan tujuan, juga perasaan bahwa pilihan yang kamu buat penting karena saat ini belum terlambat untuk membuat perbedaan,” tutur Ela kepada Lit Hub.

Tak bisa dimungkiri, harapan-harapan untuk narasi bertema krisis iklim biasanya cukup kompleks untuk dituliskan. Sebagai jembatan penghubung, penulis kerap menggunakan unsur persahabatan, hewan, dan tumbuhan untuk mengaitkan ulang kehidupan anak-anak dengan alam sekitarnya.

Bagi sebagian orang dewasa, formula penulisan semacam ini mungkin terasa mudah dibuat. Namun asumsi ini salah.

Karya sastra untuk pembaca anak-anak cenderung terpinggirkan. Di Inggris, sejumlah pengamat mengakui bahwa buku-buku untuk anak baru mendapatkan status sosial setelah seri Harry Potter dari JK Rowling dan karya-karya Philip Pullman dirilis pada dekade 1990-an.

“Asumsi umum dan malas yang beredar menganggap membuat karya dengan pertimbangan utama anak-anak lebih mudah dan tidak banyak tuntutan. Bahwa penulis atau seniman menggunakan pendekatan dengan tingkat keseriusan atau kesungguhan yang lebih rendah dibanding saat menciptakan karya untuk audiens dewasa,” tegas ilustrator dan penulis buku anak Lauren Child dalam manifesto yang ditulisnya untuk pameran The Foundling Museum pada 2022 silam.

Di balik gencarnya upaya dan semangat yang kian membuncah untuk menyisipkan pesan-pesan kecintaan lingkungan dalam dunia literasi anak, ada satu hal menarik untuk kita renungi bersama.

Apabila masyarakat sudah mulai melek tentang Bumi yang kian panas dan dampaknya bagi masa depan anak-anak, akan tetapi bahan ajarnya tidak pernah dianggap serius, lantas untuk apa?

Asa Literasi Iklim untuk Anak di Indonesia

Ada secercah asa mengenai masa depan edukasi iklim untuk anak-anak Indonesia. Sebagian generasi orang tua baru menaruh perhatian serius pada situasi ini.

Menurut survei oleh Lembaga Indikator Indonesia dan Yayasan Indonesia CERAH pada tahun 2021, sebanyak 82 persen responden dari kelompok usia 17 hingga 35 tahun (Gen Z dan Gen Milenial) memiliki kekhawatiran terhadap isu lingkungan.

Kekhawatiran tersebut tentu dapat dipahami karena kelompok demografi ini paling terbiasa mengakses informasi melalui penggunaan teknologi secara masif. Cepat atau lambat, kekhawatiran atas kondisi alam dan lingkungan tersebut akan diwariskan kepada anak-anak mereka, generasi penerus di bawahnya.

Seiring itu, mulai bermunculan upaya dari akar rumput untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan. Komunitas diskusi Buibu Baca Buku Book Club misalnya, mulai awal tahun 2024 meluncurkan program Literasi Iklim Untuk Ibu.

Program utamanya menyediakan wadah pembelajaran untuk ibu-ibu belajar tentang literasi, iklim, hingga gerakan pemberdayaan perempuan.

Sebelum itu, sudah ada Penerbit Marjin Kiri yang memiliki lini penerbitan khusus anak-anak bernama Pustaka Mekar. Salah satu buku terbitannya, Tahun Penuh Gulma (2019) karya Siddharta Sarma, mengungkit isu perusakan alam tempat tinggal masyarakat adat di India.

Jangan lupakan juga seri Mata (2019) karya Okky Madasari yang berisi petualangan seorang anak menjelajahi banyak tempat di Indonesia.

Terbaru, Greenpeace Indonesia bersama jurnalis Titah AW dan ilustrator Sekar Bestari meluncurkan Seri Buku Litigasi Iklim untuk Anak.

Buku ini terbagi menjadi lima bagian: Kelana Ke Hutan Raya, Sehari Menjadi Tim Cegah Api, Kemana Kabut Asap Pergi?, Salawaku Pelindung Hutan, dan Hutan Adalah Mama.

“Kami membuat agar isu-isu yang susah dipahami jadi lebih ramah kepada anak-anak karena anak-anak juga berhak tahu soal Bumi yang mereka tinggali itu seperti apa.”

Demikian Titah sampaikan dalam acara soft launching buku tersebut di Toko Gumi, Yogyakarta pada Sabtu, 10 Agustus 2024.

Apa yang dikatakan Titah benar. Kepedulian tersebut ada, namun sayangnya masih belum cukup memadai untuk anak-anak. Ada banyak kelindan masalah dalam penyediaan literatur yang layak, mulai dari absennya kebijakan stakeholder yang menyasar sistem hingga kesiapan masyarakat.

Ingat, buku tidak bergerilya sendiri ke dalam pikiran anak-anak. Ia tetap membutuhkan penutur yang andal nan jitu. Literasi iklim yang baik pun bakal tersendat tanpa ekosistem yang mumpuni. Dalam kisah ini, ekosistem itu kita sebut dengan nama ‘orang tua'.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih