tirto.id - “Habiskanlah seluruh waktu hidupmu untuk melukis. Kalau cari uang, carilah sekadarnya saja, selebihnya serahkan hidupmu untuk seni lukis,” ujar Affandi, maestro seni lukis kelahiran Cirebon.
Dalam diri Nashar, pelukis yang berkali-kali dibilang tidak berbakat oleh Sudjojono (seniman Lekra), sikap hidup itu terpatri dan melembaga dalam dirinya, dipegang erat dan dibawanya sampai lampus. Khalayak seni rupa mengenal Nashar sebagai seorang pelukis dengan konsepsi Tiga Non dalam berkarya: nonestetik, nonkonsep, dan nonteknik. Karena itu -- pada masanya -- lukisannya jarang laku.
Tapi apa pedulinya? Bagi Nashar melukis adalah bernapas.
“Aku melukis siang-malam. Memang meletihkan sekali, tapi aku tak peduli. Perasaan seperti sedang berburu, tapi tidak tahu apa yang diburu,” tulisnya dalam salah satu surat malam bertitimangsa 1968.
Dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain yang isinya kumpulan obituari, Ajip Rosidi menjelaskan, “Dia melukis terus, melukis apa yang dia suka menurut cara yang dianggapnya sendiri paling baik, tanpa mempedulikan apakah lukisannya akan dibeli orang ataukah tidak, disukai orang ataukah tidak. Bagi Nashar melukis adalah kebutuhan hidup seperti bernapas. Kalau tidak dilakukan dia merasa pegal-pegal dan ngilu seperti dia tulis dalam salah satu surat-surat malamnya.”
Baca juga: Hikayat Penutur Visual
Masa remaja, ketika Jepang masuk dan keadaan menjadi gawat, Nashar berhenti sekolah. Tepatnya diberhentikan oleh ayahnya. Ia kemudian disuruh menjaga toko ayahnya. Kerjanya hanya menyapu lantai, membersihkan kursi-kursi dan meja-meja. Sesekali menerima telepon.
Ia merasa bosan. Amat bosan. Ia mencoba mengadu kepada pamannya, mengutarakan keinginannya untuk sekolah lagi, namun pamannya menggeleng.
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena ayahmu terlalu keras dan tidak pernah mau mendengarkan kata orang, sekalipun oleh orang yang paling dekat seperti aku ini,” kata pamannya.
Dalam beberapa catatannya yang dihimpun di buku Nashar oleh Nashar, ia memberi contoh tentang betapa keras ayahnya. Sesekali Nashar membaca koran, namun dengan perasaan takut, sebab bentakan ayahnya selalu terngiang: “Anak kecil tidak boleh membaca koran!”
Sikap keras itu tidak hanya dirasakan Nashar. Menurut Nashar sendiri, ibunya mengalami kelemahan saraf karena sikap ayahnya yang terlalu keras.
Nashar dilahirkan pada 3 Oktober 1928 di Pariaman, Sumatera Barat. Sejak kecil ia sudah dibawa orangtuanya merantau. Pada masa pendudukan Jepang, orangtuanya tinggal di Jakarta. Karena keadaan semakin gawat, ia sekeluarga kemudian pindah ke Yogyakarta. Di kota inilah Nashar mulai berkenalan luas dengan para pelukis.
Baca juga:
Hasrat menjadi pelukis sebetulnya timbul ketika ia masih berada di Jakarta. Ketika ia tengah mengantuk menjaga toko ayahnya, tiba-tiba seorang kawannya yang bernama Taufik lewat, dan kawannya itu ternyata tengah belajar melukis. Detik itu pula, mungkin karena bosan yang terlampau mendera, Nashar menyatakan keinginannya untuk ikut belajar melukis.Tempat belajar melukis Nashar dan kawannya dipimpin Sudjojono yang oleh murid-muridnya dipanggil Pak Jon. Mulanya Nashar tidak berani masuk ke sanggar lukis tersebut, ia hanya melihat kawannya belajar dari luar. Baru pada hari ke sembilan ia beranikan diri menemui Sudjojono.
“Cobalah bawa ke sini gambar-gambar kau yang di rumah, supaya saya bisa lihat,” ujar Sudjojono kepadanya.
Esoknya ia bawa beberapa gambarnya ke sanggar. Sudjojono menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, “Kau tidak punya bakat, Nas. Tapi cobalah bikin lagi,” ujarnya.
Dengan perasaan tidak menentu, Nashar pulang ke rumahnya dan segera menggambar lagi. Esoknya ia bawa lagi ke sanggar, dan jawaban Sudjojono sama seperti hari sebelumnya. Sama persis. Presisi di setiap kata, “Kau tidak punya bakat, Nas. Tapi cobalah bikin lagi.”
Pada kesempatan lain, Sudjojono berkata kepadanya, “Nas, lebih baik kau bekerja kantoran saja, atau mendaftar menjadi Heiho karena untuk menjadi pelukis harus punya bakat. Kau tidak punya bakat.”
Ucapan Sudjojono itu terus-menerus menimbulkan keberanian baginya untuk menggambar dan menggambar lagi. Meski di satu sisi kalimat “Kau tidak punya bakat, Nas” mematahkannya, namun di sisi lain kalimat “Tapi cobalah bikin lagi” mendorongnya untuk tak patah arang.
Baca juga: Karya-Karya Seni yang Mengganggu, Mengejutkan dan Kontroversial
Apalagi setelah beberapa kali bolak-balik ke sanggar dan tetap dianggap tak berbakat, akhirnya Sudjojono berkata, “Kau memang tidak punya bakat, tapi kau boleh coba-coba ikut berlatih di sini.”
“Aku yang telah berulang kali datang menunjukkan kesanggupanku menggambar dan selalu ditolak oleh Sudjojono dengan alasan aku tidak punya bakat, tentu saja atas kesempatan yang diberikannya kepadaku itu, aku merasa bangga dan merasa menang atas perjuanganku, paling tidak perasaan itu untuk diriku sendiri. Aku merasa ada sebuah pintu terbuka untuk hari depanku,” tulis Nashar.
Di Yogyakarta, Nashar bertemu dengan Moh. Sahid, kawan belajar melukis ketika masih di Jakarta. Lewat kawannya inilah ia kemudian bergaul dengan Affandi. Ia juga bertemu dengan A. Wakidjan, Zaini, dan Trubus, kawan-kawannya yang sama-sama belajar melukis pada Sudjojono. Sementara dengan para pelukis senior, ia bertemu dengan Hariyadi S. Suromo, Surono, Sudarso, dan lain-lainnya.
Minggat dari Rumah dan Tinggal Nomaden
Karena sifat ayahnya keras, Nashar minggat dari rumah. Ia kemudian nomaden. Meski bukan seorang pamong atau guru sekolah Taman Siswa, namun Nashar pernah tinggal di Jalan Garuda 66, Jakarta—tempat tinggal guru-guru Taman Siswa yang sudah berkeluarga. Ia tinggal di rumah Sutiksna, salah seorang pamong yang tiap hari Ahad rumahnya digunakan sebagai tempat melukis para anggota GPI (Gabungan Pelukis Indonesia).
“Palukis Nashar meskipun bukan pamong, entah mengapa, tinggal di situ juga, kalau malam, ia menggelar tikar di ruang makan keluarga Sutiksna,” tulis Ajip dalam otobiografinya Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan.
Nashar juga pernah tinggal cukup lama bersama Ajip Rosidi. Meski usia keduanya terpaut 10 tahun—Ajip lebih muda, namun mereka mempunyai kecocokan dalam berkawan. Hal ini pula yang kemudian membuat keduanya terbuka dan tidak saling perhitungan.
Ajip berkisah, bahwa banyak kawannya yang sering berkunjung ke rumahnya di Kramatpulo, kadang-kadang mereka menginap di atas tikar di lantai, dan kalau ngobrol sampai larut malam. Nashar malah kemudian tinggal di rumahnya, tidur menggelar tikar atau di atas ranjang bergantian dengan Ayatrohaedi (adik Ajip) dan Karsita (kerabat Ajip dari pihak ayah).
Sekali waktu ketika Ajip dan istrinya memutuskan untuk pindah ke Jatiwangi, Majalengka, rumah yang ia sewa tetap diperpanjang. Hal itu dimaksudkan untuk tempat tinggal Ayatrohaedi yang masih sekolah di SMA Muhammadiyah dan untuk keperluannya kalau sekali-kali ke Jakarta. Nashar juga terus tinggal di situ bersama Ayatrohaedi.
Baca juga:
- Pablo Picasso dan Seni yang Tak Patuh pada Apa Pun
- Max Beckmann, Pelukis Termahal yang Dulunya Dibenci NAZI
Selanjutnya Nashar tinggal di Balai Budaya. Ia selalu melukis pada malam hari. Kalau lelah mendera, ia tidur dekat lukisannya di atas sehelai tikar atau kertas koran sebagai alas di atas tegel yang dingin.
“Pelukis itu hidupnya tak bisa berpisah dari cahaya matahari. Tapi coba lihat Nashar, sekarang sudah pukul sebelas lewat, dia masih tidur!” ujar Sudjojono sekali waktu.
“Nashar dunia wisma. Tinggal di ruang-ruang budaya di Jakarta. Ada artikel yang menulis Nashar si pelukis miskin,” ujar Jeffrey Hadler (sejarawan dari University of California, Barkeley) dalam sebuah diskusi tentang Nashar di ruang pertemuan dekanat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas pada 22 Juli 2014, dikutip oleh laman padangkita.com.
Sebagai salah satu kawan dekatnya, Ajip Rosidi berkomentar bahwa menurutnya Nashar adalah contoh yang monumental tentang dedikasi seniman terhadap keseniannya.
“Demi kesenian, Nashar bersedia mengurbankan apa saja: kesenangan duniawi, hidupnya sendiri, keluarganya... semua tak dia pedulikan, karena dia ingin memusatkan pengabdiannya pada melukis. Belasan tahun lamanya setelah bercerai dengan isterinya dia tinggal di Balai Budaya,” tulis Ajip.
Baca juga: Seniman-Pejuang W.R. Soepratman
Menikah dan Golok di Malam Pertama
Meski hidup dengan serba kekurangan, namun keinginan berumah tangga siapa yang bisa membendung? Begitu pula yang terjadi pada Nashar. Di usianya yang sudah lewat 30 tahun, sekali waktu ketika sudah tinggal bersama pelukis Alimin, Nashar menemui Ajip Rosidi dan mengutarakan rencananya untuk menikah.
“Dia dengan bangga menceritakan bahwa dia menemukan calon istrinya dengan cara yang luar biasa,” tulis Ajip.
Ajip menambahkan, menurut penuturan Nashar, ada seorang wanita tua tetangganya di Setiabudi, sering bertanya kepada Nashar dan Alimin ihwal mengapa mereka belum juga menikah. Nashar bergurau menjawab, “Belum ketemu calon yang cocok.” Wanita itu lalu menawari akan mencarikan calon yang cocok.
“Mereka akan datang satu demi satu dipertemukan dengan Nashar dan Alimin. Mereka akan pura-pura lewat depan rumah, sedang Nashar dan Alimin melihat dari dalam. Kalau ada yang cocok, baru akan diajak berkenalan. Maka Nashar dan Alimin yang bagaikan pangeran yang akan memilih puteri setiap hari duduk melihat ke luar memperhatikan wanita yang disuruh pura-pura lewat oleh wanita tua itu,” tulis Ajip.
Setelah lama memilih, akhirnya Nashar ketemu yang cocok: janda, mantan istri seorang tukang becak.
Baca juga:
Selain Ajip Rosidi, pernikahan Nashar juga dihadiri oleh Toto Sudarto Bachtiar (penyair kelahiran Cirebon) dan Wakidjan (pelukis). Menjelang salah asar, mereka pamit pulang. Ajip pulang ke rumah Dodong Djiwapradja untuk suatu keperluan. Sebelum subuh, pintu rumah Dodong diketuk dengan keras. Karena Ajip tidur di kamar depan, maka ia yang membukakan pintu.
Ketika pintu dibuka, Nashar berdiri di baliknya. Setelah diajak masuk, ia lalu bercerita bahwa iparnya bertengkar dengan ayahnya sampai mengamuk dan menenteng golok: menantang ayahnya berkelahi. Dalam suasana genting seperti itu, istri Nashar berbisik agar ia pergi menyelamatkan diri menuju Jakarta. Karena tahu Ajip menginap di rumah Dodong, maka ia menuju ke sana.
“Jadi, lu belum melaksanakan malam pertama, dong!” kata Ajip bergurau.
“Habis takut kena golok!” ujar Nashar sambil tersenyum kecut.
Sepanjang yang diketahui Ajip, Nashar tak pernah kembali ke rumah istrinya tersebut.
Tuna Uang dan Pencarian Diri
Selalu kekurangan uang, itulah hidup Nashar. Kondisi ini tentu hadir, salah satunya, dari sikapnya terhadap lukisan yang tidak dijadikan sebagai barang dagangan, melainkan sebagai jalan hidup, kebutuhan dasar yang mesti dipenuhinya.
Menurut Jeffrey Hadler, yang menulis buku tentang Minangkabau, Nashar memang tak suka menjual lukisannya. Jika ia butuh uang, ia lemparkan ke mahasiswa untuk membeli lukisannya berapa pun duit adanya.
Sementara Ajip Rosidi, baik dalam otobiografinya (Hidup Tanpa Ijazah), maupun dalam buku kumpulan suratnya (Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002), menuturkan relasi kedekatan antara Nashar dengan dirinya sampai ke masalah keuangan.
Agar Nashar bisa terus melukis, selama di Jepang Ajip kerap mengirim uang kepada Nashar. Sebaliknya, jika Ajip sedang libur ke Indonesia ia sering membawa lukisan Nashar yang dianggapnya menarik hati. Suatu saat Ajip beberapa kali memimpikan kawan-kawannya yang telah meninggal. Dan Ajip teringat akan kematian. Lalu ia menulis surat dari Osaka untuk Nashar bertitimangsa 15 Januari 1992.
Inti dari surat itu adalah ajakan Ajip kepada Nashar untuk saling mengikhlaskan ihwal uang dan lukisan yang selama ini terkait di antara keduanya.
“Teringat akan urusan kita berdua. Memang selama ini antara kita berdua tak pernah ada perhitungan. Gua kebetulan punya rejeki, dapat mengirimkan uang sekadarnya (hampir) saban bulan kepadamu. Dan kalau gua melihat ada lukisanmu yang menarik, gua ambil. Gua kira baik lu maupun gua sama-sama ikhlas. Karena dasarnya bukan mau jual-beli,” tulis Ajip di salah satu alinea.
Baca juga: Rezim Seni di Istana, Beda Sukarno dan Soeharto
Menurut Ajip, Nashar pun setuju dengan ajakannya. Bahkan Nashar berkata, “Lu ambil saja lukisan gua semua, gantungkan di dinding rumah lu!”
13 April 1994, Nashar meninggal di Jakarta di tengah kondisi keuangan yang sulit. Ia meninggalkan jejak sikap yang barangkali kontroversial. Namun jika menilik lagi catatan-catatannya di buku Nashar oleh Nashar, sidang pembaca akan bisa melihat dan mungkin meraba pedalaman kalbunya.
Melukis bagi Nashar bukan soal menuangkan cat di atas kanvas, namun lebih dalam dari itu. Ada pergolakan, kegelisahan, renungan, dan pencarian diri yang paling tersembunyi. Semuanya ia lakukan di titian waktu yang berparade dan berderap, dilumuri ragam peristiwa yang berkali-kali menghunjam jiwanya.
Dalam kumpulan surat-suratnya yang dibukukan, tepatnya surat keenam belas ia menulis: “Apa yang paling dalam yang tersembunyi dalam jiwa, tak mungkin bisa dipikirkan. Dan rasa-rasanya, pikiran tak mungkin bisa menjangkaunya. Menurut pendapatku, sesuatu yang jauh tersembunyi dalam jiwa itulah yang bisa dianggap ‘diri’ manusia yang sebenarnya.”
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Zen RS