Menuju konten utama

Karya-Karya Seni yang Mengganggu, Mengejutkan, Kontroversial

Shock art atau karya seni yang mengganggu seperti "Makan Mayit" karya Natasha Gabriela Tontey sudah ada sejak dulu.

Karya-Karya Seni yang Mengganggu, Mengejutkan, Kontroversial
Menu makanan sesi perjamuan "Makan Myit" pada 28 Januari 2017 di Footurama, Kemang Timur, Jakarta. FOTO/elianurvista.com

tirto.id - Bayangkan seonggok tinja yang dikalengkan lantas terjual dengan nilai lebih dari 124 ribu poundsterling. Ini adalah gambaran sederhana dari karya seni dari Piero Manzoni bertajuk Merda d'artista atau Tahi Seniman. Karya ini dibikin Manzoni pada 1961 dan dibuat sebanyak 90 kaleng, setiap kaleng berisi 30 gram tinja yang berasal dari feses Manzoni.

Pada 16 Oktober 2015 sebuah kaleng Manzoni terjual dengan nilai 182 ribu poundsterling. Mengapa karya aneh ini bernilai sangat mahal dan mengapa karya Manzoni ini disebut sebagai shock art?

Seni semestinya mengganggu tatanan lama yang sudah terlalu nyaman, dan mengganggu mereka yang terbuai kenyamanan: Orang-orang yang tunduk pada norma, moral, agama, peraturan, dan identitas sosial, tanpa sama sekali mempertanyakan mengapa mereka mesti tunduk pada konsensus aturan tersebut.

Shock art adalah seni yang berusaha mendobrak tatanan tabu dalam masyarakat. R. Rawdon Wilson, dalam The Hydra's Tale: Imagining Disgust (2002) menulis shock art ialah ekspresi seniman untuk mengganggu orang-orang tinggi hati dan munafik.

Piero Manzoni dan karyanya Merda d'artista bukan satu-satunya seniman dunia yang mendobrak tatanan seni melalui pendekatan kontemporer. Marcel Duchamp, seniman Perancis yang mengusung Dadaisme—gerakan seni lewat politik anti-perang—membuat karya bertajuk Fountain, sebuah jamban yang berfungsi sebagai tempat minum. Duchamp membuat karya ini pada 1917 dan dianggap sebagai salah satu pionir shock art yang mendobrak standar estetika kala itu.

Karya Duchamp dan Manzoni pada zamannya dikritik sebagai seni yang kebablasan dan bukan seni. Ini sebenarnya yang mesti dipahami bahwa para seniman tadi sedang berusaha mendobrak tabu; upaya untuk mempertanyakan kembali apa yang dimaksud salah dan kebablasan.

Setiap shock art selalu punya ciri yang bisa dikenali, seperti karya yang mengganggu, ofensif, mendobrak tabu, menabrak nilai moral, dan kerapkali bertentangan dengan ajaran agama.

Pada 1987, fotografer dan seniman asal AS, Andres Serrano membuat foto bertajuk Piss Christ. Ia membuat karya fotografi bergambar Yesus yang disalib tenggelam dalam susu, darah, dan air kencing si fotografernya. Serrano tidak sedang menyerang agama Kristen dan karyanya ini ia akui bukanlah karya politis. Suster Wendy Beckett, kritikus seni dan seorang suster Katolik, menyebut karya ini bukan sebuah penistaan agama, tetapi representasi masyarakat modern terhadap “apa yang telah umat manusia lakukan terhadap-Nya.”

Rick Gibson, seniman asal Kanada, membuat anting-anting yang terbuat dari janin manusia yang dikeringkan pada 1987. Ia melanjutkan karya lain bertajuk A Cannibal in Vancouver pada 1989 dengan membuat testis manusia yang dikeringkan. Karya ini mengejutkan karena menggunakan elemen organ tubuh manusia untuk membuat karya seni. Di sini, shock art berkembang menjadi usaha mendobrak tabu.

Dogma agama kerap kali menjadi tema yang diserang oleh para seniman yang dilabeli shock art. Sebut saja The Holy Virgin Mary yang dibuat pelukis Chris Ofili pada 1996. Karya ini menggambarkan Bunda Maria sebagai perempuan berkulit hitam dengan latar belakang benda-benda yang mirip testis manusia.

Atau La Nona Ora karya Maurizio Cattelan yang dibuat pada 1999. Karya ini menggambarkan Paus Yohanes Paulus II terbaring di karpet merah seusai ditabrak meteor dari surga. Karya ini berusaha menggambarkan penderitaan manusia yang mempertanyakan mengapa Tuhan mengabaikan kemanusiaan.

Infografik Seni Offensif

Menerabas Norma

Dilema moral dan dilema etis dalam seni merupakan tema sentral yang sering digali dalam shock art. Karya-karya ini kerap mengundang pembaca atau penontonnya untuk memikirkan ulang apa itu kewajaran. Misalnya karya yang dibuat oleh Aliza Shvarts, mahasiswi jurusan seni Universitas Yale, yang membuat tugas akhir dengan merekam dirinya saat melakukan aborsi. Shvarts membuat dirinya hamil, kemudian mengonsumsi obat-obatan yang bisa menggugurkan kandungan, dan merekam proses ketika darah yang diduga janin keluar dari tubuhnya.

Meski kemudian ia mengaku bahwa itu hanyalah seni performatif, Shvarts dikritik karena dianggap mengganggu norma. Apa yang ia lakukan adalah salah satu seni performatif modern yang pernah mengguncang dunia seni modern. Karyanya memicu perdebatan dan perbincangan tentang aborsi, hak tubuh perempuan, dan bagaimana masyarakat bersikap tentang hak hidup. Karya Shvarts ini merespons kebudayaan patriarki yang dianggap mengekang dan mengatur tubuh perempuan.

Selain Shvarts, ada pula Zhu Yu, seniman asal Cina, yang membuat seni performatif bertajuk Eating People. Karya ini berisi seri fotografi di mana Zhu Yu memasak dan memakan sesuatu yang diduga fetus. Seniman itu sendiri mengklaim bahwa ia menggunakan jenazah bayi yang dicuri dari sekolah medis setempat. Zhu Yu berusaha mengeksplorasi batasan antara moral, hukum, etika, dan kemanusiaan.

Zhu Yu dianggap cari muka, tidak menghargai kemanusiaan, tidak tahu apa-apa, dan dianggap orang gila ketimbang seniman.

Di Indonesia, pernah ada juga karya seni yang membikin publik geger, meski bisa saja tidak dikategorikan sebagai shock art.

Pada 2005 karya instalasi Agus Suwage-Davy Linggar berjudul Pink Swing Park menjadi perhatian publik. Karya fotografi sekaligus seni instalasi ini diprotes karena dianggap cabul. Ada yang menganggap karya itu representasi Adam dan Hawa. Karya mereka didesak untuk diturunkan, dan selebritas Anjasmara—yang menjadi model dalam karya itu—dituntut minta maaf.

Ada pula patung karya Cipto Purnomo, yang menggambarkan Buddha berwajah Gus Dur. Karyanya ini membuat Dewan Pengurus Pusat Theravada Indonesia melayangkan protes karena dianggap melecehkan keyakinan umat Buddha.

Baca juga artikel terkait MAKAN MAYIT atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani