Menuju konten utama

Max Beckmann, Pelukis Lukisan Termahal Ini Dulu Dibenci NAZI

Apa yang membuat lukisan Beckmann dicintai dan sekaligus dibenci?

Max Beckmann, Pelukis Lukisan Termahal Ini Dulu Dibenci NAZI
Lukisan Max Beckmann "The Night". FOTO/WIkimedia Commons

tirto.id - Balai lelang Christie's baru saja membuat penjualan terbesar sejak 10 tahun terakhir. Seorang penawar dari Asia akhirnya menutup pembelian untuk lukisan Max Beckmann dengan nilai $45,8 juta. Penjualan lukisan Beckmann ini beserta penjualan lukisan lain mampu menolong balai lelang itu dengan nilai penjualan total $190 juta.

Angka ini akhirnya bisa membuat Christie's, menurut Artnet, bisa mengalahkan nilai penjualan Sotheby's untuk pertama kalinya selama 10 tahun terakhir. Selama bulan Juni lalu, balai lelang Christie’s mengalami penurunan penjualan sejak Juni. Pada akhir tahun lalu, balai lelang ini hanya mampu menjual $33,4 juta.

Lukisan yang mampu menyelamatkan penjualan balai lelang Christie’s adalah lukisan BeckmannBirds’ Hell (1937–1938), yang menggambarkan horor dan teror yang dilakukan oleh rezim Nazi saat mereka berkuasa. Lukisan ini sebelumnya ditunjukkan di Metropolitan Museum of Art dalam pameran bertajuk "Max Beckman in New York" yang telah berakhir Februari lalu.

Lukisan ini menarik perhatian tiga penawar, namun berakhir di tangan Larry Gagosian yang mau menebusnya dengan angka $45,8 juta. Rekor tertinggi lukisan Beckmann sebelumnya adalah Self-Portrait with Horn (1938), terjual dengan nilai $22,6 juta. Pembelinya adalah Richard Feigen atas nama Ronald Lauder’s Neue Galerie di New York.

Apa yang membuat Beckmann istimewa? Pelukis, perupa, dan seniman visual ini lahir pada 12 Februari 1884 di Leipzig, Saxony, Kekaisaran Prussia, dan meninggal pada 27 desember 1950 di New York, Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai pelukis ekspresionis, meski menolak gerakan dan label itu.

Max Beckmann kerap diasosiasikan pada New Objectivity (Neue Sachlichkeit), sebuah mazhab ekspresionisme yang menolak eksplorasi emosi. Beckmann secara otodidak belajar melukis dengan inspirasi dari Paul Cézanne, Vincent van Gogh, Rembrandt van Rijn, dan Peter Paul Rubens.

Saat Perang Dunia I berkobar, ia menjadi tim medis dan mengalami perang secara langsung.

Infografik Max Beckmann

Setelah lewat masa perang Eropa yang pertama, Beckmann memasuki era NAZI. Saat itu, pemerintah membenci karya Beckmann sehingga menurunkan karya-karyanya yang dipajang di beberapa museum di Jerman. Karya Beckmann dianggap dekaden, meracuni pikirann anak muda, dan tidak merepresentasikan kebanggaan Jerman.

Banyak lukisan Beckmann menggambarkan bertapa korup pemerintahan Jerman saat itu. Ia menghadirkan serdadu yang diamputasi, prostitusi yang menjijikkan, hingga pebisnis imoral. Pada 1933, pemerintah Nazi melarang ia mengajar di sekolah seni di Frankfurt.

Pada 1937, ia beserta keluarganya terbang ke Amsterdam untuk melarikan diri. Selama 10 tahun Beckmann mengungsi di Belanda sebelum akhirnya mendapat pekerjaan mengajar di Washington University di St. Louis dan The Brooklyn Museum di New York.

“Hidup sungguh mengerikan, demikian juga seni,” tulis Max Beckmann pada buku hariannya sebelum berlayar menuju Amerika Serikat pada 1917. “Tapi apa yang lebih baik? Wahai negara yang jauh – selamatkan aku. O Yang Belum Pasti.”

Beckmann datang ke Amerika atas undangan Perry T. Rathbone, direktur St. Louis Art Museum. Rathbone sendiri adalah sosok besar di komunitas seni Amerika Serikat saat itu karena menjabat sebagai direktur Museum of Fine Arts, Boston, selama 17 tahun sebelumnya.

Rathbone sangat tertarik dengan sosok Beckmann yang disiksa, diasingkan, dan diteror oleh pemerintahan Nazi. Di Amerika Serikat, Beckmann kemudian diminta untuk mengajar seni di Washington University. Selama di St. Louis Beckmann sangat aktif membuat karya dan ia merasa bahagia karena lingkungannya mendukung proses kreatif dalam melukis.

Sejarawan seni Peter Sels menulis bahwa Beckmann sangat menyukai lanskap kota tua Amerika di Mississippi, sebab kota provinsi ini kosmopolit dan mengingatkan Beckmann atas tempat tinggalnya dahulu di Frankfurt. Namun, di Amerika Serikat namanya saat itu tak langsung besar. Meski di Jerman masa kekuasaan Weimar ia sangat dikenal, Beckmann merasa asing di Amerika Serikat.

Koran lokal di st Louis menyebutnya sebagai seniman sampah. Sementara presiden dari serikat seniman di St. Louis menyebutnya sebagai orang dengan pemahaman seni yang biasa saja. Ini terjadi saat Beckmann menjadi kurator karya seni untuk dipamerkan di St. Louis Art Museum pada 1947. Protes ini toh tidak membuat Beckmann mundur, bahkan ia terus melukis meski kritik berdatangan. Saat ini, diperkirakan ada 382 lukisan miliknya yang dirawat dengan baik dan bisa diakses publik di St. Louis

Beberapa karyanya masih bisa dinikmati hingga saat ini di beberapa museum di Amerika, seperti di The Museum of Modern Art di New York, the Art Institute of Chicago, the Museum of Fine Arts di Boston, dan Guggenheim Museum di New York. Beberapa lukisan terbaiknya telah banyak tersebar di kolektor lukisan pribadi seperti Christ and the Woman Taken in Adultery (1917), The Night atau Die Nacht (1919), Carnival (1943), Falling Man (1950), The Town atau City Night (1950), dan Self-Portrait in Blue Jacket (1950).

Di masa kini, karya Beckmann dianggap semakin relevan. Blake Gopnik dari Artnet menuliskan arti lukisan Beckmann dalam situasi politik era Donald Trump.

“Tidak ada yang bisa menangkap kecemasan dan ketercerabutan atas budaya yang rusak sebaik yang ia lakukan, seperti yang tergambar pada lukisan 1931 berjudul Paris Society. Kita bisa menggunakan jenius sepertinya untuk menyalurkan kecemasan kita saat Trump berkuasa,” tulisnya.

Baca juga artikel terkait LUKISAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hobi
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani