tirto.id - Presiden Joko Widodo memegang kuas. Dicelupkan ujung kuas ke kaleng cat warna kuning. Tanggannya pun digerakkan di atas kanvas. Muncul huruf “S”. Setelah itu, kuas dicelupkan ke cat warna hitam. Digerakkan lagi dan tergambar huruf “e”.
“Saya itu nggak bisa melukis, saya tadi mau nulis Seni, tapi S-nya kebesaran, ya sudah cuma cukup untuk S dan e saja,” kata Presiden Jokowi sembari tertawa, pada pembukaan pameran lukisan koleksi Istana bertajuk “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan”, di Galeri Nasional, pada Senin (1/8/2016).
Presiden Jokowi hadir didampingi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Wiranto, Menko Polhukam yang baru saja dilantik, serta beberapa pejabat lainnya. Ketiganya tampak bersemangat.
Presiden Jokowi bisa jadi memang tidak mengerti seni. Namun, ia menjadi presiden pertama yang memamerkan koleksi lukisan istana untuk publik. Ia tampaknya menyadari satu hal, bahwa lukisan-lukisan itu memiliki sesuatu yang penting bagi Indonesia.
“Saya nggak ngerti seni, makna lukisan itu apa, tidak tahu. Saya hanya berharap dengan pamerkan ini, kita ingin nilai-nilai ke-Indonesia-an bisa muncul kembali. Sebelum sekarang, kelihatan ada ketidaksinambungan membangun nilai Indonesia dan kebudyaan. Nilai itu ada dalam seni dan bisa kita timbulkan kembali,” ungkap Presiden Jokowi.
Selama ini, lukisan-lukisan karya pesohor itu hanya disimpan di gudang, beberapa saja yang dipajang di Istana. Hampir sebagian besar lukisan itu merupakan koleksi Soekarno dan koleksi negara yang dibeli pada masa pemerintahan Soekarno. Dari 28 lukisan yang dipamerkan, 26 di antaranya dikoleksi pada zaman Soekarno, dua sisanya pada zaman Soeharto.
Karya Seniman Lekra
Pemilihan 28 lukisan itu didasarkan pada pelukis, tema yang sesuai dan kondisi karya seni tersebut. Ada 21 pelukis yang terpilih yakni Affandi, Basoeki Abdullah, Dullah, Harijadi Sumadidjaja, Henk Ngantung, Kartono Yudhokusumo, Raden Saleh, S. Sudjojono, atau Trubus Sudarsono.
Masih ada lagi Gambiranom Suhardi, Soerono, Soekarno, Lee Man-Fong, Rudolf Bonnet, Hendra Gunawan, Diego Rivera, Miguel Covarrubias, Walter Spies, Ida Bagus Made Nadera, Srihadi Soedarsono dan Mahjuddin.
Lukisan S Sudjojono yang paling banyak dipilih, ada lima lukisan. Dua lukisan yang menyita banyak perhatian yakni lukisan berjudul “Rini” dan “Memanah”.
Lukisan “Rini” merupakan karya dari Dullah dan Soekarno. Sketsa lukisan dibuat oleh Dullah, lalu dilukis oleh Soekarno saat di Istana Tampak Siring. Sementara “Memanah”, merupakan karya Henk Ngantung yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Lukisan “Memanah” menjadi menarik karena memiliki nilai historis yang tinggi. Menjadi latar belakang konferensi pers pertama Presiden Republik Indonesia di rumah Soekarno di Pengangsaan Timur, pasca setik-detik proklamsi. Tanpa ada niat, Soekarno menggantung lukisan yang dibelinya dari Henk dengan sedikit memaksa.
“Memanah ini kami paksa untuk dipasang karena memiliki nilai sejarah yang menarik. Meski kondisinya sudah rusak, tapi lukisan ini pernah menjadi saksi kemerdekaan Indonesia,” kata Mikke Susanto, kurator pameran lukisan koleksi Istana, kepada tirto.id, Minggu (7/82016).
Tidak hanya lukisan yang menarik pada pameran koleksi Istana ini. Latar belakang para pelukisnya pun cukup menarik. S Sudjojono misalnya, merupakan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didirikan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Selain Sudjojono, perupa Lekra lainnya yang lukisannya dipamerkan adalah Henk Ngantung, Trubus, Dullah, Hendra Gunawan, Gambiranom dan Affandi.
Sudjojono sendiri pernah menjadi anggota DPR, begitu pula Trubus. Henk Ngantung malah pernah menjadi gubernur DKI Jakarta. Namun, setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September, sebagian besar mereka ditangkap. Trubus malah bernasib nahas. Dia hilang. Konon, ditembak mati tentara di lereng Merapi pada akhir tahun 1965.
“Karya dan pelukis ini dipilih semata-mata karena memiliki nilai semangat juang kemerdekaan dan semangat nasionalisme,” ujar Mikke.
Seni Menyembuhkan Luka
Seperti diungkapkan Mikke, pemilihan 28 lukisan memang murni karena kesesuaian dengan tema yang diusung. Menurutnya, persoalan ideologi yang berbeda masing-masing pelukis bukanlah masalah. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, masing-masing lukisan mewakili zaman dan semangatnya, bukan ideologinya.
Misalnya lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh yang dibuat tahun 1857, jauh sebelum Indonesia merdeka. Lukisan ini dibuat oleh Raden Saleh sebagai opini tandingan atas klaim Belanda yang menyatakan Pangeran Diponegoro menyerah.
Raden Saleh menggambarkan sosok Diponegoro yang tidak mau menyerah pada Belanda. Kepalanya mendongak sebagai simbol perlawanan. Lewat lukisan itu Raden Saleh membangun opini bahwa Diponegoro tidak pernah menyerah pada Belanda.
Selain itu, ada juga lukisan Sudjojono yang berjudul Sekko (Perintis Gerilya). Lukisan yang menggambarkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ada pula lukisan “Pertempuran di Pengok” karya Kartono Yudhokusumo. Lukisan yang dibuat tahun 1949 ini menggambarkan pertempuran di Yogyakarta pada masa mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda.
Ketiga pelukis itu, Raden Saleh, Sudjojono dan Kartono Yudhokusumo memiliki ideologi yang berbeda. Raden Saleh tidak berpartai dan hidup jauh sebelum kemerdekaan. Sudjojono jelas dedengkot Lekra, sementra Kartono tidak berafiliasi politik. Meski memiliki latar belakang berbeda, tapi mereka memiliki semangat yang sama: Kemerdekaan Indonesia.
Munculnya karya lukis sejumlah pelukis yang berhaluan kiri itu pun sebenarnya tidak mempengaruhi apa-apa dan tidak berarti apa-apa. Memang ada bagian sejarah Indonesia yang gelap dan penuh luka, namun bukan alasan untuk membuang karya seni yang lahir dari bagian sejarah itu.
“Sejarah itu penuh luka, maka seni menyembuhkannya,” tutur Mikke.
Perkataan Mikke benar. Buktinya, Presiden Jokowi dengan penuh semangat membuka pameran “Goresan Juang Kemerdekaan 17/71”. Megawati dan Wiranto pun tak pernah kehilangan senyum selama menikmati karya indah di depan mata. Mereka gembira.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti