tirto.id - Sebuah istana tanpa karya seni bakal tidak memiliki magis untuk mengundang orang berdecak kagum.
Bagaimana sebenarnya hubungan antara seni dengan istana? Bagaimana keduanya bisa menjadi perpaduan yang sempurna, antara keindahan, kemewahan dan kehormatan?
“Soekarno menggunakan benda seni untuk menunjukkan kita bangsa besar,” kata Mikke Susanto, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang juga menjadi kurator pameran lukisan koleksi Istana, kepada tirto.id, pada Minggu (7/8/2016). Berikut wawancara lengkapnya:
Sebuah istana hampir selalu dihiasi berbagai karya seni. Bagaimana sebenarnya hubungan sebuah karya seni dengan istana?
Seni dan istana seperti keping mata uang, rectoverso. Kalau tidak ada salah satunya, bakal terasa pincang. Istana tanpa seni itu tidak bisa. Dalam sejarah bangsa mana pun dan di mana pun, istana itu isinya pasti karya seni yang berharga, luar biasa dan membuat orang tercengang. Memang istana harus begitu karena ini bukan rumah biasa. Dalam benak orang, istana pasti harus bagus.
Sementara seni bisa berdiri sendiri. Kalau tidak ada istana, seni masih bisa hidup di galeri dan museum. Ada pameran-pameran. Tapi juga tidak sembarangan seni yang bisa masuk ke istana. Nggak bisa istana diisi oleh karya ecek-ecek.
Secara konsep itulah istana. Kalau kita meninggalkan konsep ini, namanya bukan istana. Kalau tidak ada karya seninya, istana bakal memble, tidak ada keajaiban. Apa yang mau dilihat? Istana tanpa seni tidak bisa bicara.
Bagaimana dengan istana di Indonesia?
Kalau kita melihat istana di indonesia saat ini, tentu isinya karya berkualitas tinggi. Untuk lukisan jumlahnya ada 2.800-an. Ada level A, B dan C. Untuk level A jumlahnya ada 800-an. Itu baru lukisan, belum karya seni yang lain.
Sejak zaman Soekarno, istana sudah menempatkan seni sebagaimana mestinya dengan baik. Soekarno punya visi begitu merebut istana dari penjajah Belanda. Istana Bogor dan Yogyakarta langsung diisi karya seni lukisan. Ibarat menempati sebuah rumah baru, kalau kosongan ya malu kalau ada tamu.
Sebagai negara baru dan Soekarno juga menjadi presiden baru, maka butuh sesuatu yang kuat untuk membuat tamu-tamu negara kagum dan menghormati Indonesia sebagai bangsa yang besar. Soekarno menggunakan benda seni untuk menunjukkan kita bangsa besar.
Kebetulan Soekarno adalah orang yang pandai memberi makna-makna tertentu ketika dia melakukan sesuatu. Jadi setiap karya seni, khususnya lukisan yang digandrungi Soekarno yang ada di istana, selalu dimaknai sesuatu oleh orang-orang.
Itu bicara masa lalu, bagaimana setelah Soekarno?
Pada zaman Soeharto, seni dan istana masih lekat. Kalau zaman Soekarno banyak lukisan dan patung, zaman Soeharto lebih banyak ukiran. Soeharto itu kental sekali dengan Jawa, Soekarno juga begitu. Tapi yang membedakannya, Soeharto itu militer.
Seni rupa pada zaman Soeharto itu orientasinya kejawaan, ada ukiran. Dia senang sekali dengan ukiran, sehingga muncul Ruang Jepara di istana. Ada juga tempat membatik. Tapi Soeharto tidak menyadari apa yang dilakukan Soekarno.
Pada zaman Orba memang terjadi desoekarnoisasi yang masif. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Soekarno disimpan rapat-rapat. Setelah 30 tahun dipingit istana, akhirnya (lukisan) bisa dikeluarkan, bisa dilihat banyak orang. Ini karena Pak Jokowi.
Bagaimana proses pengoleksian benda seni istana, apakah pesanan khusus atau membeli yang sudah ada?
Saya ingin cerita pada zaman Soekarno. Apa dan bagaimana Soekarno mengoleksi? Karena memang untuk lukisan, banyak koleksi Soekarno pribadi yang kemudian menjadi koleksi istana. Soekarno itu kabarnya, menurut para peneliti, punya koleksi sampai 2.000-an lukisan.
Beberapa koleksi itu dibeli langsung. Ada yang dipesan, kebanyakan dikredit. Jadi Soekarno itu suka mengredit untuk beli lukisan. Bahkan sampai hari ini beberapa lukisan belum lunas.
Beberapa lukisan juga didapat Soekarno ketika berkunjung keluar negeri. Beberapa koleksi istana juga pemberian dari negara lain. Ada 50 seniman yang dekat sekali dengan Soekarno. Mereka ada yang sengaja dipesani lukisan atau patung. Untuk patung ada Pak Edi Sunarso yang diminta Soekarno membuat patung “Selamat Datang” di Bundaran HI dan patung Pancoran.
Ada kisah menarik proses pembelian karya seni itu?
Pada suatu hari, pelukis Affandi menagih pelunasan lukisan ke Soekarno. Dia datang ke istana di Yogyakarta menemui Soekarno menagih minta pelunasan lukisan. Soekarno bingung karena pada waktu itu tidak punya uang. Affandi lalu diberi pulpen presiden untuk dijual. Tapi Affandi nggak mau, nanti dikira mencuri pulpen presiden.
Akhirnya Affandi meminta apa saja milik Soekarno. Presiden Soekarno lalu memberi baju bekas miliknya dan Fatmawati untuk Affandi dan istrinya, sekarung beras dan dokter kepresidenan. Sebab waktu itu, Affandi meminta uang untuk memeriksakan istrinya yang sakit. Jadi dokter kepresidenan yang diutus memeriksa.
Terkait pameran “Goresan Juang Kemerdekaan: 17/71”, apa gagasan utama sehingga membuat pameran ini?
Sebenarnya gagasan sudah dimulai sejak dua tahun lalu. Ide awalnya dari Pak Jokowi sendiri, agar koleksi istana tidak hanya dilihat oleh kalangan tertentu saja. Tapi masyarakat luas juga bisa melihatnya. Pas bertepatan dengan HUT RI, kita mengambil tema “Goresan Juang Kemerdekaan : 17/71”. Maksudnya, 17 itu tanggal 17 Agustus, 71 itu adalah HUT RI ke-71. Ada 28 lukisan yang dipamerkan dan koleksi istana lainnya, foto dan buku.
Apa kriteria memutuskan 28 lukisan yang dipamerkan?
Mengapa hanya 28 lukisan? Itu karena tempatnya hanya cukup untuk 28 karya. Semua lukisan itu kelas A. Kita memilih berdasarkan pelukisnya, kesesuaian tema dan kondisi karyanya. Kita ingin lukisan yang dipamerkan memiliki nilai semangat nasionalisme dan kemerdekaan.
Sebagian besar pelukis yang karyanya dipamerkan adalah pelukis Lekra. Apa karena mereka yang punya jiwa nasionalis sesuai tema?
Nggak juga. Karya yang dipamerkan ini rata-rata dibuat sebelum ada Lekra. Affanadi, Sudjojono, atau Hendra Gunawan itu orang Lekra anggota DPR dari Fraksi Komunis. Mereka perwakilan rakyat non politik yang dibawa oleh PKI. Orientasi saya lebih pada karya-karya ini dibuat pada masa perjuangan kemerdekaan. Jadi tidak terkait dengan organsiasi apapun yang berbau kekiri-kirian.
Kalau dilihat memang masih ada Dullah dan Trubus yang ditembak tentara karena anggota PKI. Terstigma PKI. Henk Ngantung juga. Kecuali Sudjojono, semuanya pernah di penjara.
Tapi kan ada juga yang bukan Lekra. Basuki Abdullah jelas dia apolitis. Raden Saleh, Srihadi, Nadera, atau Lee Man Fong, mereka bukan Lekra. Jadi jangan melihat dari sisi itu.
Pameran ini tentang gerakan kemerdekaan. Setelah kemerdekaan mereka mau ngapain, itu urusan mereka. Bahwa kita harus menghargai pameran ini, bahwa dulu mereka yang di penjara pun bisa harum namanya. Itu hanya perbedaan ideologi.
Boleh saja bilang pameran ini untuk memperbaiki borok yang ada di sini. Sejarah itu penuh luka, tapi seni menyembuhkannya. Di masa Orba memang diharamkan, mengalami desoekarnoisasi.
Apakah bakal ada lagi pameran koleksi istana lainnya?
Tentu saja. Sekarang yang dipamerkan baru 1 persennya. Kalau dibuat pameran, mungkin bisa sampai 99 kali lagi. Jadi masyarakat masih bisa menikmatinya.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho