Menuju konten utama

Arsip Seni Rupa dan Keabadian Catalogue Raisonne

Selain oleh para artis dan seniman, skena seni tidak lengkap tanpa keberadaan para pengarsip.

Museum of Modern Art, Manhattan, New York, AS. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - Dari 2 hingga 30 Agustus 2017, puluhan lukisan koleksi Istana Kepresidenan Indonesia dipamerkan di Galeri Nasional. Sederet karya maestro seni rupa Indonesia, seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah, turut dipajang di pameran bertajuk “Senandung Ibu Pertiwi" tersebut.

“Presiden Pertama Indonesia Sukarno memiliki jasa besar terhadap berbagai lukisan bermutu dan sangat berharga yang ada di Istana Kepresidenan. Lukisan-lukisan tersebut memiliki makna penting bagi bangsa Indonesia baik dari sisi sejarah dan keindahannya,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pidato sambutannya, dilansir Antara.

Sejak tahun lalu, pemerintah secara rutin menggelar pameran lukisan koleksi Istana Kepresidenan. Ikhtiar pemerintah mengenalkan seni tentu patut diapresiasi. Selain sikap peduli terhadap karya seni. Pendokumentasian terhadap karya seni dan senimannya pun menjadi penting dilakukan.

Hal tersebut pernah disampaikan sejarawan seni dan Asisten Direktur National Gallery Singapore Farah Wardani. Mei 2017, dalam bincang-bincang Talking Indonesia yang diselenggarakan University of Melbourne, Australia, mengatakan pengarsipan karya seni adalah salah satu ikhtiar atau metode untuk membangun sejarah Indonesia.

“Hal tersebut juga untuk menjadikan skena seni Indonesia lebih dikenal dan menjadi kepentingan publik. Juga untuk merawat ingatan dan warisan yang selalu terbuka karena karya seni bukan tentang kebenaran yang absolut, dari situ kita selalu bisa melihat kedinamisan masyarakat melalui keberagaman praktik-praktik seni dan kebebasan berekspresi yang dibawa oleh praktek seni modern,” ujar Farah, perempuan yang pernah menjadi direktur Indonesian Visual Art Archive (IVAA) itu .

Seni rupa mengenal istilah catalogue raisonne. Istilah tersebut merujuk suatu buku berisi daftar dokumentasi karya seni yang meliputi judul, dimensi, tanggal, medium, lokasi, perjalanan pameran, dan kondisi mutakhir. Karya-karya tersebut dideskripsikan sedemikian rupa sehingga dapat diidentifikasi dengan mudah oleh pihak ketiga.

Jacob-Baart de la Faille membutuhkan waktu 11 tahun guna merampungkan katalog karya Vincent Van Gogh. Sedangkan katalog karya Monet membutuhkan waktu penyusunan hingga 18 tahun lebih. Untuk merilis katalog Picasso bahkan dibutuhkan waktu selama 46 tahun dan untuk memenuhi target tersebut penerbitnya mesti menjual mobil dan apartemen.

Namun, berbagai katalog yang berbentuk buku nan tebal ini kerap sulit diakses. Padahal ia mewakili himpunan data yang amat besar dari karya modern yang terindah, masterpiece, dan termahal. Tapi semuanya seolah terkunci dalam buku-buku lawas yang berdebu, tersimpan di rak-rak perpustakaan pribadi atau di toko buku antik yang membandrolnya dengan harga selangit.

“(Katalog ini) terkunci dalam buku-buku tua; sulit untuk ditemukan, terbatas, tidak dinamis,” ujar Jason Bailey, pegiat pendokumentasian digital catalogue raisonne yang berdomisili di Amerika Serikat (AS).

Beberapa tahun terakhir ini Jason Bailey menjadi pemburu katalog. Berbagai macam cara dia lakukan, mulai mengunjungi berbagai perpustakaan yang menyediakan layanan pinjaman gratis, membeli di eBay dan Amazon, sampai meminta tolong temannya yang bergelar Ph.D di Italia agar dapat dipertemukan dengan sebuah katalog langka.

Misi Bailey sederhana. Ia "hanya" memasukkan buku-buku lawas tersebut ke dalam suatu pangkalan data digital. Proyek pangkalan data digital besutan Bailey itu bernama Artnome.

“Kita memiliki lebih dari 550 museum, 400 program studi sejarah seni, dan pasar seni global yang dalam penjualan tahunannya menghasilkan $ 60 juta dolar. Tapi kita masih kesulitan mendapatkan data dan alat analisis yang baik mengenai seni. Bahkan Google Search tidak mampu menjawab pertanyaan paling dasar: berapa jumlah karya yang dihasilkan seniman-seniman penting kita?” ujar Bailey dalam Moneyball For Art (And Pollock's Tallest Painting).

Bailey mengatakan dia telah mengekstrak dan menyusun kembali data dari katalog cetak 35 maestro seni lukis dunia, termasuk di antaranya Cezanne, Dali, Monet, O’Keeff, Pollock, dan Rothko. Bailey juga tengah menyiapkan proses digitalisasi 10 katalog lainnya.

“Semua orang berpikir saya gila. Hal tersebut justru membuat saya ingin melakukannya terus. Sebuah raisonne yang memuat beragam seniman, bagi saya, adalah Cawan Suci,” ujar Bailey.

Selain Artnome, pangkalan data digital karya seni lainnya juga eksis. Artnet mengelola pangkalan data yang berisi daftar pelelangan karya seni. Sementara The Metropolitan Museum of Art melalui situs MoMA baru-baru ini membuat pangkalan datanya dapat diakses publik. Wildenstein Plattner Institute juga tengah mendigitalkan dan mempublikasikan arsip-arsip karya Impresionis.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/08/24/pangkalan-data-digital--mild--fuad.jpg" width="860" alt="Infografik pangkalan data digital" /

Di Indonesia, kerja serupa dilakukan Indonesian Visual Art Archives (IVAA). Sejak 1997, IVAA aktif mendokumentasikan kegiatan seni visual seperti pameran, diskusi, performance art. Lembaga yang dulu bernama Yasasan Seni Cemeti ini bekerjasama pula dengan galeri, organisasi, komunitas, perpustakaan, atau lembaga pemerintahan bidang seni budaya, untuk menyalin dokumentasi kegiatan.

IVAA mengelola pangkalan data digital @rsipIVAA. Melalui situs tersebut pengunjung dapat menelisik ragam karya, kegiatan, dan referensi mengenai seniman-seniman visual Indonesia.

Tirto mencoba mengolah data lukisan Basuki Abdullah yang disediakan @rsipIVAA. Salah satu data yang tersedia adalah ukuran kanvas.

Terdapat 109 data karya Basuki Abdullah yang tercantum dalam @rsipIVAA. Dari sekian data itu, hanya 104 saja yang dapat diolah. Sebanyak 5 data tidak memuat dimensi kanvas. Hasilnya, rata-rata luas kanvas yang digunakan Basuki Abdullah sebagai medium melukis berada di angka 13486.06 cm. Lukisan bertajuk "Berbaju Shanghai" menjadi lukisan terlebar dengan ukuran 390 cm x 244 cm. Sedangkan "Sembrodo Larung" menjadi lukisan tertinggi dengan ukuran 204 cm x 313 cm.

Berdasarkan data @rsipIVAA, Basuki Abdullah paling sering melukis dalam kanvas berukuran 80 cm x 120 cm. Selain itu, tidak ada lukisan Basuki Abdullah yang berukuran kurang dari 30 cm x 40 cm. Lukisan "Wanita Italia" menjadi lukisan dengan luas terkecil, yakni 34 cm x 44,5 cm.

Rataan ukuran lukisan itu hanya dapat dilakukan berkat cukupnya data karya-karya Basuki. Tanpa data yang memadai, jangankan mengetahui rataan ukuran lukisan, mengetahui tahun pembuatan sebuah lukisan pun bisa sangat sulit. Dan dengan itu, ada banyak detail sejarah seni rupa, sekaligus riwayat kekayaan pemikiran manusia Indonesia, akan diselimuti banyak keraguan.

Baca juga artikel terkait SENI RUPA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS
-->